Pucuk Gunung Merapi dan Merbabu masih terlihat nun jauh di sebelah timur laut Candi Mendut dengan pintu utamanya menghadap barat atau ke arah Candi Borobudur yang berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat itu.
Langit yang sebagian besar menjadi berwarna biru, seolah memberi kesempatan gembira sinar sang bulan untuk menerpa para biksu dan umat Buddha berarak memasuki Candi Mendut di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, untuk menyemayamkan air berkah dan api dharma Waisak.
Para biksu berbagai dewan sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) bersama umat menaiki tangga Candi Mendut. Para biksu membawa lentera dengan api dharma menyala dan lainnya membawa puluhan kendi berisi air berkah Waisak, sedangkan setiap umat membawa bunga sedap malam.
Mereka berpradaksina mengelilingi candi dengan di dalamnya bersemayam arca Sang Buddha Gautama. Darasan parita terus menerus dilambungkan para biksu dan umat lainnya yang duduk bersila di bawah tenda di selatan candi itu, tatkala prosesi persemayaman air berkah dan api dharma Waisak.
Air itu diambil dari sumber air Umbul Jumprit, Kabupaten Temanggung, di kawasan Gunung Sindoro, sedangkan air diambil dari sumber api alam Mrapen, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Air dan api tersebut menjadi sarana pujabakti utama umat Buddha bersama para biksu saat puncak Tri Suci Waisak 2013 yang jatuh pada Sabtu (25/5) di Candi Agung Borobudur.
Perayaan Waisak untuk memperingati tiga peristiwa penting dalam keagamaan Buddha bertepatan dengan Bulan Waisak, yakni kelahiran Pangeran Sidharta Gautama, Sang Buddha mencapai kesempuranaan, dan mangkat Buddha Gautama.
Sekitar pukul 15.51 WIB air berkah dari Umbul Jumprit yang dibawa para biksu dengan sekitar 50 kendi tiba di pelataran Candi Mendut, sedangkan sekitar pukul 16.27 WIB api dharma yang dibawa dengan obor dan beberapa lentera juga tiba di tempat tersebut.
Sejumlah petinggi Walubi, antara lain Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Walubi Arief Harsono, Ketua Dewan Penyantun Walubi Murdaya Widyawimarta, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Jateng David Hermanjaya, dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama A. Joko Wuryanto secara simbolis menyerahkan air dan api itu kepada beberapa perwakilan pimpinan Dewan Sangha Walubi, untuk kemudian diletakkan di altar besar dengan patung Sang Buddha berwarna kuning keemasan, di selatan Candi Mendut.
Para umat berasal dari berbagai majelis agama Buddha duduk bersila dengan sikap tangan yang takzim menyertai penyambutan air berkah dan api dharma Waisak, dengan iringan lantunan parita dan tabuhan bunyi-bunyian yang khas.
Para pimpinan dewan sangha secara bergantian mendaraskan doa dan melantunkan parita saat penyucian air dan api tersebut. Beberapa biksu berjalan di antara para umat yang bersila, untuk memercikkan air suci itu kepada mereka sebagai tanda berkat.
Beberapa petinggi Walubi dan biksu pimpinan berbagai dewan sangha kemudian menyalakan lilin panca warna di altar persembahyangan yang berhiaskan rangkaian bunga dan buah. Mereka mengambil api dharma dari beberapa obor di altar tersebut untuk menyalakan lilin panca warna.
Wakil Koordinator Vidyaka Sabha Walubi Biksu Wongsing Labiko Mahatera dan Sekretaris Jenderal Sangha Mahayana Tanah Suci Indonesia Biksu Dwi Virya berjalan paling depan dengan membawa air berkah dan api dharma dari altar menuju Candi Mendut. Para biksu lainnya mengikuti mereka dengan sebelumnya berpradaksina satu kali di candi tersebut.
Pelaksana Tugas Ketua Umum DPP Walubi Arief Harsono mengatakan bahwa air menunjang kehidupan manusia. Air sebagai lambang spiritualitas kehidupan umat Buddha karena mengantarkan mereka kepada kesadaran dharma dan mendatangkan berkah ketenteraman dalam kehidupan sehari-hari.
"Merawat mata air adalah merawat kehidupan," katanya.
Api sebagai lambang bahwa manusia mendapatkan terang dharma yang melandasi semangat cinta kasih sebagai jalan hidup umat Buddha.
"Kehidupan terayomi oleh terang dharma, dan manusia terlepas dari penderitaan. Api dharma sebagai pelita hidup," katanya.
Biksu Dwi Virya menjelaskan tentang prosesi persemayaman air berkah dan api dharma Waisak itu, sebagai saat yang baik untuk umat Buddha merenungkan makna pentingnya dua sarana puja tersebut pada puncak Waisak.
"Air itu punya sifat mengalir dari tempat lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Artinya umat diingatkan untuk tidak sombong, harus selalu rendah hati. Api sebagai lambang terang hati manusia dari kegelapan dan ketidaktahuan mana yang baik dan buruk," katanya.
Ketika manusia melakukan berbagai hal, katanya, selalu ada konsekuensi secara alamiah. Siapa yang menanam kebajikan akan selalu mendapatkan kebaikan dan ketika manusia melakukan kesalahan akan mendapatkan kesalahan pula.
Ia mengemukakan pentingnya manusia mengetahui tentang ihwal mana yang merupakan perbuatan kebajikan dan hal mana pula yang merupakan perbuatan mendatangkan penderitaan.
Lebih jauh tentang makna air, katanya, sebagai sumber kehidupan semua makhuk hidup. Umat harus menyadari peranan penting air dalam kehidupan di alam semesta.
"Biarpun air dikotori, dia tetap tenang. Seperti air memberikan sumbang sih, begitu juga Sang Buddha mengajarkan kita untuk berbuat yang bermanfaat untuk yang lain. Saling peduli," katanya.
Petang itu, umat Buddha seakan dituntun oleh cahaya rembulan menjelang purnama di langit Candi Mendut, untuk bermandikan refleksi air berkah dan api dharma yang membawa kekuatan rendah hati serta penerangan batin menuju puncak Tri Suci Waisak tahun ini.