Ucapan itu artinya "Semoga semua makhluk berbahagia". Setiap kebaktian umat Buddha, khususnya Sangha Theravada, kalimat itu terucapkan sebagai kredo mereka.

Sekitar 20 seniman petani, perwakilan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, duduk bersila di bawah patung Buddha Sakyamuni dengan posisi tangan yang disebut dharmacakra mudra.

Di altar batu candi di depan patung itu terdapat sejumlah sarana puja, antara lain, lilin, dupa, bunga, dan sejumlah kendi, sedangkan di kanan dan kiri patung Buddha Sakyamuni, bertahta dua arca masing-masing Bodhisattva Avalokitesvara dan Bodhisattva Vajrapani.

Malam itu (29/12), dengan dibimbing Sitras, mereka yang semua mengenakan pakaian warna putih dan berselempang kain putih serta hitam, sejenak waktu memejamkan mata, bersemadi. Mereka mengatur pernapasan masing-masing dan kemudian terkesan memusatkan kepada suatu perhatian. Suasana pun hening dan takzim.

"Di tempat ini kita bersemadi, memusatkan perhatian dan berdoa untuk keselamatan, ketenteraman, dan perdamaian baik dengan diri kita, sesama makhluk, dan alam semesta," kata Sitras yang mengucapkan kalimat aslinya itu dalam bahasa Jawa langgam krama inggil.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengakhiri semadi itu dengan menyulut satu batang dupa.

Mereka keluar dari bilik candi lalu menjalani pradaksina, yakni berjalan kaki mengelilingi Candi Mendut, searah jarum jam, sebanyak tiga kali.

"Pradaksina kita ini maksudnya bahwa arah perjalanan kita sesuai dengan putaran matahari, yang maksudnya kita selalu berjalan untuk mencapai kebaikan," kata Sitras menjelaskan.

Tembang macapat langgam dandanggula dilantunkan Supadi selama mereka menjalani pradaksina di Candi Mendut.

"'Ciptaningsun mring Kang Maha Suci, tata lahir donya lan delahan, diwaspada piandele mulyane Kang Maha Agung, yo den udi kawruhing batin, ciptaning manungsa tama, tata titi tutug dimen kanggo patuladhan, yo den udi kautaman'," begitu syair tembang tersebut.

Maksud tembang itu, kira-kira bahwa manusia yang diciptakan Tuhan menjalani kehidupan sesuai dengan tatanan dunia dan akhirat. Mereka menghidupi imannya dan memuliakan Tuhan untuk mencapai kesucian batin, menjadi manusia yang utama, dan teladan untuk sesama.

Prosesi di Candi Mendut sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur itu sebagai pembuka seniman petani Komunitas Lima Gunung dalam menggelar performa refleksi akhir tahun 2012 yang bertajuk "Ojo (Jangan) Dibahas".

Pergelaran berlangsung di Studio Mendut, sekitar 500 meter timur Candi Mendut, disaksikan oleh sejumlah kalangan, khususnya seniman, pemerhati budaya, dan penikmat seni, baik dari daerah itu maupun beberapa lainnya berasal dari luar kota setempat. Beberapa warga kawasan Candi Mendut dan Borobudur juga hadir untuk menyaksikan pergelaran tersebut.

Di bawah para pemimpin kelompok seniman petani, di masing-masing gunung, yang di internal komunitas itu menyebut diri sebagai "begawan", mereka secara plural tekun memutar roda gerakan kebudayaan berbasis kesenian tradisional, kontemporer dusun, dan menggarap pementasan kolaborasi, serta terus memupuk kearifan lokal melalui tradisi budaya desanya.

Beberapa pementasan kesenian mereka suguhkan pada refleksi "Ojo Dibahas" di panggung terbuka Studio Mendut, antara lain, tembang "Kentrung Madya Laras" dan "Madya Pitutur", tarian "Topeng Ireng Ayu", "Gerak Tipu Muslihat", dan "Kenya Ndeso". Studio Mendut selama ini menjadi "istana" Komunitas Lima Gunung.

Dua perempuan anggota komunitas itu, masing-masing Nana Ayom dan Siti Sitem bertindak sebagai penata acara, sedangkan penata lampu dan tata suara panggung Joko Ndesow.

Sekelompok musisi dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pimpinan Memet Chairul Slamet juga turun ke panggung Studio Mendut untuk memeriahkan pergelaran tersebut dengan memainkan performa musik berjudul "Labuh Gunung".

Beberapa penyair Komunitas Lima Gunung menyuguhkan puisi masing-masing, di antaranya Dorothea Rosa Herliany yang membacakan puisi karya sastrawan Ohio, Amerika Serikat, Helen Steiner Rice (1900--1981), berjudul "The Golden Chain of Friendship". Rosa juga menerjemahkan puisi itu menjadi "Tali Emas Persahabatan".

Penyair lainnya, Wicahyanti Rejeki menyuguhkan puisi berjudul "Pertigaan Jalan Hati", Atika "Refleksi", dan Damtoz Andreas "Mengintip Status Para Kakus".

"Kelihatannya sejarah sudah berjalan di Lima Gunung. Kekuatan agrobudayanya penting untuk ditransfer keluar komunitas," kata pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung yang juga pengajar Program Pascasarjana ISI Yogyakarta Sutanto Mendut.

Ia menyebut dinamika komunitas seniman petani yang telah terbangun dan terdidik secara organik selama belasan tahun itu sebagai harta luar biasa karena pengabdian mereka tak sekadar pada pelestarian kebudayaan dan gairah berkesenian rakyat.

Akan tetapi, katanya, mereka menghidupi relasi dan dialog kemanusiaanya melalui nilai-nilai kearifan lokal.

Pada kesempatan pidato kebudayaannya itu, Sutanto juga menyampaikan ihwal menyangkut pengelolaan komunitas seniman petani selama ini secara berkeadilan.

"Adil yang tingkatan dangkal itu kalau hanya numerik, tetapi ada keadilan 'scientific' (ilmiah), tertulis, dan keadilan tingkat organik sebagai yang tertinggi. Saya pilih yang organik untuk mengelola Lima Gunung, dengan mengabdi kepada kemanusiaan. Semua mendapatkan rejekinya," katanya.

Nilai kearifan lokal yang menjadi basis Komunitas Lima Gunung, membuat mereka memperkuat semangat persahabatan dengan siapa saja baik secara internal komunitas dengan dinamikanya maupun dengan pihak luar dalam memutar roda gerakan kebudayaan.

Maka, barangkali puisi Helena yang dibacakan Rosa pada malam refleksi akhir tahun itu, menjadi konfigurasi yang pas untuk ditahtakan di Komunitas Lima Gunung.

"Persahabatan itu seperti seikat tali terbuat dari emas. Yang menyambung teman-teman yang paling kita cintai. Dan, sebagaimana sebuah permata yang langka dan berharga. Persahabatan itu makin bertambah nilainya setiap tahun. Persahabatan itu tergumpal lekat. Dengan cinta yang dalam dan murni. Dan, penuh akan kenangan indah. Dan juga penuh perhatian. Waktu tidak akan mampu menghancurkan keindahan sebuah persahabatan. Sebab, selama kenangan akan persahabatan itu hidup. Tahun-tahun tak kan mampu menghapus kegembiraan dan sukacita yang diberikan oleh sebuah persahabatan," demikian sebagian kalimat puisi "Tali Emas Persahabatan" itu.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025