Sambil menggoreng bahan dasar produk industri rumah tangga di Dusun Putingan, Desa Grabag, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Khamid terkesan bersemangat mengisahkan peningkatan produksinya setiap kali menjelang Lebaran karena hal itu berarti pendapatan mereka lumayan lebih besar ketimbang hari-hari biasa.

Istrinya, Sri Luwiyati (31) sambil asyik membuat adonan untuk produk camilan di dekat tungku bernyala api dari kayu bakar di dapur rumah mereka siang itu pun ikut nimbrung bercerita tentang usaha produksi camilan berbahan dasar pati atau tepung kanji dan gandum ditambah dengan irisan loncang, seledri, dan sejumlah ramuan bumbu dapur itu.

Sejumlah tetangga yang umumnya para perempuan sambil saling bercerita di ruang tamu rumah Khamid, sibuk menimbang dan mengemas keripik bakso untuk siap dipasok kepada distributor dan pembeli kalangan warga setempat lainnya.

"Bisa untuk menambah lezat menu bakso, mi ayam, dan soto, tetapi enak juga untuk sajian sebagai camilan," kata Sri yang bersama suaminya itu sejak empat tahun terakhir bergelut dengan produksi keripik bakso, setelah belajar dari seorang saudaranya di Desa Sraten, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.

Melalui distributor di kecamatan setempat, keripik bakso "Cak Kathit" merambah berbagai pasar dan toko makanan khas daerah di beberapa wilayah terutama seperti Magelang, Salatiga, Boyolali, Semarang, dan Yogyakarta.

Pada hari biasa, produksi keripik bakso "Cak Kathit" sekitar 40 kilogram, sedangkan selama Ramadhan hingga Idul Fitri 1433 Hijriah meningkat menjadi 80 kilogram. Produksi camilan itu butuh waktu proses hingga tiga hari.

Jumlah mereka yang bekerja di rumah produksi Khamid juga lebih banyak ketimbang hari biasa dari empat menjadi delapan orang.

"'Niki mangke saget dumugi malem takbiran' (Maksudnya, kerja maraton memenuhi pesanan keripik bakso hingga malam menjelang Lebaran, red.)," kata Khamid.

Harga camilan itu pada masa Lebaran 2012 naik Rp1.000 ketimbang selama ini yang Rp65.000 per bal atau tiga kilogram. Harga per kilogram pada hari biasa Rp25.000, sedangkan kemasan lebih kecil yakni seperempat kilogram Rp6.500.

Kenaikan harga harus mereka lakukan karena bahan baku juga naik Rp2.000 per karung (isi 25 kilogram) dari harga selama ini, seperti pati Rp142.000 per karung dan gandum Rp129.000, sedangkan harga minyak goreng naik dari Rp165.000 per jerigen (isi 17 kilogram) menjadi Rp171.000.

Modal produksi mereka terutama untuk pembelian bahan baku yang biasanya Rp1,5 juta meningkat menjadi tiga juta rupiah. Untuk masa Lebaran 2012, Khamid memperkirakan mendapatkan pemasukan sedikitnya hingga Rp3,5 juta, sedangkan hari biasa sekitar Rp1.750.000.

"Kami mengajukan pinjaman penambahan modal untuk produksi menjelang Lebaran ini," katanya seraya menyebutkan pihak tertentu yang menjadi sasaran peminjaman modal itu.

Para warga lainnya di dusun itu juga memproduksi aneka camilan lainnya seperti kerupuk tahu, mendut (berbahan dasar ketan), samier (singkong), pethosan, nogosari, keripik singkong, ceriping glenter, getuk, dan onde-onde ketan. Dusun yang relatif tak jauh dari pasar tradisional Kecamatan Grabag itu memang terlihat menjadi suatu sentra produksi aneka camilan industri rumah tangga.

Sumarjo (50), pemilik usaha keripik tahu di dusun itu berjalan dari rumah tinggalnya menuju satu bangunan rumah produksi camilan tersebut yang berjarak sekitar 50 meter. Tiga warga setempat menjadi produsen kerupuk tahu di dusun setempat. Jumlah warga setempat sekitar 90 kepala keluarga atau sekitar 200 jiwa.

Sejumlah orang baik laki-laki maupun perempuan bekerja secara manual di dua ruangan cukup besar rumah produksi Sumarjo. Mereka antara lain membuat bahan dasar kerupuk tahu berupa tahu, menggoreng, dan mengemas kerupuk tahu ke plastik ukuran besar, sekitar 2,5 kilogram.

"Masih kami kerjakan secara manual dengan delapan warga yang ikut. Tidak ada penambahan tenaga kerja untuk masa Lebaran ini," kata Sumarjo yang selama 3,5 tahun terakhir menjadi produsen camilan tersebut dengan bahan baku yakni kedelai dipasok dari satu distributor di Kota Magelang.

Ia bahkan mengaku telah meningkatkan produksinya sejak Rejeb (Kalender Jawa, red) atau dua bulan sebelum Ramadhan untuk memenuhi pasokan hingga Lebaran 2012. Direncanakan produksi untuk pasokan masa Lebaran akan berakhir pada H-3 Lebaran mendatang.

Produk kerupuk tahu Sumarjo dipasok ke berbagai pasar dan toko camilan melalui penyalur setempat antara lain hingga Solo, Semarang, Magelang, Cirebon, dan Yogyakarta.

Pada hari biasa, produksinya sebanyak 12 kali masak atau sekitar 64 kilogram per hari, sedangkan untuk kebutuhan Lebaran meningkat menjadi 21 kali masak atau sekitar 96 kilogram. Harga kerupuk tahu yang sebelumnya Rp58.000 per bal naik menjadi Rp60.000, atau Rp24.000 per kilogram menjadi Rp26.000.

"Apa-apa juga naik, kami juga harus menaikkan harga, apalagi permintaan juga bertambah menjelang Lebaran ini," katanya.

Harga kedelai yang sebelumnya Rp6.200 per kilogram, katanya, telah naik menjadi Rp7.900-Rp8.050. Seminggu sekali ia kulak kedelai ke distributor di Kota Magelang sebanyak dua ton.

Pada kesempatan itu ia enggan menyebutkan modal yang dikeluarkan dan pendapatan yang bakal diperoleh dari peningkatan produksi kerupuk tahu menjelang Lebaran 2012. Namun, ia memperkirakan keuntungan yang diraup sebesar 10 persen dari modal usaha yang dikeluarkan untuk masa Lebaran 2012.

Camilan Lebaran
Lain lagi dengan para pembuat aneka camilan di Dusun Salakan, Desa Sirahan, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Lokasi itu di tepian alur Sungai Putih yang pascaerupsi Gunung Merapi 2010 menjadi salah satu tempat yang dilibas banjir lahar hingga pertengahan 2011 dan sempat membuat warga mengungsi ke tempat aman.

Mereka yang umumnya para perempuan juga terlihat giat di salah satu rumah produksi permen tape, jenang krasikan, wajik bandung, madu mongso, permen sirsak, dan wajik kacang ijo, milik Harsih, warga setempat

Seorang pekerja produksi camilan itu, Suratmi (38), siang itu berjalan meninggalkan sejumlah pekerja lainnya. Ia melewati dapur rumah Harsih dengan kesibukan para pekerja lainnya memproduksi aneka camilan itu, menuju satu rumah pemilik usaha tersebut di belakangnya.

Suratmi mengambil satu bal permen tape dari satu ruang, lalu dibawa ke ruang tamu rumah tinggal Harsih. Perempuan itu duduk timpuh di atas gelaran karpet dan tangannya lalu asyik mengemas permen tape dengan bungkus kertas minyak aneka warna menjadi kemasan ukuran setengah kilogram. Permen tape dibuat antara lain melalui proses memasak tape singkong, beras ketan, santan, dan gula.

"Tenaganya sekarang 10 orang, kalau biasanya hanya lima orang, tenaganya para ibu sekitar sini saja. Kalau hari biasa produksi untuk semua macam ini banyaknya satu kuintal, tetapi mau Lebaran ini meningkat menjadi satu kuintal per hari," kata Harsih.

Harga aneka camilan itu juga naik menjelang Lebaran 2012. Misalnya, permen tape naik dari Rp15.000 menjadi Rp16.000 per wadah plastik ukuran setengah kilogram, jenang krasikan Rp17.000 menjadi Rp18.000, wajik bandung Rp15.000 menjadi Rp16.000, sedangkan produk baru mereka pada tahun ini yakni madu mongso Rp20.000.

Produk aneka camilan dari dusun di tepian kelokan Sungai Putih itu telah merambah berbagai pasar dan toko makanan khas tak hanya di sekitar Muntilan, Kota Magelang, dan Yogyakarta, akan tetapi hingga Tuban (Jawa Timur) dan Lampung melalui jejaring mereka.

Berbagai macam camilan lokal produksi industri rumah tangga di berbagai daerah boleh dipastikan bakal mewarnai secara khas meja tamu rumah warga saat Lebaran mendatang, menjadi suguhan siapa saja yang datang untuk berhalal bihalal.

Aneka camilan produk lokal itu seakan menjadi warna pesaing suguhan makanan bermerek dengan "branding" berbagai pabrik besar yang bahkan model pemasarannya didukung iklan secara marak dan gencar baik di ruang terbuka maupun media massa.

Aneka produk camilan lokal itu pun, selain sebagai suguhan halal bihalal, boleh jadi menjadi oleh-oleh khas para pemudik tatkala mereka kembali ke kota-kota tujuan setelah berlebaran di kampung halaman.

Pengamat sosial Universitas Muhammadiyah Magelang Kanthi Pamungkas Sari mengemukakan, Lebaran yang ditandai dengan aktivitas mudik masyarakat dari kota-kota ke kampung halaman bisa menjadi momentum memperkenalkan aneka camilan lokal kepada publik yang lebih luas.

Produk makanan dari pabrik, katanya, memang hingga saat ini tetap marak di pasaran tak hanya kota besar namun juga di daerah-daerah. Apalagi menjelang Lebaran, tentunya juga terjadi peningkatan permintaan konsumen untuk suguhan Idul Fitri dan acara-acara lain.

"Tapi kalau ada banyak pilihan, pasti yang menarik untuk dinikmati adalah yang paling unik atau menunjukan kekhasan atau sesuatu yang khas," kata Kanthi yang juga pengajar sosiologi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu.

Pemudik atau pendatang dari kota-kota besar ke suatu daerah seperti Kota dan Kabupaten Magelang, katanya, bisa dipastikan menginginkan sesuatu yang khas di daerah itu atau bahkan tidak ditemuinya di daerah atau kota asalnya.

Sebagian warga yang jeli di daerah, memanfaatkan peluang usaha sehari-hari mereka dengan bergairah mendongkrak produksi camilan lokal, bertepatan dengan momentum mudik Lebaran.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025