Tabuhan perangkat musik tradisional gamelan oleh sejumlah mereka yang masih usia anak-anak itu, bukan dalam rangka latihan untuk pertunjukkan. Akan tetapi, mereka dengan riang sekadar bermain di dalam rumah Supadi Haryanto yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung tersebut, belum lama ini.

Mereka yang bermain dengan gamelan itu empat anak, masing-masing Ahmad Widianto (6), Tofik Andiranto (7), Ahmad Khoirudin (6), dan Wentriantono (5). Widianto dan Tofik, masing-masing masih duduk di Kelas I SD Negeri Girirejo II, sedangkan Khoirudin di TK Srigading, Girirejo, serta Wentriantono TK Pongangan, Kabupaten Semarang yang berbatasan dengan Ngablak.

Mereka adalah anak-anak Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun itu menjadi lokasi Festival Lima Gunung XII pada 28-30 Juni 2013. Festival itu diselenggarakan secara mandiri setiap tahun oleh seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Pada 2009, dusun itu juga menjadi lokasi festival serupa.

Hampir setiap hari, setelah pulang sekolah, anak-anak setempat bermain-main dengan perangkat gamelan di rumah Supadi Haryanto itu dan juga bermain-main dengan gerak tarian tradisional mereka.

Seniman petani Dusun Mantran Wetan yang berkelompok dalam Sanggar Andong Jinawi itu, menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung dengan basis kesenian tradisional, antara lain tarian Jaran Papat, Kuda Lumping, Topeng Ireng, Warok, Bronto Lungit, dan sendratari. Jumlah warga setempat sekitar 550 jiwa atau 142 kepala keluarga dengan mayoritas kehidupan sehari-hari bekerja sebagai petani hortikultura.

Tak seberapa lama kemudian, tiga di antara empat anak itu beralih bermain-main gerak tarian Warok dan Kuda Kumping dengan sejumlah komposisinya di dalam rumah tersebut, sedangkan satu lainnya masih asyik dengan tabuhan kendang dan sesekali memainkan pukulan saron.

Kesenian Anak
Sanggar Andong Jiwani memiliki seperangkat gamelan terbuat dari perunggu yang setiap hari digelar di rumah Supadi yang juga juragan sayuran di kawasan Gunung Andong tersebut.

"'Kono madhep ngalor, madhep ngalor!' (Kamu menghadap utara, red.)," kata Widianto yang akrab dipanggil Dian itu, saat memberi perintah Khoirudin sewaktu bermain-main dengan gerakan tarian Warok Bocah.

Kali ini musik pengiring gerakan tarian itu untuk bermain-main, bukan dari tabuhan gamelan, melainkan irama gamelan dari mulut Dian yang terdengar bervariasi, berbirama, dan tidak putus-putus. Mereka tampak lincah bermain-main tarian tersebut dengan keringat yang mengucur deras dari tubuh masing-masing.

"'Kowe ndhodhok, ndhodhok!'(Kamu jongkok, red.)," kata Dian yang terkesan polos memerintah Khoirudin untuk berjongkok sambil terus menari.

Mereka adalah bagian dari grup kesenian anak setempat yang baru dibentuk, bernama "Kumpul Bocah Mantran" dengan jumlah anggota saat ini sekitar 35 anak. Pembentukannya terdorong oleh keputusan para petinggi Komunitas Lima Gunung terkait lokasi festival tahunan mereka pada 2013 di Dusun Mantran Wetan.

Mereka saat ini telah bisa memainkan tarian yang disebut sebagai Warok, Jatilan Klana, Soreng, Leak, dan Tombak, setelah secara khusus dilatih oleh seorang anggota Sanggar Andong Jinawi, Gianto.

Saat hari pertama Festival Lima Gunung XII mendatang, mereka juga akan pentas drama dengan lakon yang terinspirasi dari puisi "Tuyul" karya W.S. Rendra. Seorang pegiat Komunitas Lima Gunung yang juga guru bahasa Indonesia di SMP Kristen Kota Magelang Wicahyanti Rejeki melatih mereka untuk memainkan drama itu.

"Pesan melalui drama anak-anak Mantran itu bahwa kita semua harus banyak bersyukur dan berusaha dalam keadaan apapun," kata Wicah yang juga penyair Magelang itu.

Beberapa anak laki-laki akan menyuguhkan tarian Warok Bocah dengan iringan tabuhan gamelan secara "live", sedangkan anak-anak putri menyajikan tarian berjudul Sekar Gumadung, karya Gianto. Tarian itu menceritakan sekelompok remaja berkelana untuk berguru, mencari ilmu, sebagai pegangan hidup kelak.

"Kalau Warok Bocah menjadi simbol kegagahan orang dusun, tetapi karena dimainkan anak-anak sehingga gerakannya sederhana dan kostumnya dikemas secara lebih efisien," kata Gianto.

Supadi menyebut hal biasa untuk anak-anak setempat bermain-main dengan kesenian tradisionalnya. Permainan itu biasanya mereka lakukan siang hari, setelah pulang sekolah.

Mereka juga selalu menonton latihan kesenian tradisional di rumah itu, yang dijalani orang-orang dewasa anggota sanggar setempat secara rutin, seminggu sekali.

"Setiap latihan, anak-anak itu ikut kumpul, sehingga mudah saja ketika kami mengajari mereka tarian Warok, hanya tiga kali latihan, seminggu sekali. Tinggal mengumpulkan dan mengolah, mereka langsung bisa, " katanya.

Bentuk Karakter
Kedekatan anak-anak setempat terhadap tarian tradisionalnya, bermanfaat dalam pembentukan karakter mereka. Supadi menyebut mereka menjalani "olah rasa" melalui kesenian tradisional yang dihidupi oleh warga dusunnya.

Namun, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang tua di dusun itu berharap bahwa anak-anak mereka kelak tak sebatas menjadi seniman dusun. Mereka tentu ingin anak-anak mencapai cita-cita masing-masing dengan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, mandiri, dan bertanggung jawab, serta berguna untuk masyarakat, lingkungan, bangsa, dan negerinya.

Kalau hingga sekarang warga dusun itu intensif menghidupi kesenian tradisionalnya hingga membalutkannya kepada keseharian anak-anak setempat, tentunya mereka sedang menjalankan pendidikan nilai kepada generasi penerus tersebut.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025