Purwokerto (ANTARA) - Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr Sukarso mengatakan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) yang diperingati setiap 12 Juli bisa menjadi momentum guna memberikan afirmasi kepada keberadaan koperasi.
"Kalau kita lihat koperasi selama ini ada tapi tidak pernah menjadi prioritas. Hal sederhana sekali, misalnya definisi gotong royong dan kekeluargaan itu tidak pernah bisa dijelaskan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Dalam hal gotong royong, kata dia, masyarakatnya sudah kapitalistik dan kekeluargaan itu yang seperti apa.
Ia mengatakan dalam desain organisasi itu ada yang disebut dengan desain organisasi humanis.
"Barangkali itu. Desain organisasi humanis itu lebih mengutamakan patriotisme dibanding profesionalisme," jelas dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Menurut dia, saat sekarang semuanya justru serba profesional, sedangkan patriotismenya menjadi kurang penekanan atau kurang penguatan di koperasi.
Padahal kalau melihat benihnya, kata dia, patriotisme itu tumbuh dari altruis, yakni dari orang yang ingin membahagiakan orang lain atau orang ingin berbuat baik bagi orang lain.
Sementara kalau egois, lanjut dia, semuanya bermuara pada kepentingan diri sendiri dan hal itu nanti tumbuhnya menjadi profesional.
"Itu yang kami pelajari seperti itu. Mungkin komitmen pemerintah harus lebih nyata untuk memprioritaskan koperasi, saya kira seperti itu," tegas Sukarso.
Ia mengatakan hal itu disebabkan dari berbagai regulasi selama ini ada tetapi biasa-biasa saja, tidak pernah menjadikan koperasi sebagai prioritas.
Menurut dia, regulasi untuk koperasi selama ini masih kurang serius karena kalau serius, harus lebih punya komitmen yang jauh lebih kuat dari keadaan sekarang ini.
Disinggung mengenai maraknya rentenir yang berkedok koperasi, dia menilai hal itu alamiah karena ketika ada sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, orang akan berbondong-bondong mengambil manfaat di situ atau mencari keuntungan dari setiap keadaan.
"Kalau koperasi nanti diprioritaskan, salah satu pertentangannya ya nanti akan banyak sekali oknum-oknum yang akan mencari keuntungan di situ. Saya kira itu sudah harus bisa diantisipasi dari awal," jelasnya.
Ia mengakui berdasarkan fakta yang ditemui di lapangan selama ini banyak rentenir yang muncul dalam bentuk "formal" dengan kedok koperasi dan sebagainya.
Sukarso pun memaparkan sejumlah konflik misi (mission conflict) dari beberapa regulasi.
"Regulasi yang satu menetralisasi regulasi yang lain. Bukan bertentangan, tetapi menetralisasi," tegasnya.
Dalam hal ini, dia mencontohkan saat ada Badan Kredit Kecamatan (BKK) yang sangat terkenal, hal itu sebenarnya untuk menetralisasi atau mengurangi dampak dari rentenir.
Menurut dia, hal itu karena sudah dikaji bahwa rentenir sangat membahayakan, sehingga muncul BKK yang mekanismenya seperti perbankan.
Akan tetapi ketika muncul Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kata dia, keberadaan BKK tidak diakui lagi sebagai lembaga penyedia kredit tanpa agunan.
"Itu menjadi tidak diakui, yang diakui hanya bank umum dan bank perkreditan rakyat. Itu mission conflict, jadi konflik misi dari masing-masing regulasi," jelasnya.
Menurut dia, konflik misi dalam koperasi pun bisa dikaji lagi karena banyak undang-undang terkait dengan koperasi namun pada saat yang sama memprioritaskan juga yang nonkoperasi.
Akan tetapi dari semua itu, kata dia, yang terpenting adalah komitmen dari pemerintah untuk memberi afirmasi yang riil terhadap koperasi.
"Karena koperasi itu tidak hanya sekadar instrumen ekonomi, tetapi itu sudah ideologi, menurut saya," katanya.
Ia mengatakan jika sudah menjadi ideologi, berarti harus betul-betul berkomitmen karena sekarang di berbagai percaturan ekonomi Indonesia kurang begitu tampak koperasinya.
Oleh karena itu, kata dia, jika penguatan di umur Koperasi Indonesia yang telah mencapai 76 tahun itu sudah harus menata ulang kembali.
"Apalagi sekarang sedang dibuat rencana Undang-Undang Perkoperasian untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Barangkali itu bisa lebih menguatkan lagi peran koperasi di perekonomian Indonesia," jelasnya.
Sukarso mengaku memiliki satu kritik sederhana karena dalam pola pikir masyarakat, koperasi itu merupakan kegiatan perekonomian skala kecil sehingga disatukan dengan usaha kecil dan menengah (UKM).
Padahal, kata dia, bisa jadi kegiatan koperasi bisa setara dengan perusahaan-perusahaan yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN).
"Mestinya targetnya tidak dibatasi yang kecil-kecil, menurut saya. Yang kedua justru seperti Dekopin itu hanya gabungan dari berbagai koperasi," katanya.
Menurut dia, desain-desain yang seperti itu mungkin bisa ditinjau ulang supaya koperasi mendominasi perekonomian Indonesia.
Kalau dari berbagai jiwa undang-undang-undang, kata dia, koperasi memang diharapkan menjadi saka guru perekonomian Indonesia.
"Tetapi faktanya, koperasi hanya menjadi pelengkap saja, untuk memenuhi peraturan-peraturan yang sudah 'terlanjur ada'," tegas Sukarso.
Baca juga: Pemkot Surakarta komitmen sehatkan koperasi tidak aktif
"Kalau kita lihat koperasi selama ini ada tapi tidak pernah menjadi prioritas. Hal sederhana sekali, misalnya definisi gotong royong dan kekeluargaan itu tidak pernah bisa dijelaskan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Dalam hal gotong royong, kata dia, masyarakatnya sudah kapitalistik dan kekeluargaan itu yang seperti apa.
Ia mengatakan dalam desain organisasi itu ada yang disebut dengan desain organisasi humanis.
"Barangkali itu. Desain organisasi humanis itu lebih mengutamakan patriotisme dibanding profesionalisme," jelas dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Menurut dia, saat sekarang semuanya justru serba profesional, sedangkan patriotismenya menjadi kurang penekanan atau kurang penguatan di koperasi.
Padahal kalau melihat benihnya, kata dia, patriotisme itu tumbuh dari altruis, yakni dari orang yang ingin membahagiakan orang lain atau orang ingin berbuat baik bagi orang lain.
Sementara kalau egois, lanjut dia, semuanya bermuara pada kepentingan diri sendiri dan hal itu nanti tumbuhnya menjadi profesional.
"Itu yang kami pelajari seperti itu. Mungkin komitmen pemerintah harus lebih nyata untuk memprioritaskan koperasi, saya kira seperti itu," tegas Sukarso.
Ia mengatakan hal itu disebabkan dari berbagai regulasi selama ini ada tetapi biasa-biasa saja, tidak pernah menjadikan koperasi sebagai prioritas.
Menurut dia, regulasi untuk koperasi selama ini masih kurang serius karena kalau serius, harus lebih punya komitmen yang jauh lebih kuat dari keadaan sekarang ini.
Disinggung mengenai maraknya rentenir yang berkedok koperasi, dia menilai hal itu alamiah karena ketika ada sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, orang akan berbondong-bondong mengambil manfaat di situ atau mencari keuntungan dari setiap keadaan.
"Kalau koperasi nanti diprioritaskan, salah satu pertentangannya ya nanti akan banyak sekali oknum-oknum yang akan mencari keuntungan di situ. Saya kira itu sudah harus bisa diantisipasi dari awal," jelasnya.
Ia mengakui berdasarkan fakta yang ditemui di lapangan selama ini banyak rentenir yang muncul dalam bentuk "formal" dengan kedok koperasi dan sebagainya.
Sukarso pun memaparkan sejumlah konflik misi (mission conflict) dari beberapa regulasi.
"Regulasi yang satu menetralisasi regulasi yang lain. Bukan bertentangan, tetapi menetralisasi," tegasnya.
Dalam hal ini, dia mencontohkan saat ada Badan Kredit Kecamatan (BKK) yang sangat terkenal, hal itu sebenarnya untuk menetralisasi atau mengurangi dampak dari rentenir.
Menurut dia, hal itu karena sudah dikaji bahwa rentenir sangat membahayakan, sehingga muncul BKK yang mekanismenya seperti perbankan.
Akan tetapi ketika muncul Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kata dia, keberadaan BKK tidak diakui lagi sebagai lembaga penyedia kredit tanpa agunan.
"Itu menjadi tidak diakui, yang diakui hanya bank umum dan bank perkreditan rakyat. Itu mission conflict, jadi konflik misi dari masing-masing regulasi," jelasnya.
Menurut dia, konflik misi dalam koperasi pun bisa dikaji lagi karena banyak undang-undang terkait dengan koperasi namun pada saat yang sama memprioritaskan juga yang nonkoperasi.
Akan tetapi dari semua itu, kata dia, yang terpenting adalah komitmen dari pemerintah untuk memberi afirmasi yang riil terhadap koperasi.
"Karena koperasi itu tidak hanya sekadar instrumen ekonomi, tetapi itu sudah ideologi, menurut saya," katanya.
Ia mengatakan jika sudah menjadi ideologi, berarti harus betul-betul berkomitmen karena sekarang di berbagai percaturan ekonomi Indonesia kurang begitu tampak koperasinya.
Oleh karena itu, kata dia, jika penguatan di umur Koperasi Indonesia yang telah mencapai 76 tahun itu sudah harus menata ulang kembali.
"Apalagi sekarang sedang dibuat rencana Undang-Undang Perkoperasian untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Barangkali itu bisa lebih menguatkan lagi peran koperasi di perekonomian Indonesia," jelasnya.
Sukarso mengaku memiliki satu kritik sederhana karena dalam pola pikir masyarakat, koperasi itu merupakan kegiatan perekonomian skala kecil sehingga disatukan dengan usaha kecil dan menengah (UKM).
Padahal, kata dia, bisa jadi kegiatan koperasi bisa setara dengan perusahaan-perusahaan yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN).
"Mestinya targetnya tidak dibatasi yang kecil-kecil, menurut saya. Yang kedua justru seperti Dekopin itu hanya gabungan dari berbagai koperasi," katanya.
Menurut dia, desain-desain yang seperti itu mungkin bisa ditinjau ulang supaya koperasi mendominasi perekonomian Indonesia.
Kalau dari berbagai jiwa undang-undang-undang, kata dia, koperasi memang diharapkan menjadi saka guru perekonomian Indonesia.
"Tetapi faktanya, koperasi hanya menjadi pelengkap saja, untuk memenuhi peraturan-peraturan yang sudah 'terlanjur ada'," tegas Sukarso.
Baca juga: Pemkot Surakarta komitmen sehatkan koperasi tidak aktif