Sejumlah orang, terus bekerja menyelesaikan instalasi di panggung utama pementasan kesenian untuk Festival Lima Gunung XI di Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada 4-15 Juli 2012.

Parmadi, seniman petani setempat yang juga perancang instalasi Festival Lima Gunung (FLG) XI/2012 Gunung Merbabu bersama beberapa lainnya tampak menggergaji bambu untuk tempat duduk penonton di bawah atap jerami, mengusung beberapa batang penjor bambu berhias jerami.

Beberapa anak dusun setempat yang telah libur akhir tahun pelajaran di sekolahnya turut membantu merangkai jerami untuk pembuatan instalasi bambu.

Puluhan penjor dari bambu dengan berbagai ragam hiasan dari jerami dan "dodok" (keranjang tempat bunga mawar) telah menghiasi sepanjang tepi kanan dan kiri jalan dusun yang bakal menjadi salah satu lokasi festival tahunan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

"Karena kami ini kan orang gunung, jadi ingin juga berpengalaman dengan kapal, maka kami buat instalasi kapal. Maka di gunung di desa kami pun 'kapal' berlabuh, kami bisa melihatnya," kata Parmadi dengan suara yang terdengar seakan bangga atas ide instalasi kapal itu.

Instalasi kapal akan digunakan sebagai tempat para penabuh gamelan, sedangkan para penari dan pengisi acara lainnya disiapkan panggung beralas tanah, di bawah kapal itu yang telah dipasang pagar bambu, sebagai pembatas dengan penonton.

Ribuan warga diperkirakan bakal menyaksikkan festival itu. Mereka terutama berasal dari desa-desa di kawasan itu sedangkan lainnya para seniman, pemerhati budaya, dan pelaku seni berasal dari sejumlah kota lainnya di luar Magelang.

Sejak sebulan terakhir, warga Gejayan bergotong-royong memasang berbagai instalasi dusun setempat untuk FLG XI/2012 Gunung Merbabu. Mereka memotong puluhan batang bambu dari areal setempat dan mengusung jerami dari lahan pertanian menuju lokasi dusun itu.

Instalasi jerami dan bambu berbentuk kapal di halaman rumah warga setempat, Minah, itu panjangnya sekitar 10 meter dan lebar empat meter. Di bagian belakang tertancap puluhan batang bambu polosan, sedangkan lima gunungan wayang dari jerami berbagai ukuran turut menghiasi latar belakang instalasi kapal tersebut. Lima gunungan wayang itu agaknya menjadi simbol Komunitas Lima Gunung.

Siang itu, Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryono tampak narsis dengan berdiri di ujung anjungan kapal jerami itu. Tiba-tiba Sekretaris Panitia FLG XI/2012 Endah Pertiwi berlari mendekati dan memotret dengan kamera saku atas momentum narsis Sang Ketua itu.

Panitia FLG XI/2012 telah menyiapkan berbagai agenda pementasan antara lain pameran tunggal foto "Bingkai Seni Dusun" oleh pewarta foto Kantor Berita ANTARA, Anis Efizuddin, pengajian budaya oleh dalang Ki Enthus Susmono, KH Muhammad Yusuf Chudlori, Sutanto Mendut, ketoprak "Kabut di Bukit Tidar" oleh para petinggi Komunitas Lima Gunung, sarasehan budaya oleh Safitri Widagdo, Eva Pitaloka, dan Dorothea Rosa Herliany.

Selain itu performa ritus "Tlompak" oleh Sutanto dan Pangadi, "Malam Puisi, Geguritan, dan Tembang Gunung" oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung, pentas teater Komunitas Tapak Liman Candimulyo, tarian "Ronggeng Gunung" dari Dusun Semimpen, peluncuran buku "65" karya Bre Redana, performa tari grup sejumlah perguruan tinggi.

Saat puncak festival di Merbabu itu, akan pentas performa "Gegala", "Pangpung", dan "Cublak-Cublak Suweng" oleh komunitas Sekolah Mendut , arak-arakan "Khitanan Gunung", pentas tari "Soreng Kemunafikan", "Grasak", sendratari "Klono Sewandono Kromo", performa "Limo Werno", tarian "Geculan Bocah", "Kukilo Gunung", "Gupolo Gunung", Kipas Mego", musik "Trunthung", tarian "Topeng Saujana", wayang bocah "Hanoman Duta", dan "Lengger Sumbing".

Kepala Desa Bayusidi yang juga pemimpin Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Riyadi, bahkan menyatakan tidak akan segera membongkar instalasi kapal itu setelah festival rampung.

"Akan kami pakai juga untuk pentas saat rangkaian tradisi Sungkem Telompak, setelah Lebaran nanti," katanya.

Selain di Gunung Merbabu, FLG XI/2012 juga digelar di Gunung Sumbing, di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, pada 30 Juni-1 Juli 2012.

"Hari ini (28/6), perwakilan masyarakat dari setiap rukun tetangga 'gerakan' (kerja bakti) membuat instalasi desa dari aneka dedaunan dan batang tanaman lombok, pelepah pisang," kata pemimpin Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, Sumarno.

Berbagai persiapan untuk festival di Sumbing telah dilakukan panitia pusat (Komunitas Lima Gunung) dan lokal (Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing). Sejumlah agenda pementasan antara lain performa sesaji "Ngundang Roh Gunung", pentas ketoprak "Kabut di Bukit Tidar", tradisi "Nyadran", tarian "Warok Putri", "Topeng Ireng", "Warok Putra", "Jathilan Panji Kinasih", "Margo Utomo".

Selain itu, arak-arakan Komunitas Lima Gunung, pembacaan puisi, tarian "Hip Hop Sapu Jagad", performa "Ngupadi Bayu Sejati", tarian "Grasak", "Kuda Lumping", "Soreng", "Warok Anak", "Truntung", "Lengger Sumbing", "Madyo Pitutur", "Jingkrak Sundang", "Dayak", sendratari "Sekar Agung", "Mars Gentha", "Mudra Braja Gentha", wayang orang "Sayembara Dewi Kunthi".

"Sabtu (30/6) siang ada beberapa grup yang sudah mulai pentas. Kami senang menjadi tuan rumah festival ini," kata Sumarno yang pernah 42 tahun menjabat sebagai kepala dusun setempat itu.

Seniman petani desa itu menyiapkan dua panggung pementasan yakni di halaman gedung sekolah dasar setempat dan di gedung sanggar komunitas tersebut yang terletak di satu tebing di bawah cungkup pepunden dusun yang mereka sebut sebagai Kiai Dipodrono.

Ia menyatakan tidak akan membongkar instalasi desanya yang terbuat dari berbagai bahan alam itu hingga sebulan setelah festival.

Supadi menyebut tidak repot menggelar festival tahunan Komunitas Lima Gunung itu justru karena dilaksanakan secara mandiri dan dalam suasana batin kekeluargaan antarseniman petani.

Berbagai biaya pemberangkatan grup kesenian ditanggung oleh setiap komunitas, sedangkan tuan rumah menyiapkan berbagai keperluan di lokasi festival seperti panggung pementasan, transit, menghias desa, dan izin keramaian.

"Tidak repot karena apa, karena tidak ada urusan dengan uang, tidak ada proposal dan minta sponsor. Bukan berarti kami berlimpah uang, kami ini petani yang berkesenian, yang hidup bersama kekayaan alam pertanian dan tradisi desa, yang selama ini bergaul dengan siapa saja. Kami telah sepakat untuk tidak berbicara uang untuk membuat festival. Jadinya tidak repot," katanya.

Festival itu, katanya, ajang bergembira bersama dan silaturahim kalangan seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung.

Riyadi mengatakan, istilah repot sudah tak masuk benak setiap pelaku festival yang untuk ajang pementasan kalangan seniman desa dan berbagi kebahagiaan melalui kesenian rakyat itu.

Sebagai tuan rumah, katanya, yang terpikir adalah upaya secara tulus hati warga untuk membuat semua pengunjung dan siapa saja yang datang berpentas di festival seniman petani itu bergembira.

"Sebagai tuan rumah, kalau dibilang repot, itu benar, karena harus mengerjakan panggung, memasang instlasi dari bahan alam, mengurus izin, menyiapkan rumah-rumah untuk transit dan penginapan tamu luar kota. Tapi, itu semua dilakukan dengan senang hati, jadinya istilah repot sudah tidak terpikirkan lagi, yang ada itu pemikiran bagaimana bahagia tamu, menjadi tuan rumah yang baik dan gembira," katanya.

Para seniman petani komunitas tersebut memang ingin menjadikan festival tahunan mereka sebagai peristiwa kebudayaan yang mandiri dan tidak repot.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025