Semarang (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kota) Semarang menelusuri kemungkinan adanya praktik pungutan liar (pungli) oleh perangkat di tingkat bawah dengan modus meminta sejumlah uang untuk membantu pengurusan biaya pengalihan hak atas tanah yang disebut biaya pologoro, karena hal itu dikhawatirkan mengganggu investasi di Ibu Kota Jawa Tengah ini.

"Modus mafia tanah yang mengatasnamakan biaya Pologoro," kata Kasi Pidsus Kejari Kota Semarang Agus Sunaryo di Semarang, Rabu.

Pologoro merupakan pungutan terhadap peralihan hak atas tanah dan bangunan milik desa.

Praktik semacam itu, lanjut dia, akan membebani investor yang akan berinvestasi di Kota Semarang karena ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

Kejari Kota Semarang sendiri telah menindak satu perkara pungli terhadap investor yang akan membeli di Ibu Kota Jawa Tengah ini oleh mantan Lurah Sawah Besar, berinisial JS

Agus menjelaskan peristiwa tersebut terjadi pada 2021 saat tersangka masih menjabat sebagai lurah.

"Lurah sebagai salah satu penyelenggara negara tidak boleh menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan," katanya.

Selain itu, lanjut dia, tersangka juga tidak pernah melaporkan uang yang diterimanya itu.

Ia menjelaskan tersangka TS memungut sekitar Rp160 juta terhadap seorang pengusaha yang membeli sebidang tanah di Kelurahan Sawah Besar, Kota Semarang.

Uang tersebut, lanjut dia, diduga merupakan pungutan atas biaya peralihan sertifikat dari Letter C ke hak milik.

Dari penyidikan yang sudah dilakukan, kejaksaan menyita uang Rp160 juta yang diduga merupakan hasil pungli serta kuitansi penerimaan uang tersebut.


Pewarta : Immanuel Citra Senjaya
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024