Di pustaka kepala seorang sesepuh grup kesenian rakyat "Iromo Turonggo" Dusun Gopakan, Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, barangkali menemukan kesamaan bentuk pahatan batu tersebut dengan barongan sebagai bagian dari kuda lumping, salah satu kesenian tradisional di kampungnya.
Petugas Balai Konservasi Borobudur Mura Aristina yang secara khusus menjadi pemandu sekitar 100 pegiat kesenian rakyat berasal dari berbagai desa di Kabupaten Magelang itu pun menyebutkan bahwa pahatan itu bernama "Kala Makara".
Di tengah terik matahari yang menimpa Candi Borobudur, peserta loka karya bertajuk "Relief Borobudur Sumber Inspirasi Karya Seni Pertunjukkan" itu, mendapat penjelasan di lapangan tentang berbagai hal mengenai relief di candi yang juga warisan peradaban dunia tersebut.
Darso bersama peserta lainnya terlihat antusias mengikuti penjelasan tersebut dengan sesekali mengajukan pertanyaan kepada Mura sambil menunjukkan jari mereka pada berbagai relief di lorong pertama candi yang dibangun sekitar abad ke-8 masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu.
Pada kesempatan itu, Mura menjelaskan berbagai hal secara memikat dengan menggunakan bahasa Jawa, kepada mereka tentang panel-panel relief Karmawibangga di dinding dasar candi dan relief di lorong pertama Candi Borobudur yang antara lain menggambarkan cerita terkenal tentang "Jataka".
Para peserta loka karya yang kalangan seniman rakyat desa itu, terkesan menyabet kesempatan istimewa dalam kunjungan lapangan ke Candi Borobudur karena mendapat penjelasan dari Mura.
Mura selama ini sering memandu para tamu negara yang bertandang ke Candi Borobudur.
Sejumlah relief ditunjukkan Mura, antara lain tentang bentuk rambut yang seperti properti tarian tradisional setempat, "Ndayakan", peperangan yang dijalani oleh barisan prajurit dengan masing-masing membawa tombak, dan relief tentang kuda sebagaimana tarian kuda lumping.
Ia juga menjelaskan tentang makna relief Jataka yang bercerita tentang penghormatan oleh Raja Hutan terhadap seekor kerbau yang mati karena selalu berkurban, menjadi tempat panjatan para monyet dan tentang relief yang berkisah perjalanan Sidharta Gautama mencapai kesempurnaan.
"Ini yang namanya pohon bodi, artinya pencerahan," kata Mura sambil menunjukkan satu pohon kepada peserta, saat masuk Zona I Candi Borobudur melalui pintu barat laut atau biasa disebut sebagai "pintu satpam".
Lokakarya dalam rangkaian agenda budaya "Ruwat Rawat Borobudur" (2 Mei-16 Juni 2013) itu, berlangsung di pendopo Museum Karmawibangga, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Agenda tersebut, kerja sama komunitas Borobudur "Warung Info Jagad Cleguk" dengan Yayasan Soloensis dan Peguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Borobudur.
Nara sumber loka karya, antara lain pemerhati seni dan budaya Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Hari Mulyatno, Wakil Kepala Unit Teater Pentas Prambanan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Jayeng Legowo, dan Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan Balai Konservasi Borobudur Nahar Cahyandaru.
Tentang hal ihwal Candi Borobudur yang dijelaskan oleh Nahar, antara lain menyangkut ukuran luas, tinggi, dan letak candi, serta bagian-bagiannya (kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu).
Selain itu, topografi Candi Borobudur yang dikelilingi sejumlah gunung di kawasan setempat, sejarah pemugaran, stupa, dan jumlah panel relief.
Candi Borobudur yang bagaikan bunga lotus itu, dibangun oleh nenek moyang bangsa Indonesia dengan menggabungkan secara harmoni yang khas Jawa, antara stupa, candi, dan gunung.
"Ini kecerdasan seniman Jawa pada masa lalu dan bisa menjadi sumber inspirasi oleh seniman saat ini. Kisah dalam relief itu bermakna tinggi dan bisa jadi inspirasi seniman," katanya.
Berbagai hal dari Candi Borobudur yang bisa menginspirasi seniman rakyat tersebut, antara lain bangunan candi (proses pembangunan, filosofi arsitektural, lingkungan), relief (tokoh, tokoh makhluk, cerita, adegan), dan nonfisik (riwayat candi, proses pencapaian pencerahan, dan filosofi lotus).
Proses pembangunan candi telah melahirkan karya berupa sendratari Mahakarya Borobudur yang sering dipentaskan di panggung terbuka "Aksobya" di kompleks TWCB.
Selain itu, seorang seniman kawasan Candi Borobudur Eko Suyoto telah menciptakan tarian "Kinara Kinari" dengan mendapat inspirasi dari relief tentang makhluk bernama "Kinara Kinari".
"Relief tentang Karmawibangga banyak diceritakan kepada pengunjung Candi Borobudur. Unsur alat musik seperti gamelan, cokekan, gambang, gejok lesung, kendang, kencon, simbar, juga ada di relief Borobudur," katanya.
Jayeng pada kesempatan itu selain menjelaskan tentang catatan sejarah pementasan Sendratari Ramayana di panggung terbuka dekat Candi Prambanan di Yogyakarta, juga mengemukakan pentingnya pengembangan kesenian tradisional melalui pengelolaan pertunjukkan yang menarik.
"Konsepnya selalu berhubungan dengan tema yang 'menjual'. Pementasan seni pertunjukkan perlu manajemen agar efisien," katanya.
Akan tetapi, katanya, pengembangan karya kesenian perlu berlandaskan hati agar bisa secara total.
Hari menyebut Candi Borobudur kaya raya akan inspirasi untuk pengembangan kesenian, termasuk seni tradisional yang saat ini terus berkiprah di berbagai tempat.
Spirit berkarya, kata pengajar Manajemen Seni Pertunjukkan, Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta itu, perlu terus ditumbuhkembangkan di kalangan seniman rakyat yang selama ini bergelut dengan kesenian tradisional mereka.
Selain itu, pengembangan wawasan mereka agar mampu menyerap berbagai inspirasi, seperti yang tersimpan dalam pustaka nilai dan pengetahuan tentang Candi Borobudur .
Mereka, katanya, selama ini sudah menari "Jatilan", "Soreng", "Topeng Ireng", dan lain-lain. Forum itu, membuka wawasan mereka untuk memperkuat warna pengembangan tarian-tarian itu, termasuk menyangkut musik pengiring dan kostumnya, dengan inspirasi Candi Borobudur.
Seorang pemuka grup kesenian tradisional dari Desa Bandongrejo, Kecamatan Ngablak, di kawasan Gunung Andong Tarsono mengemukakan optimismenya, bahwa masyarakat kesenian setempat semakin bersemangat untuk bergerak dalam menghidupi kesenian mereka, dengan menyerap berbagai kekayaan inpirasi atas Candi Borobudur.
"Seni di Magelang dan Borobudur ini, kalau 'diopeni' (dirawat, red), menjadi makin bersemangat. Harapannya dapat makin semangat berkarya 'nguri-uri' (melestarikan, red.) peninggalan nenek moyang," katanya.
Peluh yang membasahi wajah dan tubuh para seniman rakyat saat turun dari Candi Borobudur siang itu, seakan menjadi pertanda bahwa mereka terguyur oleh inspirasi hebat candi tersebut.