Semarang (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang menilai Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (DP3A) perlu melakukan pengecekan dan monitoring berkala pondok pesantren (ponpes), terutama yang memiliki santriwati dan murid di bawah umur.
"DP3A kan punya Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) di masing-masing kelurahan ya. Ini bisa membantu mengecek ponpes di lingkungannya," kata Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang Dyah Ratna Harimurti di Semarang, Jumat, menanggapi dugaan pencabulan santriwati oleh pimpinan ponpes di Semarang yang tidak berizin.
Menurut dia, perempuan dan anak-anak memang rawan mengalami intimidasi, apalagi dalam lingkungan yang tertutup sehingga diperlukan peran pemerintah daerah (pemda) untuk monitoring dan pengecekan.
"Meskipun ranah Kemenag (Kementerian Agama) ya. Tapi sebagai antisipasi, tidak ada salahnya pemda ikut mendata santri, siswa atau siswi, terutama yang yang tinggal atau bermalam (asrama)," katanya.
Selain mencegah beroperasinya ponpes tak berizin, kata dia, pengecekan itu juga untuk memastikan kelayakan sarana dan prasarana yang dimiliki untuk kegiatan pembelajaran santri dan santriwati.
"Bisa didata, monitoring, evaluasi, apakah di ponpes menerima siswa tinggal di situ? Apakah fasilitas sudah layak? Tempat tidur putra dan putri bagaimana? Apakah terpisah, termasuk dengan pimpinan," katanya.
Pada zaman sekarang ini, kata dia, keberadaan ponpes tidak mungkin lepas dari kehidupan masyarakat, sehingga mestinya masyarakat sekitar bisa lebih peduli dengan lingkungannya, termasuk jika ada ponpes.
"Masyarakat bisa ikut mengamati ponpesnya seperti apa, kegiatannya, pimpinannya terbuka atau tertutup? Membaur atau tidak? Ini peran RT dan RW untuk selalu berkomunikasi dengan pemilik ponpes," katanya.
Mengenai kasus dugaan pencabulan santriwati, Detty menegaskan proses hukum harus tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan pihaknya akan selalu memberikan dukungan kepada korban dengan ikut mengawal.
"Proses hukum tetap kami kawal meskipun korban ini bukan warga Semarang ya. Semua elemen harus responsif gender dan berpihak pada korban," pungkasnya.
Sementara itu Polrestabes Semarang telah menangkap BAA (46), pengasuh salah satu ponpes di Semarang, tersangka kasus dugaan pencabulan santriwati, yang kabur ke Bekasi, Jawa Barat
Peristiwa dugaan pencabulan terhadap santriwati di bawah umur tersebut bermula dari adanya laporan dari orang tua salah satu korban, MJ, asal Kabupaten Demak ke Polrestabes Semarang pada Mei 2023.
Dari hasil pemeriksaan, kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang AKBP Donny Lumbantoruan, pelaku sudah tiga kali melakukan pencabulan terharap korban pada 2021 yang saat itu masih berusia 15 tahun.
Sementara dari pengakuan tersangka, ada dua korban pencabulan lainnya yang usianya sudah dewasa. "Pengakuan pelaku ada tiga korban, tapi yang melapor hanya satu," katanya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sementara korban pencabulan yang saat ini masih bersekolah telah mendapat pendampingan DP3A Kota Semarang.
"DP3A kan punya Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) di masing-masing kelurahan ya. Ini bisa membantu mengecek ponpes di lingkungannya," kata Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang Dyah Ratna Harimurti di Semarang, Jumat, menanggapi dugaan pencabulan santriwati oleh pimpinan ponpes di Semarang yang tidak berizin.
Menurut dia, perempuan dan anak-anak memang rawan mengalami intimidasi, apalagi dalam lingkungan yang tertutup sehingga diperlukan peran pemerintah daerah (pemda) untuk monitoring dan pengecekan.
"Meskipun ranah Kemenag (Kementerian Agama) ya. Tapi sebagai antisipasi, tidak ada salahnya pemda ikut mendata santri, siswa atau siswi, terutama yang yang tinggal atau bermalam (asrama)," katanya.
Selain mencegah beroperasinya ponpes tak berizin, kata dia, pengecekan itu juga untuk memastikan kelayakan sarana dan prasarana yang dimiliki untuk kegiatan pembelajaran santri dan santriwati.
"Bisa didata, monitoring, evaluasi, apakah di ponpes menerima siswa tinggal di situ? Apakah fasilitas sudah layak? Tempat tidur putra dan putri bagaimana? Apakah terpisah, termasuk dengan pimpinan," katanya.
Pada zaman sekarang ini, kata dia, keberadaan ponpes tidak mungkin lepas dari kehidupan masyarakat, sehingga mestinya masyarakat sekitar bisa lebih peduli dengan lingkungannya, termasuk jika ada ponpes.
"Masyarakat bisa ikut mengamati ponpesnya seperti apa, kegiatannya, pimpinannya terbuka atau tertutup? Membaur atau tidak? Ini peran RT dan RW untuk selalu berkomunikasi dengan pemilik ponpes," katanya.
Mengenai kasus dugaan pencabulan santriwati, Detty menegaskan proses hukum harus tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan pihaknya akan selalu memberikan dukungan kepada korban dengan ikut mengawal.
"Proses hukum tetap kami kawal meskipun korban ini bukan warga Semarang ya. Semua elemen harus responsif gender dan berpihak pada korban," pungkasnya.
Sementara itu Polrestabes Semarang telah menangkap BAA (46), pengasuh salah satu ponpes di Semarang, tersangka kasus dugaan pencabulan santriwati, yang kabur ke Bekasi, Jawa Barat
Peristiwa dugaan pencabulan terhadap santriwati di bawah umur tersebut bermula dari adanya laporan dari orang tua salah satu korban, MJ, asal Kabupaten Demak ke Polrestabes Semarang pada Mei 2023.
Dari hasil pemeriksaan, kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang AKBP Donny Lumbantoruan, pelaku sudah tiga kali melakukan pencabulan terharap korban pada 2021 yang saat itu masih berusia 15 tahun.
Sementara dari pengakuan tersangka, ada dua korban pencabulan lainnya yang usianya sudah dewasa. "Pengakuan pelaku ada tiga korban, tapi yang melapor hanya satu," katanya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sementara korban pencabulan yang saat ini masih bersekolah telah mendapat pendampingan DP3A Kota Semarang.