Beberapa kali pertanyaan dalam obrolan itu, tertangkap kesan keinginan serius Joko untuk mengetahui pengertian atas kata dalam bahasa Jawa tersebut.
"'Nglangut sakjane opo to mas, pengin ngerti tenan aku. Opo gairah yo, opo malah bukan tidak punya gawean. Opo yo, saya penasaran'. (Kata 'nglangut' yang mereka pakai sebenarnya apa mas. Sungguh saya pengin tahu. Apa gairah ya, atau malah tidak punya kerjaan, red.)," katanya.
Joko Aswoyo bersama kelompok di kampusnya membentuk grup bernama Sahabat Lima Gunung sebagai bagian jejaring dengan Komunitas Lima Gunung. Ia sejak beberapa tahun terakhir intensif mengikuti aktivitas seniman petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung. Lima gunung yang dimaksud adalah Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Namun, rupanya ia belum mendapat jawaban pasti atas pertanyaannya itu dari lawan bicaranya di jejaring sosial, kecuali kesan kalimat penutup obrolannya kala itu, bahwa "dunia nglangut" Komunitas Lima Gunung akan terus diikuti saja secara apa adanya.
"'Bir temulawak, yen dipikir ngrusakke awak. Luweh mas! he.... (Bir temulawak, kalau dipikir merusak badan. Biarkan saja mas, red.)'," katanya dengan kesan bercanda.
Merujuk pada Kamus Bahasa Jawa karya Drs Sudarmanto, terbitan pertama pada 2008 oleh Widya Karya Semarang, salah satu arti "nglangut" adalah "sangat jauh", sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata "langut" dan "melangut", yang salah satu artinya "merasa rindu".
Kata "nglangut" memang sesekali digunakan masyarakat Jawa dalam perbicangan harian, namun sejak pertengahan 2012 menjadi kosa kata yang makin ringan muncul dalam obrolan tentang apa saja yang dilakukan, terutama kalangan tokoh Komunitas Lima Gunung.
Sedangkan budayawan yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mengemukakan tentang terbukanya ruang pemaknaan "nglangut" oleh komunitas seniman petani komunitas tersebut, khususnya jika hal itu menyangkut suatu tindakan kebudayaan.
"'Nglangut' yang butuh pemaknaan zaman dan waktu. 'Nglangut' mikro dari alam semesta, namun ekologis makro," katanya.
Apalagi "nglangut" seniman petani Komunitas Lima Gunung, tak cukup memadai andai diartikan sekadar orang tak punya pekerjaan atau waktu kosong dengan suasana batin yang lengang.
Mereka pada umumnya adalah orang-orang yang beraktifitas cukup padat, pekerja keras dan disiplin terkait dengan olah pertanian, bermasyarakat di kampungnya, maupun menggerakkan roda kesenian dengan tradisi desanya sebagai bagian hidup sehari-hari, serta memekarkan jaringan gerakan kebudayaan lokalnya.
"Mereka bilang 'nglangut', tapi mereka juga pentas tidak pernah berhenti, disiplin mencangkul dan bekerja keras menanam. Mereka terus mengisi diri dan selalu menyusun agenda-agenda kebudayaannya. Mereka memiliki 'jagat nglangut' sendiri dengan definisi sendiri yang tidak sekadar satu arti, atau benar salah, hitam putih, atau baik buruk," kata Sutanto.
Tradisi Pementasan Kesenian
Dalam suatu perbincangan sejumlah tokoh Komunitas Lima Gunung di Pendopo DuniaTera Borobudur yang dikelola Dorothea Rosa Herliany (penyair) dengan suamiya Damtoz Andreas (pelukis), katanya, "nglangut" menjadi pijakan kuat komunitas itu untuk merintis tradisi pementasan kesenian apa saja yang mereka namai "Selikuran".
Komunitas itu, sejak 2000 juga memiliki agenda tahunan berupa pergelaran besar yang menjadi ajang silaturahim mereka secara mandiri, berupa Festival Lima Gunung, dengan ribuan orang dari dusun-dusun yang hadir dan perhatian para pengamat seni serta budayawan dari luar kota.
Sejak akhir 2012, setiap bulan sekali atau bertepatan dengan tanggal 21 malam, komunitas itu menjalani agenda pementasan "Selikuran" dengan tempat berpindah-pindah di dusun-dusun kawasan lima gunung, sesuai dengan hasil musyawarah para tokoh mereka.
Mereka sepakat iuran Rp5.000 per orang, sekadar berpijak pada hitungan biaya membeli "nasi kucing" untuk mereka santap bersama, setiap agenda pentas "Selikuran" digelar.
Hingga saat ini, pentas "Selikuran" telah berlangsung empat putaran, yang secara berturut-turut dimulai dari Studio Mendut (21 November 2012), Sanggar Warangan Merbabu (21 Desember 2012), Pendopo DuniaTera Borobudur (21 Januari 2013), dan Sanggar Wargo Budoyo Gejayan Merbabu (21 Februari 2013).
Pada 21 Maret 2013, rencananya pentas "Selikuran" di Sanggar Andong Jinawi di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Pakis, kawasan Gunung Andong.
"Setiap putaran 'Selikuran' boleh dengan konsep tertentu, namun boleh juga tanpa konsep. Kalau kebetulan ada agenda yang lebih penting pun, boleh tidak dilaksanakan. Mengalir saja. Kita bikin agenda ini menjadi ringan," kata seorang tokoh komunitas itu dari Gunung Merapi Sitras Anjilin.
Berbagai pementasan mereka, antara lain kesenian tradisional, kontemporer, kolaborasi, performa seni, wayang kulit dan ketoprak durasi pendek, pembacaan puisi, geguritan, dan pemusikan puisi, pidato kebudayaan. Mereka yang berpentas, tidak sebatas grup kesenian anggota komunitas itu, akan tetapi bisa dari dusun-dusun lainnya, secara individu atau kelompok kesenian lainnya baik dari daerah itu maupun luar kota.
Setiap kali selesai pergelaran, atau tepatnya saat mereka beranjak meninggalkan tempat pementasan "Selikuran" untuk kembali ke kampung masing-masing, selalu terdengar celoteh antarmereka, yang kira-kira bunyinya, "'Yo nglangut meneh' (Yo 'nglangut' lagi, red.)".
Padahal, mereka bukan penganggur atau pun hidup sehari-hari dalam kesepian di dusunnya. Ungkapan serupa juga acapkali terdengar, tatkala mereka hendak pulang setelah rapat-rapat membahas agenda komunitas .
Selain itu, di telepon seluler khususnya para tokoh mereka, kerap kali masuk berseliweran layanan pesan singkat yang kira-kira kalimatnya berbunyi pertanyaan, "'Wis nglangut durung?' (Sudah 'nglangut' belum?, red.),". Itu sinyal bahwa mereka akan segera menggelar pertemuan komunitas.
Bahkan, Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto dalam beberapa kali penutupan rapat para tokoh komunitas itu menggunakan kalimat, "Selamat 'nglangut'!".
"Kalau kami bilang 'nglangut' karena kami punya banyak mimpi, ingin berlari bersama waktu, ingin bergembira menjadi bagian perubahan. Yang kami tidak ingin kalau sebatas membuat definisi 'nglangut'. Itu mungkin tugas ahli bahasa," kata seorang tokoh lainnya dari Gunung Merbabu Riyadi.
Kalangan seniman petani komunitas itu memang terkesan tidak ingin terjebak dalam satu arti atas kata "nglangut" sebagai suatu daya ungkap. Akan tetapi, mereka memang sedang "demam nglangut".