Semarang (ANTARA) - Analis politik Universitas Diponegoro Semarang Teuku Afrizal Ph.D mengingatkan bahwa partisipasi politik harus ditingkatkan karena hal itu yang menjadi ukuran kesuksesan gelaran pemilihan umum.
"Partisipasi politik adalah satu instrumen yang menjadi ukuran suksesnya implementasi pemilu. Pemilu dan partisipasi adalah dua perkara yang tidak terpisahkan," katanya, di Semarang, Jumat.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pemateri pada Sosialisasi Pembekalan Pemantauan dan Peliputan Pemilu 2024 di Jawa Tengah yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng.
Afrizal menjelaskan bahwa partisipasi politik terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti pemungutan suara, sumbangan kampanye, bekerja sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu.
Ia menyebutkan tingkat partisipasi pada Pemilu 2014 sebesar 75,11 persen, pada Pemilu 2019 sebesar 81,69 persen, atau masih jauh dari partisipasi di awal reformasi 1999 yang mencapai 92,7 persen.
Padahal, partisipasi politik sangat penting bagi keberhasilan pemilu karena legitimasi pemilu bergantung pada partisipasi politik. "Partisipasi merupakan respons atau ekspresi pengakuan masyarakat terhadap penyelenggara dan kontestan (pemilu)," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu sangat signifikan dengan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara dan menjadi tolok ukur.
Dengan berpartisipasi, masyarakat turut secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Meski demikian, diakuinya ada sejumlah faktor penghambat dalam partisipasi politik, seperti masih tingginya angka golongan putih (golput) atau mereka yang tidak memilih.
Pada Pemilu 2014, tercatat angka golput mencapai 58,14 juta orang atau 30,22 persen, sedangkan pada Pemilu 2019 mencapai 34,75 persen (18,02 persen).
Kepercayaan terhadap kinerja pemerintah, kinerja partai politik, dan kebingungan menentukan pilihan, serta kapasitas calon, kata dia, juga menjadi faktor penghambat partisipasi politik.
Afrizal mengatakan ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi politik, yakni melakukan sosialisasi, memobilisasi relawan, melakukan kontrol sosial, dan memanfaatkan digitalisasi.
Yang tak kalah penting, kata dia, jaringan perlu dibangun dengan seluruh pemangku kebijakan dan keberadaan pemilih muda, baik dari generasi milenium dan gen-Z yang mencapai 56,45 persen.
Baca juga: KPU Boyolali terima 2.175 kotak suara Pemilu 2024
"Partisipasi politik adalah satu instrumen yang menjadi ukuran suksesnya implementasi pemilu. Pemilu dan partisipasi adalah dua perkara yang tidak terpisahkan," katanya, di Semarang, Jumat.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pemateri pada Sosialisasi Pembekalan Pemantauan dan Peliputan Pemilu 2024 di Jawa Tengah yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng.
Afrizal menjelaskan bahwa partisipasi politik terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti pemungutan suara, sumbangan kampanye, bekerja sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu.
Ia menyebutkan tingkat partisipasi pada Pemilu 2014 sebesar 75,11 persen, pada Pemilu 2019 sebesar 81,69 persen, atau masih jauh dari partisipasi di awal reformasi 1999 yang mencapai 92,7 persen.
Padahal, partisipasi politik sangat penting bagi keberhasilan pemilu karena legitimasi pemilu bergantung pada partisipasi politik. "Partisipasi merupakan respons atau ekspresi pengakuan masyarakat terhadap penyelenggara dan kontestan (pemilu)," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu sangat signifikan dengan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara dan menjadi tolok ukur.
Dengan berpartisipasi, masyarakat turut secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Meski demikian, diakuinya ada sejumlah faktor penghambat dalam partisipasi politik, seperti masih tingginya angka golongan putih (golput) atau mereka yang tidak memilih.
Pada Pemilu 2014, tercatat angka golput mencapai 58,14 juta orang atau 30,22 persen, sedangkan pada Pemilu 2019 mencapai 34,75 persen (18,02 persen).
Kepercayaan terhadap kinerja pemerintah, kinerja partai politik, dan kebingungan menentukan pilihan, serta kapasitas calon, kata dia, juga menjadi faktor penghambat partisipasi politik.
Afrizal mengatakan ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi politik, yakni melakukan sosialisasi, memobilisasi relawan, melakukan kontrol sosial, dan memanfaatkan digitalisasi.
Yang tak kalah penting, kata dia, jaringan perlu dibangun dengan seluruh pemangku kebijakan dan keberadaan pemilih muda, baik dari generasi milenium dan gen-Z yang mencapai 56,45 persen.
Baca juga: KPU Boyolali terima 2.175 kotak suara Pemilu 2024