Semarang (ANTARA) - Pemerintah Kota Semarang mengembangkan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) sebagai pusat kesenian dan kebudayaan yang akan memfasilitasi seniman dan budayawan di daerah itu.
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu di Semarang, Sabtu, menjelaskan keberadaan Gedung Kesenian Sri Budoyo Ki Narto Sabdo tetap dipertahankan sebagai markas seniman meski terdapat gedung baru.
"Saya sudah memutuskan Gedung Ngesti Pandowo tetap dipertahankan," kata Ita, sapaan akrab Hevearita.
Menurut dia, permasalahan sosial dan kebudayaan yang sedang dihadapi "Kota Atlas" --sebutan Kota Semarang-- saat ini berupa rendahnya partisipasi masyarakat dalam berkegiatan seni budaya.
Kurangnya fasilitas dan sarana pendukung, serta lemahnya pengelolaan dan perlindungan warisan budaya, ujar dia, juga menjadi permasalahan yang tidak boleh disepelekan.
Oleh karena itu, katanya, nantinya dibangun berbagai ruang dan fasilitas baru di Kompleks TBRS untuk menarik minat masyarakat, seperti plaza pertunjukan luar ruangan, amphiteater, gedung teater, "creative hub", hingga wisma seniman.
Ia menyebutkan bahwa detail engineering design (DBD) Kompleks TBRS yang selama ini menjadi markas seniman di Kota Semarang, termasuk Wayang Orang Ngesti Pandowo akan dikebut pada tahun ini.
"Diperbaiki, diperbaharui, mungkin ditambah sound yang bagus. Itu adalah untuk seniman berkarya, mungkin kebiasaan seniman yang 'jagongan' untuk berkarya sambil ngerokok, ngopi, gondrong ini mesti kita pertahankan," katanya.
Pengembangan TBRS, kata dia, termasuk pula pengelolaan atau penataan tempat pedagang kaki lima (PKL) di dalamnya.
"Pengembangan TBRS kami minta tahun ini disiapkan DED, pengelolaan selter untuk PKL, sehingga menjadi kebanggaan para budayawan," ujarnya.
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Kota Semarang pada 2023, katanya, menyentuh 50,7 atau masih berada di bawah rata-rata nasional yang 55,13.
Pemkot Semarang menargetkan dengan nilai maksimum 55,96 pada 2045 yang memberikan indikasi tantangan dalam menggerakkan pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan budaya di Kota Semarang.
Dalam konteks ini, kata Ita, diperlukan strategi dan program kebijakan yang lebih efektif untuk merangsang dan menjaga keberlanjutan kehidupan budaya pada masa mendatang.
Untuk meningkatkan indeks tersebut, kata dia, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku seni dan budaya untuk mengembangkan potensi dan kreativitas lokal, serta melestarikan nilai-nilai budaya yang ada.
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu di Semarang, Sabtu, menjelaskan keberadaan Gedung Kesenian Sri Budoyo Ki Narto Sabdo tetap dipertahankan sebagai markas seniman meski terdapat gedung baru.
"Saya sudah memutuskan Gedung Ngesti Pandowo tetap dipertahankan," kata Ita, sapaan akrab Hevearita.
Menurut dia, permasalahan sosial dan kebudayaan yang sedang dihadapi "Kota Atlas" --sebutan Kota Semarang-- saat ini berupa rendahnya partisipasi masyarakat dalam berkegiatan seni budaya.
Kurangnya fasilitas dan sarana pendukung, serta lemahnya pengelolaan dan perlindungan warisan budaya, ujar dia, juga menjadi permasalahan yang tidak boleh disepelekan.
Oleh karena itu, katanya, nantinya dibangun berbagai ruang dan fasilitas baru di Kompleks TBRS untuk menarik minat masyarakat, seperti plaza pertunjukan luar ruangan, amphiteater, gedung teater, "creative hub", hingga wisma seniman.
Ia menyebutkan bahwa detail engineering design (DBD) Kompleks TBRS yang selama ini menjadi markas seniman di Kota Semarang, termasuk Wayang Orang Ngesti Pandowo akan dikebut pada tahun ini.
"Diperbaiki, diperbaharui, mungkin ditambah sound yang bagus. Itu adalah untuk seniman berkarya, mungkin kebiasaan seniman yang 'jagongan' untuk berkarya sambil ngerokok, ngopi, gondrong ini mesti kita pertahankan," katanya.
Pengembangan TBRS, kata dia, termasuk pula pengelolaan atau penataan tempat pedagang kaki lima (PKL) di dalamnya.
"Pengembangan TBRS kami minta tahun ini disiapkan DED, pengelolaan selter untuk PKL, sehingga menjadi kebanggaan para budayawan," ujarnya.
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Kota Semarang pada 2023, katanya, menyentuh 50,7 atau masih berada di bawah rata-rata nasional yang 55,13.
Pemkot Semarang menargetkan dengan nilai maksimum 55,96 pada 2045 yang memberikan indikasi tantangan dalam menggerakkan pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan budaya di Kota Semarang.
Dalam konteks ini, kata Ita, diperlukan strategi dan program kebijakan yang lebih efektif untuk merangsang dan menjaga keberlanjutan kehidupan budaya pada masa mendatang.
Untuk meningkatkan indeks tersebut, kata dia, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku seni dan budaya untuk mengembangkan potensi dan kreativitas lokal, serta melestarikan nilai-nilai budaya yang ada.