Semarang (ANTARA) - Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyatakan bahwa kemerdekaan hakim untuk memutus sejatinya harus pula memperhatikan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Namun, hingga sekarang Mahkamah Agung belum memutuskan perkara Nomor 24 P/HUM/2023, padahal dalam UU Pemilu ada ketentuan terkait dengan durasi waktu penyelesaian pengujian Peraturan KPU (PKPU)," kata Titi menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Selasa malam.
Titi yang juga salah satu pemohon uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 mengemukakan hal itu ketika merespons sampai sekarang MA belum memutuskan perkara itu. Padahal, permohonan itu sudah diregistrasi pada tanggal 6 Juni 2023.
Dalam Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu mengatur bahwa MA memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
Keberadaan ketentuan tersebut, lanjut Titi, dalam rangka menjaga keberlanjutan tahapan pemilu agar tidak terganggu serta dalam rangka meneguhkan prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, sebagaimana aturan main dalam Pasal 3 UU Pemilu.
Dengan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, dia berharap tidak ada implementasi teknis pemilu yang bermasalah dan juga bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
"Keadilan yang tertunda merupakan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri," kata Titi yang juga pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum UI.
Kekuasaan kehakiman, kata dia, memang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, harus pula memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU Pemilu.
Apalagi, lanjut dia, terkait dengan pencalonan ini, ada kerangka waktu yang mengikat penyelenggara, peserta, dan pemilih, terutama berkaitan dengan status pencalonan pada pemilu anggota legislatif.
"Jangan sampai KPU menggunakan dalih putusan yang terbit terlambat untuk menghindari pelaksanaan putusan sebagaimana pernah terjadi dalam Putusan MA Nomor 80/PUU-XX/2022 terkait dengan penataan daerah pemilihan," tuturnya.
Titi menegaskan bahwa KPU hanya parsial melaksanakan putusan MA dengan mengatur dapil dalam PKPU. Namun, tidak melakukan penataan sebagaimana putusan MA dalam pertimbangan hukumnya.
Oleh karena itu, selaku salah satu pemohon, Titi berharap MA bisa memutus pengujian PKPU 10/2023 tidak melampaui tenggat sekaligus bisa menegakkan konstitusionalitas Pemilu 2024 dengan sebaik-baiknya.
Menurut dia, pengujian atas Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023 bukan hanya penting bagi integritas Pemilu 2024, melainkan juga merupakan tonggak penting bagi pengawalan gerakan perempuan politik di Indonesia.
Ia mengemukakan bahwa MA harus pula menimbang kemajuan dan masa depan kehadiran perempuan politik yang telah diperjuangkan sebagai salah satu aspirasi reformasi dan bagian dari mendobrak diskriminasi politik yang dihadapi perempuan Indonesia.
"Kami sangat berharap MA berpihak pada pemilu inklusif melalui pencalonan yang ramah keterwakilan perempuan sebagaimana amanat Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," katanya.
"Namun, hingga sekarang Mahkamah Agung belum memutuskan perkara Nomor 24 P/HUM/2023, padahal dalam UU Pemilu ada ketentuan terkait dengan durasi waktu penyelesaian pengujian Peraturan KPU (PKPU)," kata Titi menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Selasa malam.
Titi yang juga salah satu pemohon uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 mengemukakan hal itu ketika merespons sampai sekarang MA belum memutuskan perkara itu. Padahal, permohonan itu sudah diregistrasi pada tanggal 6 Juni 2023.
Dalam Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu mengatur bahwa MA memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
Keberadaan ketentuan tersebut, lanjut Titi, dalam rangka menjaga keberlanjutan tahapan pemilu agar tidak terganggu serta dalam rangka meneguhkan prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, sebagaimana aturan main dalam Pasal 3 UU Pemilu.
Dengan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, dia berharap tidak ada implementasi teknis pemilu yang bermasalah dan juga bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
"Keadilan yang tertunda merupakan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri," kata Titi yang juga pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum UI.
Kekuasaan kehakiman, kata dia, memang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, harus pula memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU Pemilu.
Apalagi, lanjut dia, terkait dengan pencalonan ini, ada kerangka waktu yang mengikat penyelenggara, peserta, dan pemilih, terutama berkaitan dengan status pencalonan pada pemilu anggota legislatif.
"Jangan sampai KPU menggunakan dalih putusan yang terbit terlambat untuk menghindari pelaksanaan putusan sebagaimana pernah terjadi dalam Putusan MA Nomor 80/PUU-XX/2022 terkait dengan penataan daerah pemilihan," tuturnya.
Titi menegaskan bahwa KPU hanya parsial melaksanakan putusan MA dengan mengatur dapil dalam PKPU. Namun, tidak melakukan penataan sebagaimana putusan MA dalam pertimbangan hukumnya.
Oleh karena itu, selaku salah satu pemohon, Titi berharap MA bisa memutus pengujian PKPU 10/2023 tidak melampaui tenggat sekaligus bisa menegakkan konstitusionalitas Pemilu 2024 dengan sebaik-baiknya.
Menurut dia, pengujian atas Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No. 10/2023 bukan hanya penting bagi integritas Pemilu 2024, melainkan juga merupakan tonggak penting bagi pengawalan gerakan perempuan politik di Indonesia.
Ia mengemukakan bahwa MA harus pula menimbang kemajuan dan masa depan kehadiran perempuan politik yang telah diperjuangkan sebagai salah satu aspirasi reformasi dan bagian dari mendobrak diskriminasi politik yang dihadapi perempuan Indonesia.
"Kami sangat berharap MA berpihak pada pemilu inklusif melalui pencalonan yang ramah keterwakilan perempuan sebagaimana amanat Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," katanya.