"Ada enam persoalan pokok yang menjadi kelemahan dalam RAPBN 2013 yang merupakan salah satu instrumen vital pembangunan nasional," kata Ahmad Erani Yustika dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu.

Yang pertama, menurutnya yaitu APBN selalu didesain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefisiensi dan praktik koruptif.

"Kalau semata-mata membuat anggaran defisit di atas adanya inefisiensi belanja, maka itu sebuah kejahatan," ujar Ekonom Universitas Brawijaya tersebut.

Hal kedua yaitu desain APBN hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi (anggaran), tapi APBN tidak dibuat sebagai instrumen ideologis untuk mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi.

"Hal yang ketiga yaitu pengabaian semangat keadilan sosial dimana asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasarkan kepada tujuan sempit, misalnya pertumbuhan ekonomi," ujar Ahmad yang juga Direktur Eksekutif INDEF.

Persoalan keempat, lanjut dia, besaran alokasi anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan konstektualisasi dasar pembangunan nasional.

"Sebagian besar tenaga kerja berada di sektor pertanian dan industri,serta pelakunya adalah usaha mikro dan keci/menengah, tapi alokasi anggaran ke sektor tersebut sangat kecil," kata dia.

Kelima, kata dia, amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Misalnya, alokasi anggaran kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2 persen.

Menurut dia, persoalan terakhir adalah penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak, sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara.

"Mari kita perbaiki bersama apa yang menjadi persoalan dalam RAPBN 2013 untuk mengalokasikan anggaran secara proporsional terhadap sektor-sektor yang ada, menafkahi ideologi dan konstitusi, menyantuni kepentingan publik serta mencegah terjadinya praktik korupsi, khususnya terhadap penerimaan negara, misalnya dari pajak," ujarnya.

Pewarta : -
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024