Gadis yang memiliki nama lengkap Kholifatun Ma'rifah (25) ini tampak menjahit kain warna-warni yang telah dipotong dalam berbagai bentuk huruf sambil duduk di atas tikar yang digelar di ruang depan rumah pamannya, Ahmad Miftahudin alias Diman (56), warga Desa Kedungwringin RT 06 RW 02, Kecamatan Jatilawang, Banyumas.

Ipah, panggilan akrab Kholifatun Ma'rifah, sejak satu bulan terakhir tinggal di rumah pamannya yang bekerja sebagai buruh serabutan karena kedua orang tuanya, Ahmad Munawar dan Saini, telah meninggal dunia.

Sebelumnya, Ipah tinggal bersama neneknya (ibunda almarhumah Sainah, red.), Wartem (76) selama beberapa bulan.

Karena neneknya kerepotan, Ipah akhirnya tinggal di rumah Diman karena kebetulan istri pamannya, Sainah (55), merupakan saudara kembar almarhumah Saini.

Sementara itu, dua adik kandung Ipah, Siti Maesaroh (16) tinggal di Pondok Pesantren Alfalah, Desa Tinggarjaya, Jatilawang, dan bersekolah di Madrasah Aliah Jatilawang kelas X, sedangkan Setianingsih (11) yang baru menyelesaikan ujian nasional di Madrasah Ibtidaiah Kedungwringin tinggal di rumah adik ayahanda mereka.

Terkait dengan keterampilan yang dimilikinya, Ipah mengaku hal itu baru dipelajari sejak Januari 2013 dari seorang teman bernama Windi, siswi kelas VII salah satu madrasah sanawiah di Jatilawang.

"Kebetulan Windi datang minta tolong dan dia yang mengajari saya. Selanjutnya, saya belajar sendiri dari gambar-gambar," katanya.

Kerajinan tangan yang dia buat bermacam bentuknya, antara lain, berupa gantungan kunci bernama dan bros tokoh permainan Angry Bird.

Dalam sehari, dia mengaku hanya bisa menyelesaikan 10 huruf untuk dijadikan gantungan kunci bernama pemesan dan semua itu dilakukan secara manual atau dijahit menggunakan tangan.

"Saya buat kerajinan ini hanya berdasarkan pesanan dari teman sekolah adik-adik, belum dipasarkan secara luas. Harganya hanya Rp1.000 per huruf," kata dia yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah.

Kendati tidak pernah bersekolah, Ipah bisa membaca, menulis, dan berbahasa Indonesia serta mengaji karena diajarkan oleh almarhum ayahnya.

Menurut dia, almarhum ayahnya membelikan poster contoh-contoh huruf latin maupun huruf Arab (hijaiah, red.) untuk dipelajari.

"Selain itu, saya belajar dari televisi," katanya.

Lebih lanjut mengenai kerajinan tangan yang ditekuninya, Ipah mengharapkan adanya bantuan peralatan, seperti mesin jahit yang dapat digerakkan dengan tangan agar bisa memproduksi kerajinan lebih banyak dan lebih cepat.

Dengan demikian, dia pun bisa memasarkan kerajinan tangan tersebut tanpa harus menunggu adanya pesanan.

Sementara itu, Ahmad Miftahudin alias Diman mengaku ikhlas lahir dan batin untuk menampung Ipah meskipun dia sendiri cacat karena tangan kirinya harus diamputasi akibat terserempet kendaraan saat turun dari mobil beberapa tahun lalu.

"Ikhlas lahir batin karena Ipah adalah keponakan dan saya sendiri juga masih ada hubungan keluarga dengan mereka di samping istri saya merupakan saudara kembar ibunda Ipah," kata dia yang juga memiliki usaha pembuatan tepung tapioka di rumah.

Sementara itu, Sainah mengatakan bahwa ibunda Ipah yang merupakan saudara kembarnya, meninggal sekitar dua bulan lalu akibat kista.

"Meninggalnya belum genap 100 hari. Pertengahan tahun lalu, Saini pernah operasi dengan difasilitasi Jamkesmas. Namun, sembilan bulan kemudian meninggal dunia dan meninggalnya pun di rumah ini," katanya.

Menurut dia, ayahanda Ipah meninggal dunia beberapa tahun lalu akibat sakit darah tinggi, sedangkan kakak Ipah yang bernama Mualim meninggal dunia pada usia tiga tahun karena sakit.

"Mualim meninggal dunia setelah Ipah lahir," kata dia menjelaskan.

Ia mengatakan bahwa Ipah mengalami cacat tubuh sejak lahir. Bahkan, keponakannya ini ketika masih bayi selalu menangis jika terkena tangan dan kakinya saat digendong.

Akan tetapi, pihak keluarga tidak pernah mengetahui penyakit yang diderita Ipah karena belum pernah memeriksakannya ke rumah sakit sejak lahir.

"Orang tuanya juga tidak menyekolahkan Ipah karena kondisinya tidak memungkinkan. Namun, Ipah tetap diajari membaca oleh ayahnya sehingga dia bisa berbahasa Indonesia meskipun tidak pernah bersekolah," katanya.

Menurut dia, Ipah tidak pernah terlihat minder meskipun tubuhnya kecil dan kakinya tidak bisa digerakkan.

Hampir semua keperluan pribadi Ipah dikerjakan sendiri dan dia pun tetap mendirikan salat maupun mengaji.

Kendati demikian, Ipah masih membutuhkan bantuan untuk melakukan beberapa pekerjaan seperti mengambil nasi untuk makan.

"Ipah pernah mendapat bantuan kursi roda, namun tidak digunakan karena terlalu tinggi sehingga dia kesulitan. Dia tidur di kasur lantai karena sulit naik ke tempat tidur," kata Sainah.

Dia mengaku terharu terhadap kondisi keponakannya ini karena dengan keterbatasan yang dimilikinya, Ipah tetap semangat menjalani kehidupan.

Ia mengharapkan semangat pada diri Ipah bisa memotivasi anak-anak yang memiliki tubuh normal sehingga mereka dapat menjalani kehidupan tanpa rasa putus asa.

"Saat ini, banyak anak-anak muda yang sebenarnya kondisi mereka sehat. Namun, mereka menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan uang, seperti dengan cara memaksa," katanya.

Ipah hanyalah salah satu penderita cacat tubuh yang tetap semangat dalam menjalani kehidupan meskipun dengan banyak keterbatasan.

Meskipun cacat, dia tetap berusaha tidak merepotkan orang lain.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024