Semarang (ANTARA) - Politikus sekaligus guru besar dan ekonom pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Jakarta Didik Junaidi Rachbini memandang perlu mengantisipasi kebijakan ekonomi dan politik dalam perang Iran dan Israel.
Serangan mengejutkan dari Iran sebagai balasan terhadap Israel, menurut Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D., membuat dunia terkejut, sekaligus meningkatkan eskalasi konflik di Timur Tengah.
"Ini pasti menimbulkan dampak yang luas pada perekonomian nasional dan global, yang mutlak harus diantisipasi dengan kebijakan," kata Prof. Didik ketika dikonfirmasi ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Meski eskalasi lanjutan masih belum ada kepastian, kata Prof. Didik, faktor yang mendamaikan hampir tidak ada sama sekali sehingga muskil akan segera berhenti.
Oleh karena itu, kata dia, antisipasi mitigasi kebijakan perlu dirumuskan dan dijalankan dengan kondisi lingkungan yang tegang.
Bagi Indonesia, khususnya bagi presiden baru terpilih, menurut dia, kondisi tidak pasti ini bisa akan membuat berantakan dalam menjalankan kebijakan ekonominya, bahkan menambah beban baru bagi masyarakat.
"Sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga angan-angan dalam kampanye, lupakan saja, fokus pada daya tahan masyarakat, daya beli mereka, menahan agar tidak terjadi pengangguran yang besar," ujarnya.
Prof. Didik menekankan bahwa kebijakan menjaga inflasi dan harga-harga kebutuhan pokok merupakan kebijakan utama untuk melindungi golongan bawah yang rentan.
Ia memandang perlu mengutamakan tiga kebijakan guna menjaga dan melindungi golongan bawah dan rentan. Pertama, Pemerintah harus sekuat tenaga dan segala kemampuan mengendalikan harga-harga atau menjaga inflasi untuk menjaga daya beli tidak turun.
"Ini merupakan duet pemerintah dan Bank Indonesia," kata Prof. Didik yang pernah sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Pembantu Rektor Universitas Mercu Buana Jakarta.
Dalam kebijakan ini, Bank Indonesia berperan penting mengendalikan dari sisi moneternya. Sejauh ini, menurut dia, BI cukup baik dalam melaksanakan pengendalian inflasi dan lebih keras lagi menjalankannya pada saat dunia dalam ketegangan yang memuncak.
Sementara itu, di sisi sektor riil, pemerintah pusat dan daerah sudah wajib memantau harga-harga kebutuhan pokok rakyat dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam.
Ekonom yang notabene pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia ini lantas menyebutkan bahwa di daerah ada tim pengendalian inflasi daerah (TPID).
Baca juga: Iran serang Israel, harga emas Antam naik tipis
Baca juga: Rupiah merosot ditutup Rp16.176 per dolar AS
Kebijakan Fiskal
Kebijakan yang kedua adalah fiskal, satu-satunya instrumen kebijakan yang langsung bisa dipakai oleh Pemerintah. Kebijakan ini, menurut dia, perlu dijaga agar pengeluaran produktif mampu membantu masyarakat bawah dan rentan.
"Kebijakan fiskal yang baik adalah prudent, berhati-hati dan mampu mengendalikan defisit, jangan jorjoran, proyek besar kendalikan, dan populisme jangan serampangan," pesannya.
Kebijakan lainnya, yakni mempertahankan produktivitas dan dunia usaha di dalam negeri. Harus diingat, kata dia, bahwa sektor dalam negeri adalah bagian terbesar, yakni 75 persen.
Meskipun eksternal guncang, Prof. Didik menekankan perlu menjaga ekonomi dan usaha dalam negeri, terutama menengah kecil, sangat penting pada masa genting.
Selain itu, kebijakan perdagangan luar negeri, menurut dia, perlu diarahkan ke kawasan yang sedikit terpengaruh perang.
"Jalur ke Eropa dan Timur Tengah pasti terganggu. Akan tetapi, mitra dagang di kutub ekonomi lainnya akan hidup terus seperti mitra Jepang, Tiongkok, ASEAN, dan India," kata Prof. Didik.
Sekarang saja, lanjut dia, dampak psikologisnya sudah terasa. Oleh karena itu, Pemerintah perlu ahli komunikasi publik yang mengerti masyarakat, terutama bagi pasangan calon terpilih pada Pilpres 2024, mulai sekarang untuk melakukan kebijakan komunikasi publik berkaitan dengan antisipasi kebijakan dari dampak perang Iran dan Israel.
Serangan mengejutkan dari Iran sebagai balasan terhadap Israel, menurut Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D., membuat dunia terkejut, sekaligus meningkatkan eskalasi konflik di Timur Tengah.
"Ini pasti menimbulkan dampak yang luas pada perekonomian nasional dan global, yang mutlak harus diantisipasi dengan kebijakan," kata Prof. Didik ketika dikonfirmasi ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Meski eskalasi lanjutan masih belum ada kepastian, kata Prof. Didik, faktor yang mendamaikan hampir tidak ada sama sekali sehingga muskil akan segera berhenti.
Oleh karena itu, kata dia, antisipasi mitigasi kebijakan perlu dirumuskan dan dijalankan dengan kondisi lingkungan yang tegang.
Bagi Indonesia, khususnya bagi presiden baru terpilih, menurut dia, kondisi tidak pasti ini bisa akan membuat berantakan dalam menjalankan kebijakan ekonominya, bahkan menambah beban baru bagi masyarakat.
"Sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga angan-angan dalam kampanye, lupakan saja, fokus pada daya tahan masyarakat, daya beli mereka, menahan agar tidak terjadi pengangguran yang besar," ujarnya.
Prof. Didik menekankan bahwa kebijakan menjaga inflasi dan harga-harga kebutuhan pokok merupakan kebijakan utama untuk melindungi golongan bawah yang rentan.
Ia memandang perlu mengutamakan tiga kebijakan guna menjaga dan melindungi golongan bawah dan rentan. Pertama, Pemerintah harus sekuat tenaga dan segala kemampuan mengendalikan harga-harga atau menjaga inflasi untuk menjaga daya beli tidak turun.
"Ini merupakan duet pemerintah dan Bank Indonesia," kata Prof. Didik yang pernah sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Pembantu Rektor Universitas Mercu Buana Jakarta.
Dalam kebijakan ini, Bank Indonesia berperan penting mengendalikan dari sisi moneternya. Sejauh ini, menurut dia, BI cukup baik dalam melaksanakan pengendalian inflasi dan lebih keras lagi menjalankannya pada saat dunia dalam ketegangan yang memuncak.
Sementara itu, di sisi sektor riil, pemerintah pusat dan daerah sudah wajib memantau harga-harga kebutuhan pokok rakyat dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam.
Ekonom yang notabene pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia ini lantas menyebutkan bahwa di daerah ada tim pengendalian inflasi daerah (TPID).
Baca juga: Iran serang Israel, harga emas Antam naik tipis
Baca juga: Rupiah merosot ditutup Rp16.176 per dolar AS
Kebijakan Fiskal
Kebijakan yang kedua adalah fiskal, satu-satunya instrumen kebijakan yang langsung bisa dipakai oleh Pemerintah. Kebijakan ini, menurut dia, perlu dijaga agar pengeluaran produktif mampu membantu masyarakat bawah dan rentan.
"Kebijakan fiskal yang baik adalah prudent, berhati-hati dan mampu mengendalikan defisit, jangan jorjoran, proyek besar kendalikan, dan populisme jangan serampangan," pesannya.
Kebijakan lainnya, yakni mempertahankan produktivitas dan dunia usaha di dalam negeri. Harus diingat, kata dia, bahwa sektor dalam negeri adalah bagian terbesar, yakni 75 persen.
Meskipun eksternal guncang, Prof. Didik menekankan perlu menjaga ekonomi dan usaha dalam negeri, terutama menengah kecil, sangat penting pada masa genting.
Selain itu, kebijakan perdagangan luar negeri, menurut dia, perlu diarahkan ke kawasan yang sedikit terpengaruh perang.
"Jalur ke Eropa dan Timur Tengah pasti terganggu. Akan tetapi, mitra dagang di kutub ekonomi lainnya akan hidup terus seperti mitra Jepang, Tiongkok, ASEAN, dan India," kata Prof. Didik.
Sekarang saja, lanjut dia, dampak psikologisnya sudah terasa. Oleh karena itu, Pemerintah perlu ahli komunikasi publik yang mengerti masyarakat, terutama bagi pasangan calon terpilih pada Pilpres 2024, mulai sekarang untuk melakukan kebijakan komunikasi publik berkaitan dengan antisipasi kebijakan dari dampak perang Iran dan Israel.