"Prinsipnya, penyelesaian masalah tidak harus via peradilan/hukum yang ujungnya kalah menang sehingga konflik bisa berkepanjangan nggak selesai-selesai," kata Eva K. Sundari, wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI, menjawab pertanyaan ANTARA dari Semarang, Selasa.

Oleh karena itu, kata dia, DPR memasukkan klausul pemberdayaan pranata adat ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial dengan harapan institusi ini mampu mencegah konflik yang berujung pada kekerasan.

"Kalau mekanisme nonpengadilan, bisa 'win-win solution' sehingga diharapkan penyelesaiannya tuntas karena pihak yang bertikai saling legawa," kata Eva yang juga Ketua Pantia Kerja RUU tentang Penanganan Konflik Sosial.

Ia lantas mencontohkan sebuah sistem aliansi desa di Maluku yang bernama "Pela Gandong" yang merupakan "local wisdom" (kearifan lokal) setempat.

Akan tetapi, lanjut dia, karena mekanisme adat di perkotaan agak sulit, pemerintah menambahkan pranata sosial, termasuk penyelesaian konflik dengan melibatkan pranata pendidikan dan agama. "Namun, yang utama adalah institusi adat karena ada 'local wisdom'-nya," kata Eva.

Disebutkan dalam draf Pasal 9 Ayat (2) RUU PKS, penyelesaian perselisihan secara damai dilakukan oleh para pihak yang berselisih melalui penyelesaian berdasarkan musyawarah mufakat. "Hal ini bisa melalui mekanisme adat dengan keterlibatan pranata-pranata sosial, termasuk agama," ujarnya.

Dijelaskan Eva, musyawarah untuk mufakat adalah strategi, sedangkan taktis/teknisnya bisa oleh pranata adat dan sosial, seperti RT, RW, dasa wisma, dan kelompok-kelompok pengajian.

Pewarta : D. D. Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024