Toh mereka meneriakkan kata-kata itu dengan gelak tawa, bahkan sejumlah pegiat kesenian dan kebudayaan yang berpidato di panggung alam Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pun tak luput dari teriakan "jelek" yang kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah.

Terkesan tak ada yang tersinggung atas teriakan tersebut. Teriakan bersama mereka, seakan sebagai sindiran kepada Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo karena belum lama ini menyebut kesenian jaran kepang sebagai terjelek di dunia.

Pernyataan itu disampaikan Bibit Waluyo dalam pembukaan "The 14th Merapi and Borobudur Senior's Amateur Golf Tournament Competiting The Hamengku Buwono X Cup" di Magelang, Minggu (9/9), karena pentas kesenian jaran kepang oleh satu grup setempat pada kesempatan tersebut dianggapnya buruk.

Reaksi pun merebak di kalangan pelaku seni dan budayawan terutama di Magelang atas pernyataan orang nomor satu di Jateng tersebut. Sejumlah kesempatan di luar Magelang terkesan dimanfaatkan Gubernur Bibit Waluyo untuk mengklarifikasi pernyataannya itu, namun tuntutan kalangan seniman dan budayawan Magelang adalah permintaan maaf. Di media massa dan jejaring sosial, reaksi dan kecaman terhadap Gubernur Bibit Waluyo pun merebak dan terus berkembang.

"Kalimat Bibit Waluyo (Jaran kepang sebagai kesenian terjelek di dunia, red.) menjelaskan bahwa 35 juta warga Jateng mempunyai pemimpin yang sangat tidak bermutu," kata budayawan yang sekaligus pengukuh Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang, Sutanto Mendut, saat orasinya dalam Pentas dan Dialog Jaran Kepang bertema "Kemerosotan Budaya" di Studio Mendut, sore itu (13/9).

Pada kesempatan itu, Sutanto membacakan undangan dari Panitia Festival WOMAD (World of Music Arts and Dance) kepada Komunitas Lima Gunung untuk pementasan jaran kepang pada even seni budaya itu di Selandia Baru, 15-17 Maret 2013. Sekitar 30 ribu orang diperkirakan akan hadir pada festival itu dengan sekitar 400 musisi berasal dari berbagai negara.

Sore itu, di panggung alam Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur, penampilan jaran kepang baik oleh grup seniman petani Gunung Merbabu pimpinan Riyadi maupun Gunung Andong pimpinan Supadi Haryanto, masing-masing sama-sama diberi embel-embel "terjelek".

Para seniman petani Wargo Budoyo Gejayan (Gunung Merbabu) menampilkan tarian berjudul "Truntung Jaran Kepang" dengan embel-embel "Terjelek se-Merbabu", sedangkan beberapa seniman petani Sanggar Andong Jinawi (Gunung Andong) menampilan "Jaran Kepang Mantran" dengan embel-embel "Terjelek se-Andong".

Satu nomor tarian jaran kepang pada akhir pergelaran dilakukan secara spontan oleh para seniman petani tanpa mengenakan pakaian tarian itu. Namun setiap orang membawa jaran kepang dalam tarian tersebut. Bahkan beberapa anak sekitar Candi Mendut yang selama ini menjadi peserta pendidikan nonformal Sekolah Mendut pun turun dan ikut menari jaran kepang.

Seorang anak dari Gunung Andong bernama Ahad Widiantoro (6) naik ke punggung seorang pemain barong sambil membawa cemeti dengan wajah gembira, turut memainkan tarian jaran kepang kolaborasi kontemporer itu. Demikian juga dengan dua seniman kawasan Candi Borobudur, Andretopo dan Aning Purwa. Keduanya memegang kuda kepang ukuran cukup besar turut menari dalam sesi itu.

Gamelan pun bertalu-talu mengiringi tarian jaran kepang itu, sedangkan Supadi Haryanto menyaut mikrofon dan kemudian melantunkan tembang berbahasa Jawa dalam langgam atau cengkok Jawa pula, untuk turut menyertai iringan tarian tersebut.

"'Suwe ora jamu, jamu godhong telo. Suwe ra ketemu, jo gawe kuciwa. Iki tari wong waton prasaja, Muga bisa agawe gembira'," demikian tembang berupa pantun itu yang maksudnya bahwa tarian jaran kepang itu berasal dari masyarakat sederhana dengan harapan membuat gembira siapa saja.

Riyadi yang juga mantan Kepala Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang itu mengaku dirinya "sumuk" (gerah) terhadap pernyataan Gubernur Bibit Waluyo.

"Saya agak 'sumuk'. Ngukur jeleknya dimana. Bagaimanapun kesenian rakyat itu ada filsafat tinggi, justru dikatakan terjelek. Itu karena wawasan kebudayaannya dangkal. Jaran kepang itu kesenian rakyat, basisnya orang desa yang bertani. Kalau bukan penari jaran kepang ini, siapa yang nandur kubis, siapa yang menanam cabai. Untuk Pilgub Jateng tahun depan, siapapun gubernurnya harus mengadakan festival jaran kepang," katanya. Jateng pada 2013 akan menggelar pemilihan gubernur.

Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Mbilung Sarawita menyatakan telah menelusuri atas kronologi peristiwa terkait pernyataan Gubernur Bibit Waluyo bahwa jaran kepang sebagai terjelek di dunia itu.

"Ralat dari Gubernur itu tidak kena maksudnya, sikapnya tidak 'empan papan'. Walau sudah meralat, tapi harus meminta maaf. Sebelum meminta maaf, saya pribadi tidak akan bersedia hadir dan membantu penyelenggaraan apapun, dimana yang diundang Bibit Waluyo dan akan dihadiri Bibit Waluyo," katanya.

Tuntutan minta maaf
Seorang perupa dari lereng Gunung Merapi yang juga Ketua Jaran Kepang Gadung Mlati, Ismanto, bersama sekitar 10 seniman lainnya yang masing-masing memiliki grup kesenian jaran kepang juga menandai tuntutan permintaan maaf terhadap Gubernur Bibit Waluyo itu dengan pernyataan sikap secara simbolis melalui tanda tangan di atas tanah panggung alam Studio Mendut.

Pada kesempatan itu seniman kawasan Candi Mendut Andreas Darmanto membacakan teks pidato penyair kawasan Candi Borobudur Dorothea Rosa Herliany berjudul "Surat untuk Gubernur Provinsi Entah Negeri Entah". Rosa tidak hadir pada kesempatan di Studio Mendut sore itu karena sedang berada di Jakarta.

"Gubernur yang baik. Jika kau balas suratku nanti, kirimkan juga seikat rasa malu agar bisa kusebarkan dan kubagikan pada para orang berwajah rata itu. Jangan lupa kau ikat sebanyak-banyaknya agar tak ada yang tak kebagian," demikian sepenggal kalimat dalam teks tersebut.

Penyair Kota Magelang Es Wibowo membawakan puisi berjudul "Jathilan Kuda Kepang".

"Setelah congorku dijotos tangan besi. Aku meringkik kesakitan di malam sunyi. Pecundang yang merobek-robek pelanaku. Ingin rasanya kujungkalkan ke istal. Tempat Gagak Rimang lahir sungsang, mengetubani tarian kekal, menafakuri laku ritual, yang bergolak di gedhokan. Namaku Jathilan Kuda Kepang. Kuda liar titihan Haryo Penangsang, yang tersungkur di tombak Pangeran Pajang. Tetapi kenapa sejarah hidupku dinistakan? Atas nama kelembutan hati Ratnasambhawa, dikarmakan dharma daulat tanpa kendali. Atas nama kehalusan budi Amitabha, dikaramkan dharma tercela ke stupa candi," begitu puisi itu.

Seorang penyair Kota Magelang lainnya Wicahyanti Rejeki turut maju ke panggung untuk membacakan karya puisinya yang ditulis di perangkat telepon selulernya pada saat pergelaran tersebut berlangsung. Puisi itu pun agaknya tidak lepas dari kritik atas kepemimpinan Sang Gubernur.

"Inilah yang kita punya. Ketika petahta miskin rasa. Telah berkata-kata... Maaf, bukan kata... Tapi meracau tentang rakyatnya. Di sini, kita punya hati. Pak Padi bilang, ada frekuensi yang bicara. Pak Riyadi bilang, kesenian daerah punya filosofi yang tinggi. Kita peduli. Adakah dia punya? Di sini, segala gairah ada di antara kita. Yang menunjukkan kita sungguh cinta. Sedang dia, entah disembunyikan di mana. Dia petahta termiskin rasa di dunia....," demikian puisi berjudul "Obrolan Menjelang" itu.

Pengajar tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang juga pemimpin komunitas Sahabat Lima Gunung, Joko Aswoyo, mengatakan, kesenian jaran kepang ada sejak masa lampau dengan fungsi sosial yang melekat dalam masyarakat masing-masing daerah.

Kesenian jaran kepang dengan berbagai sebutan yang beragam, katanya, ada dari wilayah di Jawa Barat hingga Jawa Timur.

"Jaran kepang itu ada sejak zaman dulu, ada kekuatan yang harus dipahami, jaran kepang masih hidup sampai saat ini, ada fungsi sosial yang sekarang tidak dimengerti. Karena galau, karena gamang, membuat tidak percaya diri dengan kuda kepang yang kita miliki," katanya.

Pernyataan Gubernur Bibit Waluyo memang telah membuat kalangan seniman dan budayawan, apalagi para penari jaran kepang "meradang". Berhamburanlah respons dengan kata-kata dan reaksi melalui pementasan mereka.

Dan, baris terakhir dari teks pidato panjang lebar "Surat untuk Gubernur Provinsi Entah Negeri Entah" karya penyair Borobudur Dorothea Rosa Herliany yang dibacakan sore itu pun mencacinya.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025