Sikap halus budi dan rendah hati Sitras yang pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ketika menyampaikan kabar pementasan wayang bernuansa islami itu tertangkap dari sepenggal kalimatnya.

"Meskipun kami tidak terlalu hidup beragama, kami juga merayakan Maulud Nabi melalui pentas wayang menak," kata lelaki berumur 52 tahun itu saat menyambut kedatangan 32 peserta "live in" yang para guru Bahasa Indonesia berasal dari berbagai sekolah di Australia beberapa waktu lalu, di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang tersebut.

Meskipun cerita wayang menak yang bernuansa Timur Tengah identik dengan dengan nilai-nilai keislaman, kata dia, tidak semua yang terlibat dalam pementasan wayang orang itu sebagai pemeluk Islam.

Pementasan wayang menak oleh seniman petani padepokan itu, satu di antara empat tradisi pentas wajib dalam setiap tahun yang harus mereka jalani. Tiga pentas wajib lainnya, yakni perayaan Sura, Idulfitri, dan Hari Kemerdekaan RI.

Padepokan seni budaya di kawasan sekitar 7 kilometer barat daya puncak Gunung Merapi itu, dibangun pada tahun 1937 oleh tokoh spiritual Jawa, Romo Yoso Sudarmo (1885--1990).

Budayawan Komunitas Lima Gunung Magelang Sutanto Mendut yang bersama pegiat Rumah Buku Dunia Tera Borobudur Darmanto Andreas turut menyaksikan pementasan wayang menak, Rabu (23/1) hingga tengah malam itu, menyebut gerakan tarian para pemain wayang orang menak mengejawantahkan gerakan wayang golek.

"Latar belakang tempat dari kisah wayang menak yang dimainkan padepokan ini dari kawasan Timur Tengah. Pesan-pesan nilai budaya islaminya disampaikan komunitas ini kepada publik," katanya.

Pada perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW tahun ini, mereka mementaskan wayang menak dengan mengusung lakon "Jemblung Umarmadi Mbangun Swarga" (Gemblung Umarmadi Membangun Surga).

"Ini lakon 'carangan' (karangan, red.) di luar Serat Menak sebagai buku induk cerita menak. Sejak awal 2000 sampai malam ini, pentas ketiga untuk lakon itu. Masih ada cukup banyak lakon lain dari wayang menak yang pernah kami pentaskan," kata Sitras sambil menunjukkan buku berjudul "Serat Menak Yogyakarta" terbitan 1992, sebelum pentas tersebut.

Lakon itu identik dengan cerita wayang dengan latar belakang nilai budaya Jawa yang dipentaskan pada umumnya dalam masyarakat Jawa, yakni "Semar Mbangun Khayangan" (Semar membangun khayangan).

Sitras yang generasi kedua penerus kepemimpinan padepokan di tepian Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi itu bertindak sebagai dalang pada pementasan malam tersebut, sedangkan pemimpin penabuh gamelan yang juga pemain kendang, Sumartin.

Dua biarawati dari rumah biara kongregasi Abdi Kristus (AK) Desa Sumber, Suster Dionysia dan Suster Cecila, rohaniwan Katolik Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber Romo Yoseph Nugroho Tri Sumartono, dan Kepala Gereja Paroki Roh Kudus Kebon Arum, Kabupaten Klaten Romo Vincentius Kirjito berbaur dengan masyarakat setempat di pendopo padepokan untuk menonton pentas wayang menak pada perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW.

Layar penutup panggung pementasan di pendopo padepokan pun dibuka. Para pemain wayang orang pada adegan pertama pementasan bersiap dengan tata posisi masing-masing antara lain Raja Kokarip, Umarmadi (Marsin) yang duduk santai bahkan menggambarkan tertidur di singgasananya, sedangkan dua punakawan, Bladu (Marno) dan Abu Janthir (Rahmad), memainkan performa jenaka.

Selain itu, sejumlah raja berasal dari negeri tetangga lainnya yang bernama Tuar Hamun (Kerajaan Mesir), Abdul Kurmein (Teheran), Adis Adeba (Dhaka), Ebam Markus (Bagdad), Rustamaji (Istambul), dan Abdul Azis (Yaman), duduk bersila dengan sikap serius, seakan sedang menunggu sabda dari Umarmadi.

Berbagai kerajaan itu, termasuk Kokarip, dikisahkan sebagai negeri "telukan" atau di bawah kontrol Kerajaan Puser Bumi di Tanah Mekah dengan rajanya Jayengrana (Bambang Imam Suwongso).

Setelah menancapkan wayang gunungan di depan tempatnya bersila, di bawah panggung padepokan, Sitras pun memulai memimpin pementasan wayang orang menak. Gending-gending gamelan mengiringnya mengucap kalimat doa islami sebagai pembuka pergelaran.

"'Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil'alamin. Wabihi nasta'inu 'ala umurid dunya waddin. Wassalatu wassalamu 'ala asrafil anbiya' wal mursalin sayyidina wa maulana Muhammad wa 'ala alihi wa ashabihi ajma'in. Ama ba'du'," demikian ungkapan Sang Dalang itu.

Pemerhati seni dan budaya dari kawasan Pondok Pesantren Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil), menerjemahkan kalimat Sang Dalang itu.

"Semoga keselamatan dan keberkahan dari Allah selalu tercurah kepada kita sekalian. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyanyang. Segala puji bagi Allah yang menguasai alam ini. Dan, puji bagi Allah yang memberikan kemudahan atas segala kenikmatan menjalankan segala perkara di dunia dan agama. Semoga selawat keselamatan tercurah kepada semua nabi dan rasul, khususnya Rasul Nabi Muhammad, para keturunannya, dan para sahabat penerusnya. Amin," katanya.

Wayang menak dengan lakon "Jemblung Umarmadi Mbangun Swargo" tersaji secara jenaka, untuk menuturkan keinginan Umarmadi membangun apa yang dibenaknya sebagai surga. Dia mengajak para raja "telukan" menyokong rencana tersebut.

Jayengrana juga mendengar rencana besar itu. Raja Jayengrana yang memiliki kekuasaan besar terhadap kerajaan-kerajaan "telukan" itu, juga terpikat oleh rencana Umarmadi membangun surga.

Namun, kawan akrab Umarmadi, yakni Adipadi Umarmaya (Marmujo) dari Kerajaan Ngetal Kandangan, memandang bahwa keinginan sahabatnya itu sebagai ihwal yang mustahil.

Dikisahkan dalam pementasan berdurasi sekitar dua jam tersebut. Salah paham atas kabar simpang siur rencana membangun surga itu mengakibatkan perang besar antara bala prajurit Umarmadi dan Umarmaya. Pasukan Umarmadi kalah dan lari tunggang langgang, lalu mundur hingga Keraton Kokarip. Umarmaya dengan prajuritnya mengejar hingga bertemu Umarmadi.

Dalam pertemuan yang nyaris menuju perang tanding antara mereka, Umarmadi menjelaskan secara gamblang kepada Umarmaya, bahwa yang dimaksud membangun surga itu bukan dalam gambaran bangunan wadak.

Keinginan membangun surga sebagai kehendak dari lubuk hati setiap umat beragama untuk melakoni syariat secara benar, beribadah dengan tekun, bertenggang rasa, dan toleransi terhadap sesama, serta berperilaku kebaikan lainnya, baik kepada sesama maupun alam ciptaan Tuhan.

"Intinya, surga dibangun dari dunia. Semua setuju," kata Sitras pada akhir pementasan itu.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025