Di sebelahnya tergeletak amplop berisi "uang kaget", dengan tertulis nama dirinya, Eri Kusumawardani dan rekomendasi penggunaannya untuk melanjutkan kursus bahasa Inggris.

Uang itu titipan seorang peneliti di Jakarta melalui bapaknya, Sucoro (60), yang biasa dipanggil Pak Coro. Pagi itu, Sucoro yang juga pemimpin komunitas Warung Info Jagad Cleguk (WIJC) Borobudur, tiba di rumahnya di Borobudur, setelah menjadi peserta seminar "Politik dan Ekonomi dalam Pengelolaan Warisan Budaya", yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penelitian di Jakarta.

"Hanya waktu senggang saja kalau libur sekolah, dengan teman-teman mewawancarai turis, untuk penelitian kami tentang ketertarikan wisatawan terhadap warisan budaya Candi Borobudur," kata Eri yang saat ini kelas II SMA Negeri Mungkid, Kabupaten Magelang itu.

Penelitian itu terkait dengan kegiatan sekolah lapangan masyarakat Borobudur yang diprakarsai Pak Coro dalam wadah WIJC sejak beberapa waktu lalu. WIJC didirikan Pak Coro pada 7 Februari 2003, saat terjadi ontran-ontran terkait dengan rencana Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendirikan Pasar Seni Jagad Jawa di sekitar Candi Borobudur.

Eri yang anak keenam di antara tujuh anak Pak Coro pada kesempatan itu menyebut sejumlah nama kawannya dari sekolah lapangan yang turut dalam penelitian itu. Mereka antara lain Juli, Nova, Burhan, Koko, dan Bagus.

Wisatawan pada umumnya, katanya, tertarik dengan kemegahan Borobudur, akan tetapi tidak tahu banyak tentang sejarahnya. Mereka juga tidak tahu banyak tentang daya pikat kepariwisataan kawasan Candi Borobudur.

"Kalau anak sekolah, hanya tahu sebatas yang diajarkan di sekolah. Padahal pengetahuan Borobudur lebih dari sekadar yang selama ini tertulis di pelajaran sekolah," kata Eri yang siang itu masih mengenakan seragam sekolahnya.

Bagi Eri, aktivitasnya melalui sekolah lapangan itu bukan sekadar untuk tahu jawaban atas topik penelitiannya. Dari penelitiannya itu, ia belajar tentang mengumpulkan berbagai argumentasi atas pengetahuan, sebagai modal menyampaikan pendapat jika sewaktu-waktu hadir dalam suatu forum.

Pak Coro menyebut sekolah lapangan hanya salah satu upaya untuk memberdayakan masyarakat sekitar Candi Borobudur. Peserta sekolah lapangan yang berasal dari berbagai kalangan warga setempat itu, selain melakukan penelitian, juga menggali potensi kearifan lokal Borobudur dan mengembangkan usaha mandiri.

"Kemampuan sumber daya seperti itu yang harus terus diasah. Sekolah lapangan yang kami bangun itu, salah satu upaya saja untuk masyarakat," kata suami Kusminah (50) itu.

Dia dengan Kusminah dikarunia tujuh anak dengan saat ini empat cucu. Pada 1984, dia salah satu di antara warga kaki Candi Borobudur yang harus pindah karena pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur. Keluarga Pak Coro pindah dari tempat tinggalnya di Dusun Kenayan, kawasan kaki Candi Borobudur ke Dusun Janan, di Jalan Medang Kamolan Nomor 7, Dusun Janan, Desa Borobudur, di luar pagar TWCB.

Kehidupan sehari-hari Pak Coro terkesan secara kasat mata, tak semegah Candi Borobudur. Kekayaannya tak terlihat gagah secara material. Isterinya membuka warung makan di rumahnya, sedangkan dia sendiri masih setia sebagai agen koran untuk kawasan Candi Borobudur dan membuka jasa parkir sepeda motor wisatawan.

Karya Video Seni
Buku rekening tabungannya mendapatkan kiriman dari komisi penjualan buku berbahasa Belanda tentang "Pak Coro Cerita" yang diterbitkan pertama pada 2010.

Selain itu, sejak tiga tahun terakhir, Pak Coro menjual karyanya berupa kepingan video rekaman kehidupan khususnya tentang seni, budaya, kepariwisataan, dan kearifan lokal masyarakat sekitar Candi Borobudur. Eri menjadi pengisi suara berupa pembacaan narasi atas setiap rekaman tersebut.

Secara mandiri, Pak Coro telah memproduksi puluhan seri rekaman itu dalam bentuk Video Compact Disc (VCD). Rekaman VCD itu antara lain berjudul Tragedi Bumisambharabudara (sembilan seri), Warisan Budaya Agung (14), Harmonisasi Peran Seni (20), Borobudur dalam Genangan Sejuta Kepentingan (5), Darmabudaya Siwi (7), Erupsi Merapi dan Keagungan Borobudur (1).

Rekaman itu tak hanya dibeli wisatawan tetapi juga berbagai kalangan yang berminat mengetahui lebih dalam tentang Candi Borobudur dengan kawasannya, dan kehidupan warga setempat.

Ia terkadang tidak mematok harga yang pasti untuk satu keping rekaman itu karena Pak Coro menyadari betul bahwa isi rekaman tersebut sebagai khas. Namun, setidaknya harga untuk kalangan pelajar sekitar Rp25 ribu dan wisatawan umum Rp50 ribu. Bahkan ia pernah menerima pembayaran dari penjualan satu keping seharga Rp12 juta dari seorang berkebangsaan Kanada.

Bersama pegiat WIJC, ia mengumpulkan bahan-bahan VCD itu dari berbagai aktivitas sosial, wisata, seni, dan budaya yang mereka pelopori untuk menggali potensi masyarakat Candi Borobudur.

Rintis Agenda Budaya
Sejumlah agenda budaya yang dirintis oleh Pak Coro bersama masyarakat desa-desa sekitar Candi Borobudur, antara lain tradisi Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo (2005), Sendang Suruh di Desa Giri Tengah (2006), Sedekah Kedung Winong di Desa Sambeng (2008), Ritual Ringin Kembar di Desa Ringin Putih (2011), Wisata Budaya Anak di Candi Borobudur (2007).

Selain itu, setiap tahun Pak Coro bersama pegiat WIJC menggelar Ruwat Rawat Borobudur. Sejumlah agenda desa tersebut, saat ini telah dilakukan masyarakat desa yang bersangkutan secara mandiri dan berkelanjutan.

"Tidak semuanya mulus, ada yang terus melanjutkan tanpa melibatkan 'Warung Info', ada juga yang gagal, tetapi kemudian TWCB mengolah ide pemberdayaan itu menjadi pemberian subsidi pendidikan kepada anak-anak sekolah sekitar Candi Borobudur," katanya.

Untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, Pak Coro hanya menyebut dengan satu kata "Yakin", yang artinya dia tidak khawatir karena pemenuhan kebutuhan hidupnya bersama keluarga sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Ia menyatakan bahwa kehidupannya memang tak lepas dari persoalan kompleks yang melingkupi Candi Borobudur. Namun, ia juga menyatakan tidak ingin bermegah diri bagaikan pahlawan yang menyelesaikan persoalan Borobudur.

Berbagai persoalan itu, baik menyangkut kehidupan masyarakat kawasan, kepentingan kepariwisataan, maupun komitmen untuk pelestarian warisan budaya dunia yang dibangun abad ke-8 Masehi pada masa pemerintahan Dinasti Syailendara itu.

Semua pihak dalam berbagai aspek, katanya, berkepentingan terhadap Borobudur. Tak hanya masyarakat dengan berbagai komunitasnya, tetapi juga kepentingan daerah, nasional, dan masyarakat internasional.

Pak Coro yang menjadi bagian dari orang Borobudur itu secara otomatis masuk dan berkecimpung dalam persoalan Borobudur. Ia bertahun-tahun menjalani aktivitas sosial budayanya sehingga memiliki jejaring dengan berbagai kalangan baik tingkat lokal maupun nasional.

Belum lama ini, Pak Coro bersama sejumlah pegiat inti WIJC turut dipanggil oleh DPR RI di Senayan Jakarta untuk dengar pendapat menyangkut persoalan pengelolaan Candi Borobudur.

"Mereka (anggota DPR, red.) ada yang sampai sekarang tidak tahu bahwa Candi Borobudur dikelola oleh BUMN. Mereka tahunya dikelola oleh pemerintah daerah," katanya terkait dengar pendapat itu.

Di tingkat warga setempat, Pak Coro ingin terwujudnya suatu wadah yang merepresentasikan masyarakat kawasan Candi Borobudur. Ia juga berharap para pemangku kepentingan atas Borobudur melepaskan ego sektoralnya, kemudian membangun kompromi untuk menemukan jalan terbaik antara kepentingan pelestarian dengan kepariwisataan Candi Borobudur.

"Memang sulit, tetapi memang Borobudur itu persoalan yang menarik, sulit, dan selalu menjadi isu istimewa. Saya bersama masyarakat ditakdirkan hidup di Borobudur. Di dalam pusaran persoalan Borobudur itu, kami harus hidup dan menghidupi Borobudur," katanya.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025