Sesekali tiupan angin membawa asap dari tempat pembakaran ratusan gerabah produksi keluarganya di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu menerpa wajah Sumiyah.

Namun, perempuan itu tetap saja dengan tekun memutar "prebot" terbuat dari potongan kayu bundar membentuk meja kecil dan pendek itu, dengan kendil di atasnya yang sedang dirampungkan. Puluhan bakal kendil lainnya berjajar rapi di atas tanah, seakan menunggu sentuhan tangan terampil Sumiyah.

Berbagai produk gerabah mereka itu antara lain kendil, cobek, blengker, kuali, anglo, cuwo, dan wojo dengan harga bervariasi antara Rp2.000 hingga Rp3.500 per barang. Bahan baku gerabah yakni tanah liat, mereka beli dari pemilik tanah di dusun tetangga yakni Dusun Wadon, Desa Karanganyar. Satu ember yang seberat sekitar 50 kilogram seharga Rp3.500, sedangkan biaya penggilingan lempung itu Rp3.500 per ember.

Sekali pembakaran, bisa mencapai 100 gerabah, sedangkan kurun waktu antara Juni hingga September sebagai saat yang baik karena musim kemarau. Terik matahari yang bagus membuat pengeringan melalui penjemuran alamiah itu cukup sekitar lima jam, untuk selanjutnya masuk proses pembakaran. Proses pengeringan jika musim penghujan bisa membutuhkan waktu satu hingga dua minggu.

Siang itu, menjadi hari terakhir produksi gerabah keluarganya secara turun temurun di dusun yang berjarak sekitar empat kilometer kawasan selatan Candi Borobudur.

Dusun setempat berpenduduk sekitar 500 jiwa atau 300 kepala keluarga dengan sebagian sebagai perajin gerabah secara turun temurun baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum maupun wisatawan nusantara dan mancanegara yang berpakansi ke Candi Borobudur dan kawasannya.

Kurun waktu berikutnya, Sumiyah dan keluarganya mulai lebih fokus menyiapkan berbagai keperluan Idul Fitri 1433 Hijriah yang tinggal beberapa hari lagi. Lanjutan produksi gerabah secara tradisional bakal dimulai lagi sekitar dua minggu pascalebaran.

Selama Ramadhan, pengiriman berbagai produk gerabah Klipoh ke pasar tradisional dan warung-warung di beberapa wilayah di Kabupaten Magelang turut meningkat, seperti hanya permintaan sembako yang melonjak selama Bulan Puasa itu.

"Kalau persediaan gerabah di pasaran untuk memenuhi kebutuhan penjualan setelah Lebaran," kata Parjo (57), seorang perajin lainnya yang masih satu keluarga dengan Sumiyah.

Pada masa lampau, perajin gerabah Klipoh mengirim barang ke pasar-pasar tradisional dengan cara dipikul, sedangkan saat ini menggunakan sepeda ontel, atau diambil oleh para penyuplai menggunakan mobil bak terbuka.

"Dulu saya kalau 'mikul' sampai satu kuintal dua puluh (1,2 kuintal). Jalan kaki sampai Pasar Grabag harus melewati Kali Gending (Kecamatan Mertoyudan), berangkat siang begini, lalu menginap di Pasar Secang, baru besoknya meneruskan sampai Grabag," kata orang tua mereka, Ali Kasmudi (90), dalam Bahasa Jawa.

Ia terkesan mencoba mengingat-ingat kurun waktu pekerjaan mengirim gerabah dengan berjalan kaki dan memikul barang itu. Dengan bantuan seorang anak lelaki lainnya, Sukidi (43), kemudian tersebutlah pekerjaan Ali itu dilakoni sejak zaman Jepang hingga 1986.

Sejumlah tempat yang menjadi sasaran pengiriman gerabah produknya, terutama pasar-pasar tradisional seperti Pasar Grabag, Ngablak, Kaponan (Kecamatan Pakis), dan Temanggung, sedangkan Pasar Muntilan bukan menjadi sasaran pengirimannya karena kala itu telah banyak dipasok oleh para perajin dari Balangan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Saya tidak tahu kapan orang di sini mulai membuat gerabah. Simbah dan orang tua saya sudah bikin," katanya.

Gerabah Klipoh
Hingga saat ini, nampaknya belum banyak penelitian tentang produk kerajinan gerabah Klipoh, di kawasan Candi Borobudur itu. Akan tetapi, mereka menyebut jika tanah di pekarangan dusun setempat dikeruk hingga kedalaman antara tiga hingga lima meter, bisa dipastikan terdapat lapisan tanah liat, bahan baku kerajinan itu.

Beberapa waktu lalu, kata Ketua Kelompok Perajin Gerabah "Bina Karya" Dusun Klipoh Supoyo (41), satu insitusi pernah melakukan penelitian tentang kerajinan gerabah di dusun setempat, sedangkan para sesepuh menyebutkan bahwa produksi gerabah Klipoh diperkirakan lebih tua usianya dari pembangunan Candi Borobudur.

"Pak kaum menyebut sudah 10 generasi. Pak Ali itu satu generasi dengan almarhum bapak saya," kata Supoyo yang kelompoknya beranggota 73 perajin gerabah itu.

Zaman pembangunan Candi Borobudur sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra, katanya, konon para pekerja candi itu menggunakan alat rumah tangga dari gerabah buatan warga Klipoh untuk keperluan memasak.

Nama "Klipoh" terkait dengan cikal bakal dusun setempat yakni Nyai Kalipah. Klipoh sebagai singkatan dari kata "kali" dan "poh" artinya tempat yang bersanding dengan Kali Krinjing yang alurnya berhulu di Pegunungan Menoreh, tak jauh dari dusun setempat. Dusun Klipoh pada masa lalu terletak di barat Kali Krinjing namun kemudian bergeser ke timur sungai itu.

"Tidak tahu penyebab bergesernya lokasi dusun," kata Supoyo yang sesekali atraksi membuat gerabah sebagai suguhan kepada pengunjung Galeri Unik dan Seni Borobudur Indonesia (Gusbi) di bawah Bukit Dagi, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.

Terkait dengan produk gerabah dusun setempat, tidak lepas dari sosok bernama Nyai Kundi yang juga saudara Nyai Kalipoh. Nyai Kundi cikal bakal dusun tetangga yakni Dusun Gunden, Desa Karanganyar.

Dua sosok tersebut, saat ini disimbolkan dengan patung dua perempuan berpakaian kebaya terbuat dari gerabah yang masing-masing memegang kendil, di pintu masuk Dusun Klipoh.

Nyai Kundi disebut Supoyo sebagai pembuat gerabah bekerja sama dengan Nyai Kalipah. Akan tetapi, saat ini tidak ada warga Gunden yang menjadi perajin gerabah, sedangkan sebaliknya, sebagian warga Klipoh menjadi perajin gerabah hingga sekarang, antara lain berupa alat dapur, cendera mata untuk wisatawan Candi Borobudur, sovenir pernikahan, maupun properti rumah tangga dan hotel.

Ia bahkan mengaku memiliki jaringan usaha dan pemasaran cukup mantap dengan perajin gerabah di Kasongan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Berbagai kesempatan pelatihan dan pameran di sejumlah tempat baik di Magelang maupun luar daerah itu juga diikuti kelompoknya untuk pengembangan usaha kerajinan tersebut.

Usaha mereka juga mendapat dukungan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Bidang Pariwisata.

Harga berbagai produk gerabah milik anggota kelompok itu bervariasi seperti alat rumah tangga antara Rp1.000-Rp3.000 per produk, sovenir pernikahan sekitar Rp2.500, dan cendera mata untuk wisatawan antara Rp10.000-Rp50.000. Biaya produksi satu kubik sekitar Rp500.000 dengan pendapatan sekitar tiga juta rupiah.

"Kami juga melayani pesanan untuk sovenir pernikahan, juga sering dipesan dari Bantul dan Bayat. Kalau sekarang kami sedang membuat pelita dari gerabah, cukup banyak jumlahnya, pesanan hotel," katanya sambil menyebut nama satu hotel berbintang di Kota Magelang.

Hampir setiap hari, khususnya selama musim wisatawan mancanegara ke Candi Borobudur, antara Juli hingga September, rumah galerinya di Dusun Klipoh, mendapat kunjungan sekitar 10 wisman seperti berasal dari Belanda, Australia, Malaysia, dan China.

Pada hari biasa, selain wisatawan nusantara juga anak-anak sekolah di Magelang dan daerah sekitarnya berkunjung ke rumah galerinya.

Hal itu antara lain terkait dengan pengembangan kepariwisataan kawasan yang dilakukan pihak PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko melalui wisata dokar dan sepeda ontel, serta promosi yang dikerjakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Magelang.

Pengunjung rumah galerinya, termasuk kalangan wisman selain ingin mencoba membuat produk gerabah bersama perajin setempat, juga membeli gerabah antara lain berbentuk relief Candi Borobudur, asbak berbentuk candi, vas bunga, dan patung kepala Sang Buddha.

Warga tempat lain di Kabupaten Magelang memang hingga saat ini belum terdengar kuat sebagai perajin gerabah.

"Kalau untuk pembuat genting ada beberapa tempat di Magelang ini. Tetapi kalau untuk gerabah, dusun kami belum ada saingannya," katanya.

Gerabah Klipoh agaknya memang telah mencatatkan perjalanan sejarahnya terkait dengan kawasan peninggalan peradaban dunia, Candi Borobudur.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024