Tubuh Gunung Merapi yang pada akhir 2010 memasuki masa krisis ditandai letusan eksplosif cukup dahsyat, disusul dengan bahaya sekundernya berupa banjir lahar melalui berbagai sungai mulai awal 2011 itu, siang tersebut tertutup kabut tebal, saat Ismail yang petugas pos setempat itu menjalankan tugas hariannya.

Sejumlah orang lainnya memarkirkan sepeda motor untuk kemudian berpakansi di pos pengamantan Gunung Merapi yang berjarak sekitar 4,4 kilometer dari barat daya puncak gunung dengan udara sejuk tersebut.

Ismail pun di ruang depan pos setempat berbicara panjang lebar dengan seorang tamunya itu, terutama tentang berbagai tanda dari puncak Merapi bila terjadi ancaman banjir lahar.

Sesekali radio komunikasi di pos setempat dengan lantai yang telah direnovasi dari tegel menjadi keramik mengkilat, pascaerupsi Merapi 2010, terdengar suaranya. Begitu pula suara sinyal khas pertanda akvitivas vulkanik Merapi yang landai, dari satu lainnya radio komunikasi di meja kerja pos di bawah kendali Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta itu, terdengar lirih.

"Dari sini, kalau terjadi banjir lahar, terdengar suara gemuruh dari puncak," katanya dengan bahasa Jawa dan raut muka terkesan ramah itu. Suara gemuruh itu karena benturan berbagai material vulkanik Merapi yang terbawa turun oleh air hujan deras dari puncak gunung untuk selanjutnya melewati berbagai sungai.

Berdasarkan kondisi terkini atas endapan vulkanik di puncak Merapi hasil erupsi 2010, diperkirakan hujan deras dengan intensitas 75 milimeter selama satu jam, bakal berpeluang banjir lahar, sedangkan pada kurun waktu musim hujan 2011, hujan dengan intensitas 50 milimeter telah mengakibatkan banjir lahar.

"Waktu itu karena abu sisa erupsi masih banyak sehingga ketika terkena air hujan langsung memicu banjir lahar. Kalau sekarang abu sudah habis sehingga air hujan di puncak harus meresap dulu ke dalam timbunan material, untuk kemudian mendorong terjadinya banjir lahar," katanya.

Erupsi Merapi 2010 telah mengakibatkan timbunan material vulkanik mencapai sekitar 150 juta meter kubik, sedangkan hingga saat ini sekitar 70 juta meter kubik berpotensi terbawa banjir pada musim hujan.

Banjir lahar Merapi pada tahun lalu mengakibatkan ribuan warga yang tinggal di kawasan sungai-sungai yang aliran airnya berhulu di Merapi harus mengungsi, sedangkan berbagai sarana dan prasarana seperti rumah warga, areal pertanian, jalan, jembatan, bangunan sekolah, pasar desa, dan tempat ibadah rusak.

Aliran banjir lahar pada 2011 di wilayah Magelang, antara lain melewati Jalan Raya Magelang-Yogyakarta di Gulon, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, menjebolkan satu di antara dua Jembatan Prumpung di Muntilan, Jembatan Tlatar (Dukun-Sawangan), dan Jembatan Srowol (Mungkid-Muntilan). Sebanyak 732 rumah warga di Magelang rusak dengan berbagai kategori yakni hanyut, rusak berat dan ringan.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, 3.632 keluarga menjadi korban erupsi dan banjir lahar Merapi, sedangkan 2.556 keluarga di antaranya telah bersedia direlokasi ke tempat yang relatif aman.

Mereka yang masih menolak relokasi itu tinggal di daerah dengan tingkat kerawanan tinggi bencana yakni di Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), Magelang dan Klaten (Jawa Tengah).

Pemerintah dan pihak swasta membantu korban banjir lahar antara lain berupa pembangunan hunian sementara dan hunian tetap. Selain itu, pemerintah juga memperbaiki dan membangun berbagai fasilitas seperti tanggul sungai, cekdam, jalan, dan jembatan yang rusak akibat banjir lahar 2011.

Pekerjaan perbaikan sejumlah sarana dan prasarana itu hingga saat ini masih berlangsung di berbagai tempat.

"Alat untuk memantau curah hujan ada di Pos Ngepos (Kecamatan Srumbung), tetapi kami juga bisa memantau melalui sinyal radio kalau material dari puncak turun terbawa air hujan," kata Ismaei.

Hingga awal November 2012, katanya, telah terjadi beberapa kali hujan gerimis di puncak Merapi. Hujan gerimis itu belum mampu menggelontorkan material vulkanik sisa erupsi 2010 melalui berbagai sungai.

Dari Pos Babadan, petugas bisa memantau langsung aliran banjir lahar yang melewati Sungai Senowo, Lamat, dan Sat, Pos Jrakah (Boyolali) memantau Sungai Apu dan Tringsing, Pos Ngepos memantau Sungai Sat dan Putih, sedangkan Pos Kaliurang (Sleman) memantau Sungai Gendol, Boyong, dan Kuning.

Para petugas dari setiap pos berkomunikasi secara intensif terutama melalui radio dengan jalur khusus, untuk berbagi informasi dan laporan atas perkembangan situasi terkait banjir lahar Merapi.

Keterangan dari BPPTK Yogyakarta, sekitar 30 juta meter kubik material sisa erupsi di wilayah barat Merapi, sedangkan 40 juta meter kubik di selatan. Di Sungai Gendol sekitar 27 juta meter kubik, Putih (9,3), Boyong (2,7), Krasak (8,6), Woro (5,5), Senowo (4,5), Tringsing (5), Apu (5,5), Pabelan (3), dan Kalibawang (1,1).

"Sungai Gendol paling banyak," kata Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo.

Banjir lahar diperkirakan pada Desember 2012, Januari dan Februari 2013 karena intensitas hujan dalam kurun waktu itu makin tinggi.

"Kalau terjadi banjir, kami juga proaktif menginformasikan melalui radio komunikasi kepada para relawan, supaya mereka meningkatkan kesiapsiagaan dan memantau sungai-sungai," kata Ismail.

Siaga
Belum lama ini, para relawan yang tergabung dalam berbagai organisasi di Magelang menggelar apel siaga bencana di Lapangan Pastoran Muntilan, Kabupaten Magelang.

Apel siaga atas prakarsa Gerakan Pemuda Ansor bekerja sama dengan Museum Misi Muntilan itu terkait dengan kemungkinan bencana alam di kawasan Merapi, dengan berbagai aliran sungai yang berpotensi menjadi tempat aliran banjir lahar.

"Potensi hujan menjadi hal yang membuat para relawan disiapkan untuk antisipasi kemungkinan terjadi bencana alam termasuk banjir lahar dari Gunung Merapi," kata Koordinator Relawan Banser Tanggap Bencana yang juga Ketua GP Ansor Kabupaten Magelang Muhammad Chabibulah.

Ia menjelaskan, bencana alam bukan untuk dihindari tetapi dihadapi dengan kesiagaan berbagai elemen masyarakat bersama pemerintah.

Pihaknya sejak 20 Oktober 2012 mengoperasikan kembali posko di Gulon, relatif tak jauh dari aliran Kali Putih, untuk antisipasi penanganan banjir lahar.

Sebanyak 10 sungai di Magelang berpotensi utama sebagai tempat aliran banjir lahar yakni Putih, Senowo, Pabelan, Tringsing, Apu, Lamat, Bebeng, Blongkeng, Krasak, dan Batang,

Kelompok relawan Pasag Merapi Kabupaten Magelang juga telah menyiagakan anggotanya terkait dengan kemungkinan banjir lahar pada musim hujan 2012. Kelompok yang beranggota sekitar 200 orang dengan sebagian besar telah memiliki radio komukasi itu dipimpin ketua umum Purwo Widodo.

Para anggota, kata Widodo, terutama tersebar di 19 desa di tiga kecamatan sekitar Gunung Merapi yakni Srumbung, Dukun, dan Sawangan, sedangkan wilayah pantauan banjir lahar anggotanya antara lain di Sungai Senowo, Putih, Bebeng (Magelang). Selain itu, di Sungai Juweh (Boyolali) yang alirannya hingga Kali Pabelan (Magelang).

"Sudah disiagakan anggota menghadapi musim hujan ini untuk meningkatkan kewaspadaan di sungai-sungai. Hingga saat ini memang belum terjadi banjir lahar. Masyarakat juga harus waspada meskipun jangan terlalu khawatir," katanya.

Berbagai kelompok relawan di kawasan Merapi lainnya juga telah meningkatkan kesiagaan anggota masing-masing untuk mengantisipasi datangnya kembali banjir lahar sewaktu-waktu.

Pemerintah Kabupaten Magelang melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga menyusun rencana operasi tanggap darurat banjir lahar dengan sasaran utama masyarakat di 370 dusun di 58 desa di tujuh kecamatan yang terkena dampak bencana pascaerupsi Merapi 2010.

Ancaman alam berupa gelontoran banjir puluhan juta meter kubik material vulkanik Gunung Merapi pascaerupsi 2010 memang masih harus diwaspadai, guna meminimalisasi jatuh korban.

"Jangan anggap enteng," kata Wakil Bupati Magelang Zaenal Arifin.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025