Perempuan berkebaya dengan nama Wiji itu, satu-satunya warga Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang secara khusus bertugas menyiapkan sesaji untuk perayaan Sura (Tahun baru dalam kalender Jawa) atau biasa disebut Suran oleh komunitas padepokan tersebut.
Ia hafal betul tentang sesaji untuk perayaan Suran yang berjumlah 142 macam. Sejak umurnya 15 tahun, Wiji sudah menjadi asisten dari dua petugas penyiapan sesaji Suran Tutup Ngisor yang disebutnya dengan "Mas Carik Grogol" dan "Mbah Tohir" dari Dusun Grogol, Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun.
Dusun Grogol dengan Tutup Ngisor dipisahkan oleh Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi. Orang yang disebut Wiji sebagai "Mas Carik Grogol" dan "Mbah Tohir" adalah kerabat Romo Yoso Sudarmo ( (1885-1990), pendiri Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor pada 1937 dan perintis tradisi Suran di padepokan tersebut.
"'Kula niki tiyang bodho, mboten ngertos moco nulis, namung diparingi pangertosan kemawon kalian Eyang Yoso' (Saya ini orang bodoh, tidak bisa membaca dan menulis, hanya mendapat pengetahuan dari Romo Yoso, red.)," katanya.
Sore itu, dengan dibantu sejumlah perempuan warga setempat, di dapur padepokan, Wiji terlihat memimpin mereka untuk menyiapkan berbagai sesaji dalam aneka wadah, sedangkan sejumlah pemuda menata berbagai sesaji yang lain untuk digantung di panggung padepokan, tempat pementasan wayang orang pada puncak perayaan Suran, Rabu (29/11) malam hingga Kamis (30/11) dini hari.
Di antara 142 sesaji itu, Wiji menyebutkan antara lain tumpeng tolak rasukan, tumpeng wajar, tumpeng rasul, tumpeng krombyong, tumpeng wenang, tumpeng brontok, tumpeng tigan dadar, golong, tukon pasar, palawija, palakesimpar, wedang, banyu saringan, rokok, klembak, menyan, rokok jeruk, rokok kretek, kinang, dan kembang.
Selama bertahun-tahun menjalani kewajiban itu, Wiji mengaku belum pernah kelewatan satu pun sesaji yang harus disiapkan untuk Suran.
"'Paringipun Eyang (Romo Yoso, red.), sedaya keleresan, tertib (Berkat restu Eyang, semua lengkap, red.)," katanya.
Sesaji Suran itu, katanya, tidak lepas dari tradisi keluarga padepokan yang antara lain untuk memohon berkah dari Tuhan agar selalu sehat, beroleh keselamatan dalam hidup, gampang mendapatkan rejeki, dan tercapai cita-cita luhur mereka.
Wajib
Tradis Suran Tutup Ngisor adalah satu di antara empat tradisi wajib yang dijalani keluarga besar Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor. Tiga tradisi wajib lainnya yakni pentas kesenian rakyat untuk merayakan HUT RI, Idulfitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Mereka melakukan tradisi Suran bertepatan dengan bulan purnama atau pada 15 Sura dengan puncak acara berupa pementasan tarian Kembar Mayang oleh sejumlah remaja putri yang sedang tidak menstruasi dan pergelaran wayang orang dengan lakon "Lumbung Tugu Mas" oleh keluarga padepokan.
Pementasan kesenian tradisional yang mereka sakralkan itu sebagai ungkapan syukur atas rejeki yang telah diterima dan persembahan doa kepada Penguasa Alam, serta tolak balak agar kehidupan masyarakat sehari-hari selau beroleh keselamatan serta ketenteraman batin.
Berbagai rangkaian tradisi Suran Tutup Ngisor antara lain pemasangan janur di berbagai tempat di dusun setempat, yasinan dan kenduri di pendopo padepokan, penabuhan gamelan sebagai "gending caosan" yang disebut "uyon-uyon candi" di makam Romo Yoso. Candi adalah sebutan untuk makam Romo Yoso, letaknya di belakang padepokan, tak jauh dari Sungai Senowo.
Selain itu, kirab jatilan mengelilingi dusun sebagai ritual tolak balak, dilanjutkan pentas kesenian tradisional itu di halaman padepokan, pentas kesenian di sejumlah lokasi di dusun setempat, malam apresiasi dan pentas wayang orang gabungan. Para penampil adalah sejumlah grup kesenian yang selama ini menjadi relasi warga padepokan.
Pasang sesaji
Beragam sesaji mereka pasang di berbagai tempat untuk perayaan Suran di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor itu. Pemasangan sesaji itu setelah azar, sebelum malam puncak Suran.
Saat awal tradisi Suran Tutup Ngisor dirintis oleh Romo Yoso pada 1937, berbagai macam sesaji tersebut dibuat oleh Warna Senjaya, abdi perempuan Keraton Surakarta yang khusus untuk tugas menyiapkan sesaji.
Sitras Anjilin (51) yang saat ini meneruskan kepemimpinan padepokan kesenian itu mengatakan bahwa Warna Senjaya selain sebagai abdi Keraton Surakarta juga menjadi salah satu murid spiritual Romo Yoso.
Sitras adalah bungsu di antara tujuh bersaudara, anak Romo Yoso. Enam kakaknya adalah Darto Sari (87), Danuri (85), Damirih (81), Cipto Miharso (74), Sarwoto (59), dan Bambang Tri Santoso (56).
Terkait dengan banyak sesaji itu, katanya, dalam prosesnya, Romo Yoso menambahnya sehingga menjadi beraneka macam seperti saat ini.
Ia mengaku tidak hafal seperti Wiji yang hingga saat ini menjadi penerus petugas khusus penyiapan sesaji Suran Tutup Ngisor.
Sore itu, Sitras mengeluarkan buku tulis berisi catatan tak lengkap tentang sesaji tersebut, antara lain tumpeng tumpuk, bothok yuyu, keper cambah, pelas tumtuman, pepesan katul, sambel goreng, nasi lima warna, brondong ketan, brondong jagung, brondong pisang, polo kesimpar, jenang bening, dan jenang gendol.
Selain itu, wedang degan, wedang betitit pring, wedang kopi, wedang awar-awar, wedang asem, wedang jeruk, wedang laos, jadah bakar, golong tempe bakar, ingkung pitik, ingkung bebek, ingkung entok, iwak marmut, iwak terwelu, kupat, serabi, apem, pari, jagung, dan kepala kambing.
Ia menyebut tradisi Suran Tutup Ngisor sebagai wujud persembahan dan doa kepada Tuhan agar masyarakat beroleh keselamatan dalam kehidupan sehari-hari dan alam kawasan Gunung Merapi tetap menjadi sahabat mereka.
"Sesaji itu sebagai persembahan. Ibaratnya orang mengirim surat melalui pos, perangkonya diwujudkan dengan kemenyan dan bunga. Ini bukan hal yang tidak-tidak, tetapi tradisi yang terus kami jalani," kata Sarwoto, salah seorang kakak Sitras.
Berbagai sesaji ditempatkan antara lain di perempatan jalan dusun, sumber air, pohon beringin, sumur, kolam yang mereka sebut "bale kambang", kamar pribadi Romo Yoso yang mereka sebut sebagai "taman", dan makam Romo Yoso. Sesaji dengan jumlah cukup banyak digantungkan di atas panggung di pendopo padepokan, untuk diperebutkan warga begitu selesai pergelaran wayang orang.
Tradisi memasang sesaji tak hanya dilakukan warga padepokan itu saat merayakan Suran, tetapi juga setiap seminggu sekali, bertepatan dengan malam Jumat, meskipun dalam bentuk sesaji yang lebih sederhana.
"Kalau sesaji untuk Suran memang banyak macamnya. Kalau sesaji mingguan antara lain tujuh tumpeng kecil, jadah bakar, wedang kopi, teh, dan jahe, kelapa, kemenyan, dan kembang. Diletakkan di setiap rumah warga, di kamar pribadi, dan makam Romo Yoso," kata Sitras.
Ia mengatakan, sesaji dengan beraneka ragam dan jumlah yang banyak saat Suran di padepokan setempat itu seperti halnya dilakukan oleh pihak Keraton Surakarta dan Yogyakarta, khususnya saat memiliki hajatan.
Jumlah warga Dusun Tutup Ngisor, kata kepala dusun setempat Martejo, hingga saat ini sebanyak 201 jiwa atau 69 kepala keluarga. Dusun dengan udara sejuk itu di ketinggian 680 meter dari permukaan air laut, atau sekitar delapan kilometer di kawasan barat daya dari puncak Gunung Merapi.
"Sebagian besar hidup dari pertanian di Merapi ini, kami terus mempertahankan semangat kekeluargaan, berkesenian rakyat, dan menjalankan tradisi dari leluhur," katanya.
Komunitas Tutup Ngisor rupanya memang telah membangun tradisi dan menanam kekuatan spiritual untuk melanjutkan kebudayaanya itu, guna mencapai keseimbangan antara hidup pribadi, komunitas desa, dan alam Gunung Merapinya.