Tampilan kamera di telepon seluler tertutup secara automatis dan berubah menjadi layar bertulis "GusYusuf2M3". Itu memori nomor telepon untuk KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), pemimpin Pondok Pesantren Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

"Mas, yang di Mendut malam ini jadi 'ndak'?" demikian suara di ujung telepon yang tak asing di telinga.

Malam itu, mulai sekitar pukul 23.00 WIB, Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur menggelar performa "Lelembut Life Senteces".

Acara itu setelah puluhan penyair berasal dari 11 negara merampungkan hari kedua pembacaan puisi dalam temu sastra mereka bertajuk Forum Penyair Internasional-Indonesia (FPII) 2012 di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang.

Sutanto Mendut, Endah Pertiwi, Pangadi, dan beberapa di antara mereka yang bakal memainkan performa "Lelembut Life Sentences" telah meninggalkan Candi Borobudur, sekitar 30 menit sebelum hari kedua pembacaan puisi rampung. Mereka menuju Studio Mendut. Sutanto adalah pemimpin tertinggi para seniman petani Magelang yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Mereka masih menyempatkan diri menghadiri peristiwa sastra internasional di candi Buddha terbesar di dunia itu malam tersebut sebelum memainkan performa sebagai wujud apresiasi atas dedikasi penyair Magelang Dorothea Rosa Herliany. Pada ajang FPII 2012 Magelang, Rosa sebagai ketua panitia penyelenggara dengan berbagai kesibukannya sejak beberapa bulan terakhir.

Forum itu diikuti 42 penyair dunia digelar di empat kota yakni Candi Borobudur, Magelang (1-3 April 2012), Pekalongan (4-6 April), Malang (7-9 April), dan Surabaya (10-12 April).

"Berangkat ke sana (Studio Mendut, red.) mas?" tanya Rosa yang malam itu masih duduk di kursi deretan belakang di Taman Lumbini Candi Borobudur.

Rosa yang telah menerbitkan sekitar 20 buku baik puisi maupun esai dan sekarang Direktur Rumah Buku Dunia Tera Borobudur itu, juga terlibat aktif dalam Komunitas Lima Gunung.

Sekitar 10 menit sebelum pukul 23.00 WIB performa yang digagas Sutanto Mendut itu mulai, Gus Yusuf dengan jaket kulit dan peci hitam bersama istrinya Vina Rohmatul Ummah yang berjilbab tersebut, sudah duduk di kursi rotan studio. Rosa juga telah duduk di samping kanan Nyai Yusuf Chudlori itu. Studio Mendut selama ini menjadi pusat aktivitas Komunitas Lima Gunung.

Mereka lainnya yang juga bersiap menonton performa di panggung terbuka Studio Mendut hingga sekitar pukul 01.00 WIB itu antara lain seorang di antara lima kurator sastra FPII 2012, Afrizal Malna, penyair kelahiran Yogyakarta yang saat ini tinggal di Paris Prancis, Garcia Asri, penyair Magelang, ES Wibowo, dan perupa Komunitas Lima Gunung dari Gunung Merapi, Ismanto.

"Khususnya kami suguhkan puisi-puisi Rosa ketika dia berusia 23 tahun. Dedikasi untuk Rosa," kata Sutanto Mendut ketika mengawali pementasan itu.

Rosa yang istri Damtoz Andreas, pelukis sekaligus desainer buku dan memiliki dua anak yakni Regina Redaning serta Sabina Kencana Arimanintan itu adalah kelahiran Magelang 20 Oktober 1963.

Setelah lulus Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Rosa yang sehari-hari berpenampilan ramah dengan tutur kata terdengar lembut itu bergelut antara lain dalam dunia jurnalistik, sastra, buku, dan penerbitan, serta melakukan perjalanan kesusasteraan ke berbagai negara seperti Filipina, Belanda, Australia, Jepang, dan Jerman, serta berbagai kota di Indonesia.

Ia juga mencatatkan diri sebagai penyelenggara beberapa acara sastra antara lain "The First of Ubud Writers and Readers Festival (2004)", "Global Voices in Borobudur, part of Ubud Writers and Readers Festival (2009)", "Reading Tour of Martin Jankowski in Poetry Dialogue" di beberapa tempat di Jawa (2006) dan Sulawesi (2008).

Selain itu, "Discussion Tour of Novel Martin Jankowski (2010) di 10 tempat di Jawa, Bali, dan Papua, "German Poetry Series Tour with Berthold Damshauser (2009, 2010, dan 2011)" di beberapa kota di Jawa Tengah, serta Ketua Panitia Penyelenggara FPII 2012 Magelang.

Rosa juga telah meraih sejumlah penghargaan antara lain Puisi Lingkungan Terbaik dari Menteri Lingkungan Hidup (1994), Sastrawan Terbaik dari Persatuan Wartawan Jateng (1995), Budayawan Terbaik dari Pemerintah Daerah Magelang (1995), Satu Di Antara 19 Wanita Ternama pada 1997 dari Majalah Femina (1997), Buku Puisi Terbaik untuk Buku "Mimpi Gugur Daun Zaitun" dari Dewan Kesenian Jakarta (2000).

Selain itu, Nominator 5 Terbaik "Kathulistiwa Literary Award" untuk bukunya "Kill The Radio" (2003), Pengarang Terbaik dari Pusat Bahasa (2003), Anugerah Seni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004), dan meraih "Kathulistiwa Literary Award (2006) untuk buku puisinya "Santa Rosa".

"Ini pilihan hidup, saya menjalaninya," kata Rosa.

Dua perempuan berjilbab yang juga pegiat Studio Mendut, masing-masing Endah Pertiwi dan Nurjanah, berdiri menempel di dua pilar tempat itu. Di tangan masing-masing, secarik kertas berisi tulisan lima karya Rosa yang telah menjadi bagian dari buku kumpulan puisi "Life Sentences" (2004).

Malam itu, dalam iringan beberapa nomor piano Sutanto Mendut, mereka membacakan secara berturut-turut puisi Rosa karya era 1980-1990, masing-masing "Adam Was Lost", "Whisper in The Night", "The Orchestra of The Leaves", "Endless Songs", dan "Married to The Moon".

Seorang seniman dari Gunung Prahu, Kabupaten Kendal, Jateng, Taufik, turut membangun suasana performa pembacaan puisi itu melalui pentas bunyi aneka satwa gunung dari mulutnya di panggung terbuka dengan keremangan cahaya lampu.

"'Adam was lost. No one wants to rebuild paradise, it has vanished, with the grass, the old weeds, the benches, and the book covered with dust. Who can count time's beads? The man called himself Adam, he looked after the garden for many centuries. No one wants to rebuild paradise, the serpent, Adam's rib. Let him be the first in a genealogy, that bears no history'," demikian puisi "Adam Was Lost" yang mereka bacakan.

Rosa membahasakan ke Indonesia puisi karyanya di Yogyakarta pada 1988 itu.

"Adam Terbunuh di Firdaus yang sunyi ini. Semak-semak tak lagi tumbuh, sedang buah ranum tempat tinggal bisa ular yang mematukmu, boleh kita petik setiap waktu. Rusuk Adam kautanam dan tumbuh gedung-gedung pencakar langit. Lampu-lampu yang menyilaukan, dan zinah berkepanjangan, bayang-bayang Adam membututimu, sampai sudut-sudut rumah ibadah. Tak ada waktu yang baik untuk lepas dari tikaman nafasnya yang anyir, yang telah jadi sejarah dan dongeng, dengan abjad-abjad berserakan".

Pada kesempatan itu, Afrizal Malna juga menyuguhkan sejumlah puisinya, sedangkan Garcia membacakan karyanya antara lain berjudul "Mantra", "Teater Kontemporer", dan "Tiga Sebelum Satu".

Selain itu, seniman Komunitas Lima Gunung yang juga dalang dari Gunung Merapi, Sitras Anjilin, dengan tabuhan dua gong oleh seorang seniman lainnya, Pangadi, menyuguhkan performa tembang "Suluk Lelembut Pewayangan", sedangkan grup kesenian rakyat Gunung Sumbing pimpinan Sumarno menyuguhkan tari "Lengger" dengan nomor gerak "Sontoloyo" dan iringan gending "Gondang Kali" yang bercerita tentang orang desa angon bebek.

"Kami hargai Rosa dengan kalimat-kalimat kehidupannya. Kalimat sastra Rosa terjadi karena 'wahyu' dari langit," kata Sutanto yang juga pengukuh Komunitas Lima Gunung tersebut.

Gus Yusuf yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung itu menyebut Rosa sebagai bagian dari "kita".

Pentas performa "Lelembut Life Sentences" malam itu yang terinspirasi dari kiprah kesasteraan Rosa selama ini, katanya, menyuarakan kelembutan Ilahi melalui sentuhan kemanusiaan.

"'Lelembut' sesuatu yang lembut. Allah juga Maha Lembut kepada kita. Sastra sebagai seni yang lembut, menyentuh hati dan jiwa setiap orang. Setiap hari kita yang dibenturkan dengan aneka masalah, dikembalikan ke arah kelembutan," katanya.

Pada kesempatan itu Gus Yusuf juga mengapresiasi peranan Rosa terhadap pengembangan pondok pesantrennya yang saat ini menjadi tempat belajar sekitar enam ribu santri berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Kegiatan sastra bertajuk FPII 2012 di Magelang, tak sekadar pembacaan puisi oleh para penyair dunia di Candi Borobudur, tetapi antara lain juga temu sastra mereka dengan para santri di Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo yang dipimpin Gus Yusuf.

"Saya mengapresiasi Mbak Rosa yang membawa kita di Tegalrejo bertemu dengan para penyair internasional. Ini warna baru pesantren kami, meningkatkan motivasi belajar tentang apresiasi dan memahami keragaman budaya supaya menjadi 'rahmatan lil alamin' (Rahmat untuk semua, red)," katanya.

Rosa menyampaikan terima kasih kepada kawan-kawannya di Komunitas Lima Gunung atas performa "Lelembut Life Sentences" itu yang justru digelar saat puncak kesibukannya mengatur pelaksanaan FPII 2012 Magelang.

"Saya tahu akan pentas ini. Malam ini saya rasakan sesuatu yang beda tentang apa yang saya tulis 23 tahun yang lalu. Buku itu lama tersimpan di rak. Terima kasih telah membuka puisi-puisi lama itu," katanya.

Tepat tengah malam itu, Rosa pun tak lagi mampu menyambung kalimat pidatonya, kecuali "'Matur sembah nuwun nggih!' (Terima kasih, red.)".

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024