Mungkin agak sulit menangkap maksud suguhan tarian tersebut terkait dengan agenda Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggelar sosialisasi tentang hemat energi untuk kalangan pelajar dan guru di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sore itu.

Tarian tradisional, "soreng", milik masyarakat desa di kawasan Gunung Merbabu itu, aslinya bertutur tentang olah keprajuritan yang dilakukan para penari laki-laki dengan iringan musik yang didominasi tabuhan truntung dan bende..

Akan tetapi, seniman petani yang tergabung dalam kelompok "Warga Budaya Gejayan", bagian dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) mengemas tarian itu sejak beberapa tahun terakhir menjadi dimainkan oleh penari perempuan Dusun Gejayan, Desa Banyisidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.

Kali ini, tarian tradisional tersebut dipelintir lagi terkait dengan kegiatan sosialisasi itu menjadi "Soreng Putri Hemat Energi".

Gerak tarian dan tabuhan musik dasarnya nyaris sama dengan aslinya yang berupa olah keprajuritan dengan irama tabuhan yang dinamis. Namun, sejumlah penari putri yang berpakaian keprajuritan itu masing-masing mengenakan properti di badannya berupa berbagai alat dapur, seperti tenggok, tampah, cething, kukusan, dan enthong.

Seorang seniman laki-laki, Pangadi, berpakaian warna putih dan balutan jarit warna hitam serta berbelangkon, berjalan perlahan memasuki arena pementasan di halaman pendopo itu sambil menenteng satu bungkusan kain putih.

Ia didampingi seorang penari perempuan, Suwar, yang membawa tenggok, kukusan, dan tampah. Pangadi duduk bersila, sementara pengiring tarian soreng mulai terdengar ditabuh anggota grup itu dari tempat di bawah satu pohon besar di halaman pendopo setempat.

Bungkusan kain putih itu dibuka oleh Pangadi. Isinya antara lain komputer jinjing, tape minicompo, dan satu kamera digital yang kemudian ditata di depannya bersila, sedangkan Suwar membawa berbagai alat dapur itu untuk diletakkan di dekat Pangadi bersila.

Suwar kemudian memainkan gerak performa di tempat itu, sedangkan Pangadi memainkan performa berdoa dengan menengadahkan kedua tangan dan sesekali melakukan sikap takzim dengan menyembah. Di belakang dua seniman petani itu, para perempuan memainkan gerak tarian "Soreng Putri Hemat Energi".

"Mengingatkan perlunya kembali ke alam. Jangan semuanya dari alam diambil untuk keperluan saat ini. Ingat generasi kelak membutuhkan juga potensi kekayaan alam," kata pemimpin kelompok "Warga Budaya Gejayan" Gunung Merbabu Riyadi setelah pementasan itu.

Sebagai pengingat pentingnya pemanfaatan kekayaan alam secara hemat, kata dia, penyuguh tarian itu mengenakan properti berbagai alat dapur yang umumnya terbuat dari bambu. Alat-alat itu hingga saat ini masih akrab digunakan masyarakat dusun dan gunung-gunung setempat untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, properti yang dikenakan Pangadi dalam mendukung pementasan itu simbol sebagai barang loak, ketika perangkat kemajuan teknologi itu telah tak berguna lagi.

"Kalau alat-alat tradisional dapur sudah usang dan tak berguna akan kembali berproses menjadi bagian alam yang bermanfaat. Akan tetapi, kalau barang-barang teknologi itu tak berguna lagi, menjadi sumber polusi alam," katanya.

Satu pendulum makna atas tarian itu barangkali memang tidak lepas dari sikap masyarakat dusun dan gunung setempat yang umumnya hingga saat ini tetap memandang hidup hemat sebagai nilai kearifan lokal dan alamiah.

Kalau mereka hidup hemat, bukan berarti mereka orang tidak berpunya. Alam gunung yang kaya potensi, tempat mereka tinggal itu, dimengerti betul oleh warga sebagai tempat yang tak pernah berhenti memberikan penghidupan.

Namun, mereka juga berpegang kepada pemahaman yang baik bahwa hidup boros sebagai nilai yang tidak patut atau tabu dijalani dalam hidup sehari-hari di desa.

Meskipun hidup mereka saat ini juga tetap bersentuhan dengan kemajuan zaman, berbagai alat konvensional yang dibuat dari sumber alam seperti alat-alat dapur yang menjadi properti penari "Soreng Putri Hemat Energi" itu masih tetap mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemanfaatan alat-alat konvensional itu sebagai bagian hidup mereka berhemat ketimbang membeli barang-barang bermanfaat serupa, namun buatan pabrik.

"Hemat itu kata yang sepele, tetapi itu adalah 'ilmu bahagia'. Hemat juga membuat orang hidup berkualitas," kata budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut saat menjadi pembicara pada sosialisasi dengan sasaran para pelajar SMP dan SMA, serta para guru, yang diselenggarakan Kementerian ESDM bekerja sama dengan Rumah Buku DuniaTera Borobudur pimpinan Dorothea Rosa Herliany itu.

Ia menyebut sejak zaman dahulu ada orang yang hidup serakah. Mereka adalah orang yang tidak bisa mengerem diri atas pemenuhan berbagai keinginan sehingga hidupnya dipandang tidak hemat.

"Itu terjadi sampai saat ini. Maka, ada pejabat Indonesia dengan rumah dinasnya ditempatkan banyak televisi, termasuk di ruang satpam. Selain itu, Jakarta yang selalu macet lalu lintasnya," katanya mencontohkan tentang praktik hidup hemat energi.

Pembicara lainnya yang juga peneliti Pusat Studi Pengelolaan Energi Regional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Gatot Supangkat Samidjo mengatakan bahwa gerakan hemat energi yang paling penting harus dimulai dari diri sendiri.

"Hemat energi itu bukan pengiritan, melainkan memanfaatkan energi sesuai dengan kebutuhan, bukan berdasarkan keinginan, sehingga tidak boros," kata Gatot yang juga dan pengajar Fakultas Pertanian UMY itu.

Ia mencontohkan tentang ihwal hemat energi yang mungkin relatif sangat sederhana, yakni mematikan komputer ketika tidak digunakan, membeli peralatan elektronik yang hemat energi, dan mengendara sepeda motor dengan laju yang konstan.

Gerakan hemat energi juga telah dikembangkan melalui pemanfaatan berbagai sumber energi terbarukan, seperti angin, air, matahari, biogas, dan tanaman.

Bahkan, kata dia, pengembangan rancangan bangunan ramah lingkungan dan hemat energi yang antara lain menyangkut pencahayaan dan sirkulasi udara, serta memungkinkan terjadi aliran energi dan daur ulang materi yang baik.

"Pikirkan dan pertimbangkan terlebih dahulu mudarat dan manfaatnya setiap akan beraktivitas dengan menggunakan peralatan elektronik, baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, seperti dikatakan Kepala Subbidang Penyajian Data dan Informasi Kementerian ESDM Nunung Eko Aji Wihanto bahwa gerakan hemat energi dimulai dari diri sendiri.

"Supaya gerakan ini mulai dari diri sendiri. Dan, anak-anak sudah mulai menjadikan sebagai kebiasaan sehari-hari," katanya.

Kata "hemat" mungkin memang sepele. Akan tetapi, ketika setiap hari orang makin menyadari pentingnya energi dan asal muasalnya dari alam, maka kata "hemat" diharapkan menjadi selalu teringat dan mendorong orang berolah diri untuk hemat energi.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024