Djajaprana adalah sesepuh kalangan pemahat batu yang tinggal di Prumpung, Muntilan, Kabupaten Magelang. Dia adalah keturunan seorang pemahat batu yang turut bekerja saat restorasi pertama Candi Borobudur dipimpin Theodor van Erp (1907-1911), Salim Djajapawira, (meninggal dunia pada 1979 dalam usia 93 tahun).

Sedangkan Tito Darso, seorang sesepuh grup kesenian rakyat "Iromo Turonggo" dari Dusun Gopakan, Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Mereka seakan menjadi simbol untuk sekitar 2.500 seniman berasal dari 82 grup kesenian rakyat desa di 21 kecamatan di Kabupaten Magelang yang Minggu (16/6) siang itu, melakukan prosesi "Ruwat-Rawat Borobudur" untuk menghormati Candi Borobudur sebagai karya kebudayaan bernilai tinggi, warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Candi Borobudur di kawasan pertemuan antara Kali Elo dengan Progo, Kabupaten Magelang, Jateng, dibangun sekitar pada abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra. Bangunan megah dari tatanan dua juta batu andesit itu, telah ditetapkan oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), sebagai warisan budaya dunia.

Prosesi ribuan seniman petani desa-desa itu sebagai puncak rangkaian agenda kebudayaan "Ruwat-Rawat Borobudur" yang telah dimulai sejak 2 Mei 2013, baik di Candi Borobudur maupun berbagai desa di kawasannya.

Berbagai kegiatan dalam "Ruwat-Rawat Borobudur 2013" yang antara lain pentas kesenian rakyat, prosesi tradisi ritual desa, sarasehan budaya, dan loka karya seni itu, kerja sama antara komunitas Borobudur "Warung Info Jagat Cleguk" pimpinan Sucoro, Peguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Borobudur pimpinan Endro Sugiarto, dan Yayasan Soloensis pimpinan Bambang Sunarto.

Ribuan seniman desa, baik laki-laki maupun perempuan, melalui berbagai grup keseniannya, antara lain tarian soreng, jatilan, kuda lumping, campur, topeng ireng, warok bocah, dan pitutur, dengan berbagai tabuhan alat musik pengiring masing-masing, berjalan kaki sejauh sekitar tiga kilometer dari halaman sekretariat WICJ Borobudur di Jalan Medang Kamolan, Kecamatan Borobudur melewati Pintu VIII PT Taman Wisata Candi Borobudur, untuk kemudian berjalan mengelilingi pelataran Candi Borobudur.

Mereka antara lain juga mengusung gunungan hasil bumi berupa palawija dan berbagai sayuran panenan petani serta tumpeng menggunakan dua tandu, sedangkan empat lelaki berpakaian lengang panjang warna putih dan bercelana warna hitam, masing-masing membawa bendera Merah Putih ikut dalam prosesi itu. Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo menyambut kedatangan mereka di jalan masuk pelataran zona I Candi Borobudur.

Tabuhan berbagai alat kesenian tradisional mereka hentikan saat tiba di pelataran candi itu. Namun dari tempat itu, tetap terdengar keras melalui pelantang, iringan musik acara Borobudur International Festival 2013 dari arena di Taman Lumbini dan Lapangan Gunadharma, masing-masing di timur dan barat Candi Borobudur.

Prosesi puncak "Ruwat-Rawat Borobudur" oleh ribuan seniman desa itu, seolah-olah juga menjadi atraksi wisata untuk pengunjung Candi Borobudur siang itu.

Berulang kali Djayaprana yang mengenakan pakaian adat Jawa dalam prosesi itu, meletakkan tangan kanannya di dada, sambil berucap yang intinya membahasakan syukur para leluhur, pendiri Candi Borobudur pada zaman dahulu, karena kedatangan orang-orang desa di kawasan itu guna memberikan hormat.

"Saya pernah mendapat bisikan, 'Terusna! terusna!' (teruskan, red.). Saya sampai sekarang terus melanjutkan menjadi pemahat batu. Siang ini (16/6), orang-orang datang untuk meneruskan kebudayaan dengan datang ke Borobudur ini. Kita semua patut bersyukur atas peristiwa ini," kata Djayaprana.

Pada kesempatan itu, Sucoro juga secara singkat berorasi budaya di bawah anak tangga timur Candi Borobudur tentang pentingnya pelestarian bangunan warisan peradaban dunia tersebut oleh masyarakat kawasannya.

Mereka kemudian secara bersama-sama menggunakan berbagai tempat di sebelah barat laut Candi Borobudur, di zona II Taman Wisata Candi Borobudur, untuk mementaskan tarian rakyat masing-masing.

"Tentunya nenek moyang, pembangun Borobudur siang ini gembira dengan pementasan-pementasan ini. Mereka merestui," kata Djayaprana yang juga penganut kepercayaan Jawa itu.

Pemerhati seni dan budaya Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Hari Mulyatno menyebut prosesi dengan mengelilingi Candi Borobudur oleh seniman desa itu selain sebagai ajang silaturahim antarmereka, juga sebagai tanda pendekatan hati mereka terhadap candi tersebut.

"Ini sebuah karya seni. Dengan melingkar ini, mereka ingin mengatakan, 'Ini lho karyane simbah dulu' (Inilah karya nenek moyang, red.). Moga-moga ini juga menjadi inspirasi karya mereka yang juga bisa sebesar dan sehebat Candi Borobudur. 'Ini putrane Mbah Mbudur' (Ini anak-anak Simbah Borobudu, red.)," kata Hari yang juga pengajar Manajemen Seni Pertunjukan, Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta itu.

Ia mengemukakan perlunya terus menerus upaya mendesain karya dengan inspirasi nilai-nilai universal Candi Borobudur untuk membahagiakan masyarakat luas, termasuk mereka yang umumnya seniman petani desa-desa di kawasan Candi Borobudur itu.

Tentunya, katanya, sinergi para pemangku kepentingan dibutuhkan untuk melahirkan suatu karya budaya yang besar, seperti halnya nenek moyang bangsa Indonesia pada masa lalu juga bekerja sama sehingga terbangun Candi Borobudur yang kaya inspirasi dan menjadi sumber ilmu pengetahuan dunia itu.

Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo mengemukakan bahwa kehadiran ribuan seniman desa ke Candi Borobudur itu sebagai simbol ungkapan kerinduan masyarakat untuk datang ke Borobudur.

"Hal-hal seperti ini sebagai sarana mereka menumpahkan kerinduan terhadap candi, meskipun setahun sekali. Mungkin dalam hal-hal seperti itulah, kemudian masyarakat semakin memiliki perhatian atau tanggung jawab untuk ikut melestarikan Candi Borobudur," katanya.

Kehadiran mereka, menjadi bagian keikutsertaan terhadap upaya-upaya pelestarian warisan budaya dunia tersebut. Keterlibatan riil masyarakat dalam pelestarian Borobudur, tidak harus secara langsung mereka ikut dalam pemugaran, pemeliharaan, dan konservasi, atas bangunan itu.

Akan tetapi, katanya, kehadiran itu bagian dari usaha mereka menanam sikap dan tanggung jawab kuat mereka memiliki Borobudur.

"Bukan berarti masyarakat harus ikut bersih-bersih candi. Bukan! Tetapi artinya bagaimana masyarakat yang sehari-hari berada di sekitar candi itu, bisa ikut menjaga dari aspek ketertiban, perlindungan, dari aspek ikut memiliki, sehingga kalau mereka ikut memiliki, itu otomatis akan mempunyai tanggung jawab untuk ikut melestarikan," katanya.

Pengembangan kebudayaan dan kesenian tradisional masyarakat kawasan Candi Borobudur juga bagian penting dari usaha-usaha menghidupkan Candi Borobudur.

"Ini juga modal sendiri untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, tentunya dalam hal ini ada upaya bagaimana dikembangkan untuk wisata budaya," katanya.

Keikutsertaan masyarakat dalam usaha-usaha konservasi Candi Borobudur bisa mewujud dalam berbagai bentuk, sedangkan kehadiran mereka dengan sikap batin mengempu Candi Borobudur pun tak kalah pentingnya sebagai bagian dari upaya itu.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025