Tidak hanya kardus, tetapi juga ada beberapa kantong plastik besar berisi sampah anorganik, seperti kertas dan botol bekas.

Setelah dirasa cukup rapi dan mudah untuk diangkat, tumpukan kardus itu pun diikat untuk kemudian dijual kepada pengepul. Hasil penjualannya kemudian dibagikan kepada masyarakat yang menabung sampahnya atau digunakan untuk keperluan bersama.

Ya, di Kelurahan Peleburan, Semarang, sampah yang berasal dari masyarakat dikelola seperti sistem bank, atau biasa disebut Bank Sampah. Masyarakat menabung sampah terlebih dahulu untuk kemudian setelah sampah terkumpul dan dijual ke pengepul, masyarakat akan menerima hasil penjualan.

Tidak hanya sebagai bank untuk sampah anorganik, bank sampah di Peleburan juga menjadi tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang mengolah sampah organik menjadi kompos. Terdapat satu mesin di TPST yang digunakan untuk mengolah sampah, seperti daun untuk diproses menjadi kompos.

Libatkan Masyarakat
Bank sampah dan TPST di Peleburan adalah bagian upaya dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengendalikan sekaligus mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Masyarakat diminta memilah sampah rumah tangga antara sampah organik dan anorganik. Bahkan, tidak hanya memilah, masyarakat juga diharapkan dapat mengolah sampah.

Mengolah sampah mulai dari menerapkan 3R, yakni reuse, reduce, dan recycle. Mulai dari reuse, masyarakat dapat menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya.

Contoh dari reuse, seperti menggunakan kembali botol bekas minuman untuk menjadi tempat minyak goreng, dan menggunakan sisi kertas yang kosong untuk menulis.

Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah, seperti mengurangi penggunaan bahan sekali pakai, menggunakan produk yang dapat diisi ulang, dan menggunakan serbet dari kain dibandingkan menggunakan tisu.

Sementara recycle, mengolah kembali atau daur ulang sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat, seperti mengolah sampah organik menjadi kompos, mengolah kertas menjadi karton, dan mengolah sampah nonorganik menjadi barang bermanfaat.

Pengolahan sampah lainnya yang diterapkan sebagian masyarakat di Kota Semarang adalah menggunakan keranjang Takakura dan menggunakan kapur tohor (gamping) untuk menjadikan sampah organik menjadi kompos.

Keranjang Takakura adalah keranjang pembuat pupuk kompos atau komposter hasil ciptaan dari peneliti Jepang, Mr. Koji Takakura. Oleh karena itu, disebut "Keranjang Takakura".

Di Kelurahan Peleburan, terdapat 30 keranjang Takakura dan tersebar di enam rukun warga (RW) sehingga masing-masing RW terdapat lima keranjang dan setiap satu keranjang digunakan untuk 10 rumah tangga.

Lurah Peleburan Eka Krisnawati mengatakan, selain keranjang Takakura, di wilayahnya beberapa rumah tangga juga sudah memanfaatkan kapur tohor untuk menjadikan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, seperti sisa sayuran, atau sisa makanan untuk diolah menjadi kompos.

"Menggunakan kapur tohor ini lebih hemat dan dapat membuatnya sendiri dengan mengunakan kaleng bekas yang bagian bawahnya diberi lubang-lubang, kemudian diberi media secara berlapis: tanah, pasir. Setelah itu, baru sampah seperti sisa makanan, baru di atasnya diberi kapur tohor. Jika ada sampah lagi, bisa di atas kapur tohor diberi median lagi dan sama tahapannya," katanya

Di Kelurahan Peleburan, sudah di enam RW yang menerapkan sistem pembuatan pupuk kompos dengan menggunakan kapur tohor meskipun belum setiap rumah tangga.

Pupuk kompos yang dihasilkan masyarakat tersebut dapat digunakan untuk memupuk tanaman yang ada di taman. Adapun kompos yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik menjadi kompos di TPST, Eka mengakui sebagian masih menumpuk karena masih terbentur pemasarannya.

Tumpukan kompos di TPST tersebut merupakan sisa yang dijual ke Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang, pemupukan taman kelurahan, dan yang dijual kepada masyarakat.

"Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang setiap tiga bulan sekali, hanya membeli 10 sak dengan harga Rp3.000,00 per sak, sementara minat masyarakat untuk membelinya juga belum tinggi," katanya.

Padahal, lanjut Eka, pihaknya siap memberikan pelayanan siap antar jika ada yang membeli 10 sak atau lebih.

Uang hasil penjualan kardus dan kompos, tambah Eka, dikumpulkan oleh kelurahan dan digunakan untuk membayar petugas kebersihan dan pembelian bahan bakar minyak (BBM) untuk kebersihan.

Di Kelurahan Gajahmungkur, juga menerapkan bank sampah serta TPST dan sebagai daerah yang banyak pohon, pengolahan sampah organik menjadi kompos sangat efektif untuk mengurangi limbah.

Daun yang seharusnya masuk ke TPA, tidak jadi dibuang dan diolah menjadi kompos. Ada satu orang yang bertugas mengumpulkan sampah daun dan dua orang yang bertugas mengolah sampah menjadi kompos.

Upaya Pemerintah
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang Muthohar menyebutkan di Semarang ada beberapa kelurahan yang menjadi percontohan untuk bank sampah dan TPST, yakni Kelurahan Gajahmungkur, Sampangan, Muktiharjo Kidul, Jomblang, dan Pedurungan Lor.

Tidak hanya meminta mengolah sampah organik menjadi kompos, Dinas Kebersihan dan Pertamanan juga membeli kompos yang diproduksi masyarakat. Meskipun belum semua kompos yang diproduksi masyarakat dapat dibeli.

Kompos dari masyarakat tersebut digunakan untuk memupuk taman kota sehingga tidak perlu membeli pupuk ke luar daerah, seperti yang sebelumnya dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang.

Dalam mengelola sampah, selain bank sampah dan TPST, Pemkot Semarang juga bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengolah sampah yang ada di TPA Jatibarang. Pihak ketiga tersebut, yakni PT Narpati Agung Karya Persada Lestari yang setiap harinya dapat mengolah sampah sebanyak 250 ton untuk dijadikan kompos.

Muthohar menegaskan bahwa Pemkot Semarang tidak hanya meminta masyarakat menjaga kebersihan, mengurangi sampah, dan mengolah sampah, tetapi Pemkot bersama DPRD Semarang beberapa bulan lalu juga sudah membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Sampah.

Secara keseluruhan, adanya Perda tentang Pengelolaan Sampah tersebut, semakin memperjelas hak dan kewajiban masyarakat, hak dan kewajiban pemerintah dalam hal sampah.

Dalam perda tersebut, di antaranya menyebutkan larangan memasukkan sampah ke Kota Semarang atau mengimpor sampah, serta larangan membuang sampah yang dapat merusak lingkungan, termasuk larangan membuang sampah ke sungai.

Di Kota Semarang, produksi sampah setiap harinya mencapai 800 ton dan dengan adanya bank sampah, TPST, peran aktif masyarakat melakukan 3R, serta adanya pihak ketiga yang terlibat, hal tersebut sangat efektif untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA Jatibarang.

"Berkurangnya volume sampah tersebut dapat memperpanjang usia TPA. Jika TPA Jatibarang Semarang, misalnya, diprediksi usianya sepuluh tahun, maka bisa menjadi lebih lama menjadi 20 tahun," katanya.

Bahkan, tidak hanya memperpanjang usia TPA, pada tahun 2012, Kota Semarang kembali meraih penghargaan Adipura setelah penerimaan pada tahun 2009. Semarang menerima Adipura karena berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan untuk kategori Kota Metropolitan.

Setelah berhasil meraih Adipura, Pemkot Semarang terus berjuang untuk kembali meraih penghargaan yang sama pada tahun 2013. Oleh karena itu, Dinas Kebersihan dan Pertamanan terus melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang belum menerapkan pengelolaan sampah.

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025