Bahkan, masyarakat di daerah terpencil pun sudah bisa menikmati fasilitas internet berkat adanya program mobil pusat layanan internet kecamatan (MPLIK) yang digulirkan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Selain itu, masyarakat desa di sejumlah daerah pun dapat mengakses internet melalui jaringan nirkabel atau yang dikenal dengan sebutan "WiFi" atau "hotspot".
Penyelenggaraan jaringan internet nirkabel di desa-desa ini ada yang merupakan bantuan pemerintah atau lembaga, dan ada pula yang diselenggarakan secara mandiri oleh pemerintah desa setempat seperti halnya d Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Di desa yang berada di lereng Gunung Slamet ini terdapat tiga "repeater" yang berfungsi sebagai antena penerima sekaligus pemancar jaringan internet.
Tidak hanya fasilitas "hotspot" yang diselenggarakan di Desa Melung karena pemerintah desa setempat juga menerapkan penggunaan sistem operasi berbasis "open source" atau Linux pada komputer personal (PC) maupun komputer jinjing (laptop) di kantor yang telah meninggalkan mesin ketik sejak delapan tahun silam.
"Sejak Oktober 2011, kami telah menggunakan sistem operasi 'open source' yang berbasis Linux pada komputer dan laptop kantor meskipun belum semuanya. Dari lima unit komputer dan tiga laptop, hanya satu komputer yang masih menggunakan sistem operasi 'windows'," kata Kepala Desa Melung, Budi Satrio.
Menurut dia, pihaknya belum menemukan sistem operasi atau distro Linux yang sesuai untuk komputer tersebut.
"Kami telah mencoba memasang beberapa distro, tetapi belum ada yang bisa terpasang. Mungkin karena kapasitas komputer ini terbatas lantaran menggunakan Pentium II sehingga ada beberapa perangkat kerasnya yang tidak dikenal Linux," katanya.
Dia mengakui, penerapan sistem operasi berbasis Linux ini berkat seorang relasi yang memperkenalkannya dengan pengelola Yayasan Penggerak Linux Indonesia (YPLI) yang mengembangkan distro Linux "BlankOn Linux".
Dari perkenalan tersebut, dia tertarik untuk menerapkan sistem operasi berbasis Linux pada perangkat komputer di kantor desa.
"Saya sangat tertarik menggunakan Linux yang merupakan sistem operasi dengan kode sumber terbuka karena penggunanya diberi kebebasan untuk mengembangkan sistem operasi ini. Apalagi, sistem operasi ini konon aman dari serangan virus," katanya.
Selain itu, kata dia, penggunaan Linux juga sebagai upaya mendukung program Indonesia Go Open Source (IGOS).
Oleh karena itu, berbagai aplikasi perkantoran berbasis Linux pun disiapkan oleh Pemerintah Desa Melung.
Bahkan, sistem administrasi kependudukan yang mengacu pada nomor kartu tanda penduduk (KTP) telah diterapkan di kantor desa ini meskipun masih bersifat sederhana.
"Kalau ada yang ingin mengurus surat-surat, kami hanya minta nomor KTP untuk dimasukkan pada aplikasi yang telah disiapkan. Saat nomor KTP tersebut dimasukkan, semua data mulai tanggal lahir hingga nama anggota keluarga, langsung muncul," kata Budi.
Kendati demikian, dia mengakui, hingga saat ini belum semua warganya masuk ke dalam database kependudukan Desa Melung karena dari 500 keluarga, baru sekitar 200 keluarga yang telah ter-"input".
"Kami melakukan ini secara bertahap. Kami juga tidak ingin menggunakan piranti lunak ilegal sehingga memilih piranti berbasis 'open source' ini," jelasnya.
Terkait hal itu, dia terus berupaya menyosialisasikan penggunaan sistem operasi terbuka ini kepada masyarakat termasuk sekolah-sekolah yang ada di Desa Melung serta desa lainnya di Kabupaten Banyumas.
Salah satu upaya yang telah dilakukan, yakni melalui pelatihan teknologi informatika berbasis "open source" yang diselenggarakan di Desa Melung akhir tahun 2011 silam.
"Saat ini, SMP Satu Atap telah menggunakan 'open source' pada komputer mereka," katanya.
Selain itu, dia juga bercita-cita untuk memasukkan bahasa Banyumasan ke dalam sistem operasi Linux.
Menurut dia, cita-cita ini telah disampaikan kepada pengembang sistem operasi BlankOn Linux.
"Kami ingin bahasa Banyumasan dikenal masyarakat terutama pengguna Linux. Oleh karenanya, saat ini kami sedang menginventarisasi bahasa Banyumasan agar bisa diterapkan dalam sistem operasi Linux," katanya.
"Hotspot" Desa
Penyelenggaraan "hotspot" di Desa Melung berawal dari keinginan pemerintah desa setempat untuk bisa mengakses internet dengan mudah.
"Dulu, kami sempat menggunakan jaringan internet nirkabel yang diselenggarakan salah satu operator karena sambungan telepon kabel tidak bisa menjangkau kantor desa. Namun jaringan internetnya sering kali mengalami gangguan," kata Budi.
Setelah berkonsultasi dengan seorang rekan, Budi akhirnya memutuskan untuk memasang tiga unit "repeater' yang berfungsi sebagai penerima dan pemancar jaringan internet dari sambungan telepon kabel yang hanya menjangkau Grumbul Melung yang berada di tepi Desa Melung.
Menurut dia, pemasangan "repeater" yang dilakukan secara patungan dengan SMP Satu Atap dinilai lebih murah dibanding menyambungkan kabel telepon ke kantor desa karena membutuhkan sedikitnya lima tiang telepon.
"Dari telepon kabel tersebut, jaringan internet dipancarkan ke dua 'repeater' lainnya yang berada di kantor desa dan SMP. Dengan demikian, masyarakat pun bisa menikmati akses internet sejak satu tahun silam," katanya.
Ia mengatakan, hingga saat ini sekitar 30 persen warga Desa Melung telah memiliki perangkat komputer, baik komputer jinjing maupun komputer personal.
Selain itu, Desa Melung juga telah memiliki laman (website) dengan alamat http://www.melung.or.id yang berisi berita, layanan pemerintahan, peraturan, data kependudukan, hingga laporan kegiatan pemerintah desa.
"Selama ini kita hanya tahu dunia melalui internet, kami ingin dunia mengetahui Melung melalui 'website' ini. Ini juga dalam rangka mendukung keterbukaan informasi publik sehingga ada halaman khusus yang berisi laporan kegiatan pemerintah desa," katanya.
Oleh karena itu, dia mengajak perangkat desa dan generasi muda Desa Melung untuk mengisi laman tersebut.
"Kami mencoba membiasakan mereka membuat tulisan atau berita tentang Desa Melung untuk ditayangkan di 'website'," jelasnya.
Ia bertekad untuk memanfaatkan teknologi informatika dalam menunjang sistem administrasi perkantoran sebagai upaya mengurangi kebutuhan penggunaan kertas (paperless).
Dalam hal ini, kata dia, peningkatan penggunaan kertas berarti meningkatkan penebangan kayu yang merupakan bahan baku pembuatan kertas, sehingga dapat berpengaruh pada keseimbangan lingkungan.
Terkait hal itu, dia mengharapkan pemerintah desa, kecamatan, maupun kabupaten dapat memanfaatkan teknologi informatika semaksimal mungkin sehingga dapat mengurangi penggunaan kertas.
"Salah satunya untuk mengirim undangan, cukup menggunakan email (surat elektronika) karena selain menghemat penggunan kertas, juga dapat mempercepat waktu pengiriman dan penghematan anggaran," katanya.
Sementara itu, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Melung Sulastri mengatakan, penggunaan sistem operasi berbasis Linux terasa lebih ringan dibanding Windows.
"Awalnya memang membingungkan dan terasa sulit, namun lama-lama bisa memahami dan pengoperasiannya lebih enteng dibanding menggunakan Windows. Bahkan saat 'browsing' (menjelajah internet), terasa lebih cepat," katanya.