Banyumas (ANTARA) - Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Purwokerto mengajak Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, Jawa Tengah, bersama-sama mengendalikan lonjakan harga beras.

Saat ditemui seusai kegiatan Temu Wartawan di Baturraden, Kabupaten Banyumas, Rabu, Kepala KPw BI Purwokerto Rony Hartawan mengatakan gejolak kenaikan harga beras sebenarnya sudah diperkirakan akan terjadi.

"Karena isunya stok nasional itu secara neraca pangan kelihatan jelas, itu memang sempat ada kekurangan, salah satunya dampak dari El Nino," ungkapnya.



Dengan  kekurangan stok itu, kata dia, daerah-daerah penghasil beras seperti Cilacap, hasilnya dapat dipastikan diserbu oleh pedagang dari kota-kota besar sekitar seperti dari wilayah Jawa Barat dan terutama Jakarta.

Dalam hal ini, lanjut dia, produksi padi di Cilacap sebenarnya banyak tetapi stoknya dibawa ke luar wilayah itu.

"Asumsi awal seperti itu, berdasarkan yang kami pantau di lapangan," jelasnya.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya telah bekerja sama dengan TPID Kabupaten Cilacap untuk memastikan dari sisi hulu, apakah produktivitas beras di wilayah itu masih bisa digenjot lagi.

Selain itu, lanjut dia, memastikan agar kecukupan untuk daerah Cilacap dan sekitarnya bisa dipenuhi dengan stok yang ada saat ini.

"Nah nanti kami akan lihat, apakah memang karena isu stok, isu distribusi, atau isu ada kegagalan panen. Itu yang akan kami lihat karena pas kita diskusi terakhir, ternyata secara dampak El Nino di Cilacap belum terlalu signifikan mengurangi produksi," kata Rony.



Selanjutnya, kata dia, akan dilihat dari sisi isu distribusi untuk mengetahui apakah benar banyak barang atau gabah hasil panen petani yang keluar wilayah Cilacap.

Menurut dia, tingginya harga beras juga dipengaruhi oleh harga gabah kering panen yang meningkat, bahkan di lapangan ada indikasi bahwa penggilingan padi mulai berhenti karena merugi akibat lonjakan harga gabah.

"Tapi kemarin (1 September, red.) pemerintah sudah mengumumkan harga eceran tertingginya. Kemudian dari hasil rapat TPID dengan pemerintah pusat, Bulog dan Badan Pangan Nasional siap menutupi kekurangan neraca itu 1 juta ton," jelasnya.

Bahkan saat sekarang, kata dia, sudah dilakukan penyaluran bantuan pangan sebesar 10 kilogram per keluarga penerima manfaat sebagai upaya pengendalian inflasi.

Kendati demikian, dia mengatakan sebenarnya inflasi dihitung dari beras dengan jenis-jenis tertentu, bukan semua jenis beras.

"Tapi jangan-jangan sebenarnya banyak beras yang sudah diterima masyarakat, sebenarnya dia tidak kekurangan secara riil berasnya. Tapi mungkin harga beras jenis tertentu saja yang naik, mungkin yang medium, yang premium, sedangkan beras secara umum mungkin sebenarnya mereka enggak kekurangan," katanya.

Terkait dengan hal itu, dia mengatakan pihaknya bersama dengan TPID akan terus memantau ketersediaan stok dan gejolak kenaikan harga beras di lapangan.



Selain itu, kata dia, BI bersama TPID juga akan memantau dan mengantisipasi dampak kekeringan terhadap sektor pertanian tanaman pangan seperti melakukan kegiatan pipanisasi air dan pembuatan embung.

"Itu akan kami lihat nanti karena kondisi setiap daerah berbeda-beda. Misalnya daerah Banjarnegara yang tidak landai agak susah untuk embung, tetapi kalau di Cilacap mungkin lebih mudah," jelasnya.

Disinggung mengenai kehadiran pedagang besar yang membeli gabah dari petani di wilayah Cilacap dan sekitarnya, Rony mengakui ada mekanisme pasar yang tidak bisa diintervensi.

"Isunya adalah bagaimana pemerintah kabupaten setempat punya semacam lumbung beras yang memang untuk membereskan dulu stok di daerah, sisanya baru keluar, 'kan begitu," ungkapnya.

Akan tetapi, kata dia, datangnya pedagang beras itu kadang-kadang dapat terjadi karena sebelumnya sudah ada kontrak farming, sehingga petani tidak bisa setop di tengah jalan.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah daerah dan TPID perlu memetakan lagi wilayah-wilayah yang sudah dikontrak farming oleh pihak luar dan wilayah mana yang belum dikontrak.

"Mungkin juga bisa dilakukan revisi atau adendum terhadap kontrak-kontrak itu kalau memang mengancam ketersediaan stok," kata Rony.



Sebelumnya, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap Mlati Asih Budiarti mengatakan produksi padi di wilayah itu sudah surplus hingga kisaran 230.000 ton gabah kering giling (GKG) atau setara 147.246 ton beras pada bulan Juli 2023.

"Dengan surplus sebesar itu sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan di wilayah Kabupaten Cilacap, bahkan ada kelebihan," katanya.

Akan tetapi permasalahannya, kata dia, hasil panen petani di Cilacap yang berlebih itu justru dibawa keluar wilayah tersebut karena dibeli oleh pengusaha-pengusaha besar dengan harga tinggi, sehingga penggilingan-penggilingan padi setempat tidak bisa bersaing.

Terkait dengan kondisi tersebut, dia mengimbau petani agar tidak menjual seluruh gabah hasil panennya untuk disimpan sebagai persediaan hingga masa panen berikutnya.

"Jangan sampai Cilacap yang merupakan produsen beras justru harga berasnya tinggi. Jangan sampai pula petani membeli beras dengan harga yang mahal," tegasnya. 

Baca juga: BI Jateng prediksi inflasi September terkendali

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2024