PDI Perjuangan, kata Eva kepada Antara Jateng, Selasa siang, menuntut KJRI melakukan peran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh KBRI di Singapura, guna memastikan Buruh Migran Indonesia (BMI) mendapat perlindungan, termasuk dari tambahan beban biaya yang dikenai oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

"PPTKIS tidak bisa diharapkan untuk memberikan perlindungan yang jadi kewajiban negara," kata Eva selaku anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN).

Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI lantas menekankan bahwa peran KJRI sebagai mediasi itu mendesak untuk mengantisipasi komplain dari majikan lama sebagamana dibolehkan dalam peraturan amnesti.

Selain itu, lanjut dia, peran Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) tersebut akan memungkinkan pelaksanaan penertiban dokumentasi kewarganegaraan BMI, terutama paspor secara murah karena tidak perlu membayar jasa makelar, yakni PPTKIS sebesar 1.700 riyal.

PDI Perjuangan juga menuntut pembuatan paspor bagi para BMI "overstayers" dan bukan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) yang pada dasarnya berfungsi sebagai "travel document" (dokumen perjalanan) sekali jalan untuk pulang ke Indonesia sehingga tidak selayaknya dipakai sebagai dasar memperkerjakan BMI di Arab Saudi.

"Partai kami juga mengingatkan supaya Pemerintah mengutamakan kebutuhan para BMI 'overstayers' atas kepastian status 'kewarganegaraan' mereka dan bukan kebutuhan BNP2TKI untuk melakukan perekrutan-perekrutan TKI di negara Arab Saudi," katanya.

Hal itu mengingat, kata Eva, banyak bentuk pelanggaran prinsip dalam konvensi buruh migran oleh pemerintah RI ditampakkan dalam tragedi TKI yang melanggar batas izin tinggal (overstayers) di Jeddah.

Pertama, lanjut dia, terkait kebijakan negara yang membolehkan paspor dipegang oleh majikan yang tidak sesuai dengan konvensi hak asasi manusia (HAM) sipil dan politik. Akibatnya, fatal ketika BMI melarikan diri oleh berbagai sebab, terutama sebagai korban situasi kerja yang tidak kondusif tanpa paspor, menjadikan mereka berstatus ilegal/kriminal sehingga menjadi buruan Imigrasi Arab Saudi.

Kemudian, kedua, kebijakan negara yang menyerahkan kepengurusan dokumentasi kewarganegaraan (paspor) kepada PPTKIS yang mengakibatkan kekacauan ketika pembuatan SPLP untuk para BMI "overstayers".

Menurut dia, banyak data yang tidak sinkron disebabkan PPTKIS yang diduga memalsukan data. Misalnya, BMI ataupun data tidak terlacak karena PPTKIS sudah tutup.

"Pantas jika Imigrasi Arab Saudi menolak SPLP karena data tidak sinkron dan KJRI tidak mempunyai data base yang sistematis dan dapat diandalkan," kata Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI.

Ia mengemukakan kembali bahwa tragedi Jeddah adalah wajah kebijakan negara yang miskin perlindungan sehingga menempatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menjadi korban di negara asing.

Yang lebih memprihatinkan, menurut dia, dalam situasi kekacauan tentang kepastian status kewarganegaraan para BMI "overstayers" justru Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memanfaatkan situasi untuk melakukan perekrutan di tempat antrean.

Wakil Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menyatakan bahwa partainya memprotes BNP2TKI yang membawa sejumlah PPTKIS yang tergabung dalam Perwakilan Luar Negeri (Perwalu) dari Tanah Air untuk melakukan perekrutan bersama agen Arab Saudi disertai pemungutan biaya terhadap setiap BMI hingga 5.600 riyal.

"Perekrutan yang demikian itu tentu merupakan pelanggaran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN)," kata Eva menegaskan.

Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024