Direktur Museum Haji Widayat, Fajar Purnomo Sidi, menduga bambu itu dipakai oleh orang-orang saat mengambil 140 lukisan peninggalan bapaknya, almarhum Haji Widayat.
Naik ke lantai dua bangunan utama museum yang megah di atas tanah sekitar 7.000 meter persegi itu, situasinya hampir sama persis. Dinding-dinding khusus tempat pajangan karya juga melompong, tanpa lagi terpajang lukisan-lukisan Widayat.
Begitu juga di gudang penyimpanan koleksi Widayat. Tinggal sedikit lukisan yang tersisa, seperti ditunjukkan Fajar Purnomo Sidi yang akrab dipanggil Mas Pungky, Minggu (13/1) siang itu.
Mereka, juga diduga telah mengambil lukisan-lukisan Widayat di gudang di dekat garasi di kompleks museum di Jalan Letnan Tukiyat Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu.
"Kami berduka," kata Mas Pungky.
Kejadian tersebut, kata Mas Pungky kepada ANTARA, untuk ketiga kalinya. Pertama sekitar 2005, satu lukisan secara ilegal sempat dibawa keluar museum, tetapi kemudian dikembalikan, kedua pada 2010 sekitar 50 lukisan karya Widayat dan koleganya yang sejumlah maestro juga hilang. Namun, hingga saat ini, sebagian telah kembali ke museum. Ketiga pada tahun 2013 sebanyak 140 lukisan raib dari dinding-dinding utama museum itu.
Museum Haji Widayat terdiri atas tiga bangunan penting, yakni museum tempat memajang berbagai koleksi Widayat, Galeri Hajah Soewarni, dan Artshop Hajah Soemini. Suwarni dan Soemini adalah dua isteri Widayat. Dari perkawinan dengan dua perempuan itu, Widayat memiliki 11 anak.
Setelah Widayat meninggal dunia pada tanggal 20 Juni 2002 dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di Makam Seniman Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, museum yang diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada tanggal 30 April 1994 itu dikelola oleh keluarga.
Total koleksi museum itu 1.001 karya. Sekitar 500 karya adalah koleksi non-Widayat. Kompleks museum itu juga ditandai dengan karya seni rupa lainnya, antara lain, berupa patung, relief, dan instalasi, sedangkan beberapa katalog pameran juga dipajang di museum yang letaknya sekitar 2 kilometer timur Candi Borobudur itu.
Sejak beberapa waktu terakhir, pengunjung museum sekitar 40 orang per bulan. Mereka terutama wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Namun, terkadang rombongan pelajar berjumlah 250 orang dari daerah lain atau sekelompok mahasiswa mengunjungi museum itu. Tarif masuk Museum Haji Widayat yang buka untuk umum, Selasa-Minggu, pukul 09.00--16.00 WIB sebesar Rp50 ribu untuk setiap wisman dan Rp20 ribu untuk wisnus.
"Kalau dulu dalam bentuk yayasan. Akan tetapi, setelah kejadian 2010, lima anak dikeluarkan dari manajemen. Sekarang dikelola enam anak Pak Widayat dalam bentuk PT (perseroan terbatas)," kata Mas Pungky yang juga salah satu anak Widayat itu.
Buku yang berisi tulisan tangan Widayat tentang salah satu wasiat Sang Maestro itu bahwa lukisan di museum tidak boleh dijual pun ditunjukkan Mas Pungky.
Pihak pengelola telah berupaya mengantisipasi kemungkinan praktik penjualan lukisan koleksi Widayat, antara lain, dengan mendokumentasikan, mencatatkan di notaris, mendaftarkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta memasang alarm di pintu-pintu museum.
Kronologi tentang raibnya 140 lukisan itu pun diceritakan Mas Pungky meski tidak secara detail karena proses penanganan hukum atas kasus itu telah dipercayakan kepada pihak kepolisian.
"Apesnya kami," katanya.
Ia juga tidak bersedia mengatakan tentang dugaan kasus itu terkait dengan masalah keluarga seperti halnya kasus serupa pada 2010. Koleksi yang hilang pada tahun 2013, terdiri atas 111 karya lukisan cat minyak di atas kanvas dan 29 lukisan cat akrilik di atas kanvas.
Kepala Kepolisian Resor Magelang AKBP Guritno Wibowo membenarkan telah menerima laporan kasus itu dan langsung menindaklanjutinya. Mas Pungky juga telah memberikan keterangan kepada polisi pada hari Sabtu (12/1).
"Kami langsung olah TKP (tempat kejadian perkara) dan masih mendalami. Ada dugaan terkait dengan kasus keluarga. Kami berharap kalau bisa diselesaikan dulu di intern keluarga," kata Guritno.
Diperkirakan kejadian tersebut antara Kamis (10/1) malam dan Jumat (11/1) dini hari. Ketika itu, Mas Pungky sedang di Pekanbaru untuk suatu urusan bisnisnya, sedangkan museum ditunggu sejumlah pegawai hariannya seperti hari-hari biasa.
Sejumlah kolektor dan budayawan Magelang Sutanto Mendut menyatakan keprihatinan atas perkara itu dengan mendatangi museum tersebut pada Sabtu (12/1) malam.
Seorang penunggu museum, Iskandar (59), mengaku bahwa dirinya telah memberikan keterangan kepada kepolisian. Sore itu, seseorang yang disebut Iskandar tak asing dalam keluarga Widayat, bersama sekitar enam orang datang ke museum dan meminta kunci kepada dirinya. Ia tidak bersedia menyebut nama orang itu.
Iskandar tentu saja tak curiga dengan orang tersebut. Ia hanya berpikir wajar, bahwa mereka ingin melihat-lihat koleksi museum. Iskandar pun lalu ke tempatnya tinggal, di bagian belakang kompleks museum karena sudah selesai jam kerja. Pagi harinya (11/1) sekitar pukul 05.30 WIB, seorang penjaga malam memberi tahu dirinya bahwa museum telah melompong, sebagian koleksi yang dipajang sudah hilang.
"Orang itu meminta kunci, saya tidak curiga apa-apa karena memang sudah dikenal di keluarga," kata Iskandar yang sejak dua tahun terakhir tinggal di museum itu.
Ia juga tidak bersedia menyebut kendaraan yang digunakan untuk membawa pergi lukisan-lukisan itu. Akan tetapi, Pungky menyebut dua truk dengan cukup banyak orang yang bahkan di antara mereka sempat memukul seorang penjaga museum.
"Kerugiannya bukan semata-mata nominal (uang, red.). Namun, ini barang seni (karya maestro pelukis, red.) yang hilang itu sehingga yang kami minta adalah kembali barang. Barang itu juga tidak bisa dijual atau dipindah tangan karena bisa dituduh penadah," katanya.
Kalau lukisan Sang Maestro itu nantinya bisa ditemukan dan menjadi barang bukti dalam polisi menangani perkara, kata dia, itu pun harus mendapatkan perlakuan khusus, yang berbeda dengan penanganan atas barang bukti perkara kriminal umumnya.
Ia telah menyampaikan kepada polisi terkait dengan kemungkinan penggunaan museum itu sebagai penyimpan temuan lukisan Widayat dengan status barang bukti perkara hukum, dan selanjutnya pihak kepolisian menyegel tempat itu.
Pihaknya telah menutup operasional museum itu (kecuali Galeri Hajah Soewarni dan Artshop Hajah Soemini) untuk pengunjung umum, hingga perkara tersebut selesai. Antara lain melalui media massa dan website Museum Haji Widayat, pihaknya menyebarluaskan identitas 140 koleksi yang raib, khususnya kepada pihak balai lelang, galeri seni, kolektor, dan para penikmat karya seni. Selain itu, segera menginvetarisasi ulang koleksi yang masih ada.
Sutanto yang juga pengajar program pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengemukakan bahwa kejadian yang mendera Museum Haji Widayat tak bisa dipandang semata-mata sebagai kasus tunggal, yakni museum peninggalan maestro pelukis Widayat.
Ia menyebut sejumlah museum lainnya di Indonesia seperti warisan maestro pelukis Affandi, Basuki Abdullah, Rusli, dan juga Museum Ronggowarsito di Kota Solo, serta Museum Gajah di Jakarta yang juga terbelit mendung persoalan masing-masing.
"Kasus Museum Widayat ini 'early warning system' (peringatan, red.), harus bisa dilihat dengan perspektif yang lebih luas, untuk melihat museum-museum lainnya. Banyak persoalan besar tentang museum," katanya.
Di anak tangga teratas, lantai dua Museum Haji Widayat dengan dinding-dinding tempat pajangan koleksi Sang Maestro, yang telah melompong itu, Mas Pungky menempelkan telapak tangan kanannya di dada.
"Sakit," katanya lirih.