Semarang (ANTARA) - Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Hendrar Prihadi membagikan pengalaman dalam mengelola kota cerdas melalui buku.
"Sebenarnya ini bagian disertasi saya waktu kuliah S3 di Undip (Universitas Diponegoro) pada tahun 2019-2022," kata mantan Wali Kota Semarang itu, di sela peluncuran bukunya di Semarang, Senin.
Buku yang ditulisnya tersebut berjudul "Model Tata Kelola Kota Cerdas" dan berisi pengalaman selama memimpin Kota Semarang dalam rentang dua periode dengan konsep kota cerdas.
Menurut dia, penulisan buku itu sebenarnya berawal dari hal sederhana atas permintaan seorang kawan yang menyarankan agar disertasi memiliki nilai kemanfaatan lebih bagi masyarakat.
"Supaya ada nilai kemanfaatan, disertasi model tata kelola ini dibuat sebuah buku yang ringan dibaca. Saya waktu itu setuju dan langsung saja cetak 200 (eksemplar)," kata Hendi, sapaan akrabnya.
Kemudian, kata dia, ada kawan menyarankan dilakukan peluncuran, sekaligus bedah buku yang tidak langsung disetujui karena merasa kurang percaya diri, apalagi bukan seorang akademisi.
"Aku kan bukan akademisi. Kemudian dijawab, 'Kalau jawaban enggak ilmiah enggak apa-apa, kan ngomong tentang pengalaman (jadi wali kota, red.) saja'. Akhirnya, konsep kecil ini jadi besar," katanya.
Hendi tidak berambisi muluk-muluk melalui penulisan buku tersebut, melainkan sekadar berbagi pengalaman mengelola kota, sebab kepala daerah memiliki tugas yang tidak enteng.
"Yang paling penting sebenarnya, substansinya bagaimana mengelola sebuah kota yang kemudian pemerintahnya tahu keinginan masyarakatnya. Mau jalannya rusak diperbaiki, ya, kudu ngerti dan diperbaiki," katanya.
Ia memberikan contoh lainnya tentang masyarakat ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) selama ini terlalu lama maka pemerintah harus segera gerak cepat memangkas dan menyederhanakan birokrasi.
"Saya enggak mencoba menawarkan. Tapi barangkali ada sebuah wilayah yang punya kegalauan karena sumber dayanya terbatas, anggaran terbatas. Kota cerdas tidak memerlukan anggaran besar," katanya.
Bahkan, ia mengatakan bahwa untuk menciptakan tata kelola kota cerdas tidak harus menjiplak kota cerdas yang diterapkan Singapura dengan anggaran yang sampai puluhan triliun rupiah.
Dalam mengelola Semarang sebagai kota cerdas, kata dia, ketika itu semua bergerak bersama, baik dari pengusaha dengan CSR (Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan), swadaya masyarakat, dan APBD dengan jumlah yang tidak banyak.
"Harapannya begitu, semua tergantung keseriusan kita. Mau enggak membuat prioritas melayani masyarakat dengan cepat. Mudah-mudahan ilmu yang enggak seberapa ini bisa mengembangkan semangat," katanya.
Baca juga: Survei sebut elektabilitas Hendrar Prihadi tertinggi di Pilgub Jateng, ini tanggapannya
"Sebenarnya ini bagian disertasi saya waktu kuliah S3 di Undip (Universitas Diponegoro) pada tahun 2019-2022," kata mantan Wali Kota Semarang itu, di sela peluncuran bukunya di Semarang, Senin.
Buku yang ditulisnya tersebut berjudul "Model Tata Kelola Kota Cerdas" dan berisi pengalaman selama memimpin Kota Semarang dalam rentang dua periode dengan konsep kota cerdas.
Menurut dia, penulisan buku itu sebenarnya berawal dari hal sederhana atas permintaan seorang kawan yang menyarankan agar disertasi memiliki nilai kemanfaatan lebih bagi masyarakat.
"Supaya ada nilai kemanfaatan, disertasi model tata kelola ini dibuat sebuah buku yang ringan dibaca. Saya waktu itu setuju dan langsung saja cetak 200 (eksemplar)," kata Hendi, sapaan akrabnya.
Kemudian, kata dia, ada kawan menyarankan dilakukan peluncuran, sekaligus bedah buku yang tidak langsung disetujui karena merasa kurang percaya diri, apalagi bukan seorang akademisi.
"Aku kan bukan akademisi. Kemudian dijawab, 'Kalau jawaban enggak ilmiah enggak apa-apa, kan ngomong tentang pengalaman (jadi wali kota, red.) saja'. Akhirnya, konsep kecil ini jadi besar," katanya.
Hendi tidak berambisi muluk-muluk melalui penulisan buku tersebut, melainkan sekadar berbagi pengalaman mengelola kota, sebab kepala daerah memiliki tugas yang tidak enteng.
"Yang paling penting sebenarnya, substansinya bagaimana mengelola sebuah kota yang kemudian pemerintahnya tahu keinginan masyarakatnya. Mau jalannya rusak diperbaiki, ya, kudu ngerti dan diperbaiki," katanya.
Ia memberikan contoh lainnya tentang masyarakat ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) selama ini terlalu lama maka pemerintah harus segera gerak cepat memangkas dan menyederhanakan birokrasi.
"Saya enggak mencoba menawarkan. Tapi barangkali ada sebuah wilayah yang punya kegalauan karena sumber dayanya terbatas, anggaran terbatas. Kota cerdas tidak memerlukan anggaran besar," katanya.
Bahkan, ia mengatakan bahwa untuk menciptakan tata kelola kota cerdas tidak harus menjiplak kota cerdas yang diterapkan Singapura dengan anggaran yang sampai puluhan triliun rupiah.
Dalam mengelola Semarang sebagai kota cerdas, kata dia, ketika itu semua bergerak bersama, baik dari pengusaha dengan CSR (Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan), swadaya masyarakat, dan APBD dengan jumlah yang tidak banyak.
"Harapannya begitu, semua tergantung keseriusan kita. Mau enggak membuat prioritas melayani masyarakat dengan cepat. Mudah-mudahan ilmu yang enggak seberapa ini bisa mengembangkan semangat," katanya.
Baca juga: Survei sebut elektabilitas Hendrar Prihadi tertinggi di Pilgub Jateng, ini tanggapannya