Bait kedua dan ketiga puisi itu berbunyi, "Pada waktu itu, bertambah pula pelajaranku, tentang ketulusan orang desa, keikhlasan ibu-ibu rumah tangga, keriangan anak-anak belia, ketika menjamu tamu. Selalu kurasakan dingin yang menggigit, di lereng-lereng pegunungan Sumbing, Merbabu, Merapi, Menoreh, dan Andong, tapi itu tak lama, berganti hangatnya suasana, dari masyarakat di sana".
Sebutan "Pak Tanto" dalam judul puisi itu adalah untuk Sutanto Mendut, budayawan dan pemimpin tertinggi para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang, yang setiap tahun menggelar festival secara mandiri.
Puisi "Festival Lima Gunung untuk Pak Tanto" karya Wicah yang juga pengajar bahasa Indonesia di SMP Kristen 1 Kota Magelang itu dibuatnya saat dia di Jakarta awal November lalu, untuk mengikuti lomba naskah buku pengayaan kepribadian, kumpulan puisi untuk sekolah dasar.
Ia meraih juara tiga pada lomba yang diselenggarakan Pusat Kurikulum Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan peserta kalangan guru berasal dari berbagai provinsi tersebut.
"Saya berpikir lomba seperti itu kita masukkan muatan lokal, maka selain puisi tentang Lima Gunung juga ada tentang tarian Topeng Ireng, Warok Bocah, Gerebek Getuk, dan Taman Kiai Langgeng. Itu bagian dari 80 halaman buku tersebut," katanya.
Nama Wicahyanti Rejeki (37) sebagai penyair saat ini terlihat tidak asing lagi, setidaknya untuk Magelang. Isteri Yoppy Hardiyan (40) yang dikarunia dua anak yakni Radja Restu Hardiyan (9) dan Keenan Datu Hardiyan (1) itu, boleh dibilang menjadi satu ikon Kota Magelang untuk jagat kepenyairan.
Ia juga menjadi salah satu pengurus inti Dewan Kesenian Kota Magelang periode 2009-2013 dan aktif di kelompok guru mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP di kota setempat.
"Saya jadi bendahara kalau di DKK. Juga menjadi Divisi Sastra Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kota Magelang," kata Wicah yang lahir di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat itu.
Dengan terkesan rendah hati, Wicah yang lulusan Jurusan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta pada 2001 dan kemudian mengajar di SMP Kristen Kota Magelang hingga saat ini tersebut mengaku belum sampai ribuan puisi yang dibuatnya.
Akan tetapi, ia menyebut telah turut aktif dalam kerja penyusunan buku kumpulan humor guru bertajuk "Guru Itu Lucu" pada 2010 dengan Penerbit Tribee Borobudur dan antologi puisi berjudul "Tanah Air Cinta pada 2012 dengan Penerbit Nitramaya Magelang.
Kawan dekat seorang penyair perempuan terkemuka Indonesia yang juga pengelola Rumah Buku Duniatera Borobudur Dorothea Rosa Herliany itu menyadari bahwa dirinya secara intensif menulis puisi sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ketika itu, ia sekolah di salah satu SMA di Medan, Sumatera Utara, karena ikut orang tuanya yang bertugas di kota tersebut. Masa kecil hingga remaja Wicah memang dihabiskan di sejumlah kota di Pulau Sumatra, seperti Payakumbuh, Pekan Baru, Padang, Palembang, dan Medan karena ikut orang tuanya yang bertugas berpindah-pindah.
"Tetapi memang sejak kecil sudah ikut lomba-lomba untuk baca puisi, juga menulis cerpen, pernah juga ikut lomba menulis cerpen remaja tingkat nasional," katanya saat siang itu ditemui ANTARA di ruang tamu sekolah tempatnya mengajar, yang bangunannya adalah peninggalan zaman Belanda.
Saat mengajar di kelasnya, tak jarang ia menulis puisi secara spontan, sebagai contoh untuk para siswanya.
"Guru itu sering nyuruh-nyuruh, menangnya nyuruh. Bisa ndak kita sendiri bikin, maka sering dengan spontan saya harus bikin puisi di hadapan anak-anak lalu ditayangkan di monitor, dan menjadi materi bahasan," katanya.
Usia anak setingkat SMP dan SMA, sebagai kurun waktu yang dipandangnya tepat untuk mengajarkan mereka menulis puisi. Sejumlah mantan siswanya hingga saat ini masih sering berkomunikasi dengan dirinya dan bahkan bertandang ke rumahnya untuk membicarakan soal jagat puisi.
Beberapa mantan siswa dan siswanya juga sering kali diajak Wicah untuk hadir dalam berbagai kesempatan acara sastra di daerah itu. Pada kesempatan itu, ia menyebut beberapa nama mantan siswanya yang saat ini melanjutkan sekolah di SMA di Kota Magelang yang terlihat menggemari dunia sastra.
Menulis puisi untuk anak-anak, katanya, memang lebih sulit daripada puisi untuk orang dewasa. Hal itu, terutama terkait dengan diksi yang harus lebih hati-hati supaya bisa dicerna anak-anak.
Ia juga umumnya melihat anak didik di SMP-nya mulai menunjukkan gemar membuat puisi dengan karya yang cukup baik, justru ketika mereka hampir lulus.
"Prosesnya memang mulai kelas VII, berlanjut ke kelas VIII, dan di kelas IX sudah kelihatan anak-anak yang berbakat di dunia sastra. Detik-detik mereka lulus adalah saat menyenangkan kalau kita lihat mereka ada yang menonjol dalam berpuisi," kata Wicah yang juga Divisi Sastra Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Cabang Magelang itu.
Berbagai karya puisi Wicah selama ini tentang tema-tema kehidupan seperti anak jalanan, bencana alam, pendidikan, dan kesenjangan sosial.
Karya puisinya dengan tema-tema itu dengan harapan memberikan landasan nilai untuk suatu perubahan hidup manusia dan masyarakat menjadi lebih baik pada masa mendatang.
"Telah kita khianati cinta demikian rupa, ketika seorang ibu bunuh diri dengan empat anaknya, sebab tak mampu membiayai mereka, dalam kejam kehidupan dan kejaran hutang-hutang, sementara kita nikmati berita sambil santap nikmat roti lapis keju-mentega," demikian bait pertama puisi "Telah Kita Khianati Cinta", karyanya dalam suatu acara di Elo Progo Art Borobudur pada 2 Juni 2007, yang masuk dalam buku antologi puisi "Tanah Air Cinta".
Ia menyebut kalimat-kalimat puisi antara lain menggugah orang lain untuk berempati terhadap suatu keadaan sosial.
"Melalui puisi, orang bisa merasakan penderitaan, bisa berempati, ada perubahan hidup, setidaknya orang bisa merasakan apa saja yang dirasakan orang lain," katanya.
Wicah, profesinya memang guru, namun kehidupannya berbalut jagat puisi.