Kudus (ANTARA) - Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menggandeng tiga perguruan tinggi untuk mendampingi santri yang menjadi korban kekerasan oleh pengasuh pondoknya.
"Kehadiran tiga perguruan tinggi, yakni dari Universitas Muria Kudus (UMK), IAIN, dan Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU), tentu menjadi semangat baru bagi JPPA untuk melakukan pendampingan terhadap santri korban kekerasan, termasuk korban kekerasan lain," kata Ketua JPPA Kabupaten Kudus Noor Haniah di Kudus, Senin.
Ia mengakui, tidak hanya menangani kasus kekerasan yang dialami santri di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Dengan dukungan perguruan tinggi, dia berharap, semakin banyak yang peduli pada isu-isu kekerasan anak dan perempuan.
Ia menduga, ada informasi yang ditutupi dalam peristiwa kekerasan santri, mengingat jumlahnya mencapai belasan santri yang juga mendapat hukuman serupa. Karena ada perbedaan jumlah antara keterangan dari ponpes dan pihak Kepolisian.
"Keluarga korban juga mulai mendapat tekanan agar kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi kehadiran tiga perguruan tinggi ini yang akan bergabung dengan JPPA dan tim hukum kami, sangat penting untuk mengawal hak-hak korban," ujarnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UMK Hidayatullah mengungkapkan bahwa kasus kekerasan santri ini harus ditangani secara serius karena sudah menjadi perhatian luas terhadap dunia pendidikan di Kabupaten Kudus.
"Jangan sampai ada kesan kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pondok pesantren merupakan hal lumrah dan biasa. Khawatirnya kasus tersebut akan terus berulang karena tidak ada efek jera," ujarnya.
Apalagi, kata dia, dalam kasus kekerasan santri tersebut, korban sampai mengalami cacat fisik dan butuh biaya rumah sakit yang besar.
Nantinya, kata dia, pihaknya bersama dua kampus lainnya akan menerjunkan para legal untuk bersama-sama tim hukum JPPA Kudus mengawal kasus tersebut.
Melihat kondisi korban, kata Hidayatullah, tentu tidak bisa menjadi alasan jika nanti kasus tersebut diselesaikan melalui upaya restorative justice (perdamaian).
Santri yang menjadi korban kekerasan oknum pengasuh pondok pesantren tersebut, tangannya melepuh setelah mendapatkan hukuman tangannya dicelupkan ke air panas. Korban juga mengalami trauma.
"Kehadiran tiga perguruan tinggi, yakni dari Universitas Muria Kudus (UMK), IAIN, dan Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU), tentu menjadi semangat baru bagi JPPA untuk melakukan pendampingan terhadap santri korban kekerasan, termasuk korban kekerasan lain," kata Ketua JPPA Kabupaten Kudus Noor Haniah di Kudus, Senin.
Ia mengakui, tidak hanya menangani kasus kekerasan yang dialami santri di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Dengan dukungan perguruan tinggi, dia berharap, semakin banyak yang peduli pada isu-isu kekerasan anak dan perempuan.
Ia menduga, ada informasi yang ditutupi dalam peristiwa kekerasan santri, mengingat jumlahnya mencapai belasan santri yang juga mendapat hukuman serupa. Karena ada perbedaan jumlah antara keterangan dari ponpes dan pihak Kepolisian.
"Keluarga korban juga mulai mendapat tekanan agar kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi kehadiran tiga perguruan tinggi ini yang akan bergabung dengan JPPA dan tim hukum kami, sangat penting untuk mengawal hak-hak korban," ujarnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UMK Hidayatullah mengungkapkan bahwa kasus kekerasan santri ini harus ditangani secara serius karena sudah menjadi perhatian luas terhadap dunia pendidikan di Kabupaten Kudus.
"Jangan sampai ada kesan kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pondok pesantren merupakan hal lumrah dan biasa. Khawatirnya kasus tersebut akan terus berulang karena tidak ada efek jera," ujarnya.
Apalagi, kata dia, dalam kasus kekerasan santri tersebut, korban sampai mengalami cacat fisik dan butuh biaya rumah sakit yang besar.
Nantinya, kata dia, pihaknya bersama dua kampus lainnya akan menerjunkan para legal untuk bersama-sama tim hukum JPPA Kudus mengawal kasus tersebut.
Melihat kondisi korban, kata Hidayatullah, tentu tidak bisa menjadi alasan jika nanti kasus tersebut diselesaikan melalui upaya restorative justice (perdamaian).
Santri yang menjadi korban kekerasan oknum pengasuh pondok pesantren tersebut, tangannya melepuh setelah mendapatkan hukuman tangannya dicelupkan ke air panas. Korban juga mengalami trauma.