Festival yang digelar secara sederhana tersebut, dimulai dengan kirab memedi gadu yang dimulai sekitar pukul 15.00 WIB dengan rute jalan perkampungan di desa setempat.

Peserta kirab, meliputi seni barong, kuda lumping, dan warga yang mengusung memedi gadu atau memedi sawah serta ada peserta yang merias dirinya menyerupai memedi sawah dengan memanfaatkan jerami.

Meskipun kirab baru dimulai sekitar pukul 15.00 WIB, ratusan warga desa setempat sudah memadati tempat pelepasan peserta kirab di lapangan desa setempat sejak pukul 13.00 WIB.

Peserta kirab yang membawa memedi sawah tidak hanya dari kalangan orang dewasa, bahkan sejumlah anak sesuai sekolah dasar (SD) juga cukup banyak yang ikut memeriahkan kirab tersebut sambil membawa memedi sawah berukurang kecil yang terbuat dari jerami.

Agung, yang masih duduk di bangku SD mengaku, belum pernah melihat secara langsung memedi sawah.

"Mengetahui bentuk memedi gadu, ketika di desa kami digelar festival memedi gadu sejak tiga tahun lalu," ujarnya.

Koordinator festival memedi gadu, pameran pentas seni dan kerajinan budaya, Sriyono mengakui, festival memedi gadu merupakan salah satu upaya memperkenalkan kepada generasi muda tentang kebudayaan petani setempat dalam mengusir burung yang dianggap mengganggu tanaman padi dengan membuat memedi sawah.

Kehadiran burung pemangsa padi pada masa itu, katanya, tidak perlu dibasmi dengan cara ditembak atau dipasangi jaring, melainkan cukup diusir dengan memasang memedi gadu di areal sawah atau menggerakan-gerakan tali yang dipasang pada memedi gadu tersebut.

Menurut anggapan petani, keberadaan burung dianggap sebagai penyeimbang kelestarian alam, sehingga keberadaan burung tersebut cukup diusir atau dikurangi populasinya.

"Kearifan lokal tersebut, perlu diperkenalkan kepada generasi muda sekaligus mendorong kreativitas mereka di bidang seni dan budaya," ujarnya.

Harapannya, kata dia, generasi muda juga menjunjung tinggi sikap arif dan bijaksana dalam menyikapi alam sekitar, meskipun era sekarang sudah modern dan segalanya bisa diperoleh tanpa susah payah.

Bentuk memedi gadu yang dibuat secara sederhana, katanya, tidak hanya menunjukkan sikap arif para petani dalam menyikapi lingkungan sekitar, melainkan menunjukkan pula kreativitas mereka di bidang seni.

Selain menggelar kirab, festival memedi gadu tersebut juga dimeriahkan campur sari, musik kontemporer, wayang golek, lomba mewarnai dan lomba cerita alam.

Tempat menggelar rangkaian acara festival tersebut, juga didesain dengan nuansa alam dan di sejumlah tempat terdapat memedi gadu.

Kepala Desa Kepuk, Tarno yang dipercaya melepas keberangkatan peserta kirab menyambut, positif adanya festival memedi gadu sebagai salah satu upaya melestarikan budaya yang saat ini mulai ditinggalkan oleh generasi muda.

"Tanpa ada festival, dimungkinkan banyak generasi muda yang tidak kenal memedi gadu atau memedi sawah," tukasnya.

Istilah memedi gadu, katanya, karena kehadirannya muncul di luar musim tanam tanaman padi, sehingga menanamnya disebut gadu.

Biasanya, kata dia, musim tanam tanaman padi di desanya hanya berlangsung dua kali, yakni musim tanam pertama dan kedua. Akan tetapi, ada petani yang masih tetap menanam tanaman padi di daerah dekat sumber air hingga musim tanam ketiga.

"Karena yang menanam tanaman padi tidak berlangsung bersamaan, maka untuk mengusir burung pemakan padi petani berinisiatif membuat memedu, sehingga muncul istilah memedu gadu," ujarnya.

Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor : hernawan
Copyright © ANTARA 2025