Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho menyayangkan banyak terpidana kasus korupsi yang menerima remisi pada momentum Lebaran 2023.
"Saya sangat menyayangkan. Artinya, suatu pilihan aturan yang tidak memberikan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengakui dari segi regulasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan itu memang tidak membeda-bedakan hak narapidana sehingga terpidana kasus korupsi sah untuk mendapatkan remisi.
Akan tetapi, dari sudut politik hukum pemberantasan korupsi, kata dia, pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi itu bertolak belakang karena efek jeranya tidak pernah ada.
Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu pun menyinggung Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dianggap pro dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Dulu 'kan ada PP 32/1999 yang diubah menjadi PP 99/2012, yang membedakan pemberian remisi antara napi umum dan napi kasus korupsi sehingga napi kasus korupsi tidak mendapatkan remisi," jelasnya.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Pemasyarakatan tidak membedakan hak narapidana, kata dia, semua napi mendapatkan hak remisi.
"Ini 'kan pilihan politik hukum apakah korupsi sebagai kejahatan biasa ataukah korupsi sebagai kejahatan luar biasa," katanya.
Menyinggung mengenai kemungkinan kepala lembaga pemasyarakatan (kalapas) "mengobral" sistem penilaian pembinaan narapidana (SPPN) sebagai salah satu dasar usulan pemberian remisi karena adanya kedekatan hubungan dengan napi kasus korupsi, Prof. Hibnu mengatakan bahwa kalapas hanya sebagai pelaksana dari Undang-Undang Pemasyarakatan yang tidak membedakan hak narapidana sehingga kecil kemungkinan adanya "obral" SPPN.
Kendati demikian, dia mengaku agak menyayangkan dengan adanya kebijakan yang tidak membedakan hak narapidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan.
"Itu suatu pilihan, tidak bisa menyalahkan sehingga kalau sekarang sudah mendapatkan remisi, ya, akhirnya suatu pemidanaan kasus korupsi bukan memberikan efek jera, jadi seperti kejahatan biasa," tegasnya.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan bahwa langkah terbaik yang harus dilakukan ke depan, yakni dengan memberikan pidana maksimal terhadap terpidana kasus korupsi seperti ancaman maksimal yang ditentukan dalam undang-undang karena yang diharapkan dari suatu pemidanaan adalah memberikan efek jera.
Menurut dia, hal itu perlu dilakukan karena nantinya semua terpidana kasus korupsi pun akan mendapatkan remisi seperti halnya narapidana umum.
"Itu saya kira strategi bagi penegak hukum, khususnya majelis, untuk memaksimalkan pidana dalam tindak pidana korupsi karena nanti golnya sama, mendapatkan remisi, pengurangan-pengurangan, apakah Idulfitri, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, dan sebagainya," kata Prof. Hibnu.
Dalam hal ini, kata dia, penegak hukum harus melakukan terobosan dengan memberikan ancaman hukuman maksimal terhadap terpidana kasus korupsi agar ketika yang bersangkutan mendapatkan remisi, sisa masa hukuman yang dijalani masih lama.
Pemberian remisi khusus Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah bagi warga binaan pemasyarakatan atau narapidana di sejumlah daerah tersebut mendapat sorotan karena cukup banyak terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi seperti di Jawa Tengah dari 6.746 narapidana menerima remisi, 78 orang di antaranya merupakan terpidana kasus korupsi.
Bahkan di Jawa Barat, dari 15.475 narapidana yang mendapatkan remisi, sebanyak 271 orang di antaranya merupakan terpidana kasus korupsi.
"Saya sangat menyayangkan. Artinya, suatu pilihan aturan yang tidak memberikan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengakui dari segi regulasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan itu memang tidak membeda-bedakan hak narapidana sehingga terpidana kasus korupsi sah untuk mendapatkan remisi.
Akan tetapi, dari sudut politik hukum pemberantasan korupsi, kata dia, pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi itu bertolak belakang karena efek jeranya tidak pernah ada.
Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu pun menyinggung Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dianggap pro dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Dulu 'kan ada PP 32/1999 yang diubah menjadi PP 99/2012, yang membedakan pemberian remisi antara napi umum dan napi kasus korupsi sehingga napi kasus korupsi tidak mendapatkan remisi," jelasnya.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Pemasyarakatan tidak membedakan hak narapidana, kata dia, semua napi mendapatkan hak remisi.
"Ini 'kan pilihan politik hukum apakah korupsi sebagai kejahatan biasa ataukah korupsi sebagai kejahatan luar biasa," katanya.
Menyinggung mengenai kemungkinan kepala lembaga pemasyarakatan (kalapas) "mengobral" sistem penilaian pembinaan narapidana (SPPN) sebagai salah satu dasar usulan pemberian remisi karena adanya kedekatan hubungan dengan napi kasus korupsi, Prof. Hibnu mengatakan bahwa kalapas hanya sebagai pelaksana dari Undang-Undang Pemasyarakatan yang tidak membedakan hak narapidana sehingga kecil kemungkinan adanya "obral" SPPN.
Kendati demikian, dia mengaku agak menyayangkan dengan adanya kebijakan yang tidak membedakan hak narapidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan.
"Itu suatu pilihan, tidak bisa menyalahkan sehingga kalau sekarang sudah mendapatkan remisi, ya, akhirnya suatu pemidanaan kasus korupsi bukan memberikan efek jera, jadi seperti kejahatan biasa," tegasnya.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan bahwa langkah terbaik yang harus dilakukan ke depan, yakni dengan memberikan pidana maksimal terhadap terpidana kasus korupsi seperti ancaman maksimal yang ditentukan dalam undang-undang karena yang diharapkan dari suatu pemidanaan adalah memberikan efek jera.
Menurut dia, hal itu perlu dilakukan karena nantinya semua terpidana kasus korupsi pun akan mendapatkan remisi seperti halnya narapidana umum.
"Itu saya kira strategi bagi penegak hukum, khususnya majelis, untuk memaksimalkan pidana dalam tindak pidana korupsi karena nanti golnya sama, mendapatkan remisi, pengurangan-pengurangan, apakah Idulfitri, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, dan sebagainya," kata Prof. Hibnu.
Dalam hal ini, kata dia, penegak hukum harus melakukan terobosan dengan memberikan ancaman hukuman maksimal terhadap terpidana kasus korupsi agar ketika yang bersangkutan mendapatkan remisi, sisa masa hukuman yang dijalani masih lama.
Pemberian remisi khusus Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah bagi warga binaan pemasyarakatan atau narapidana di sejumlah daerah tersebut mendapat sorotan karena cukup banyak terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi seperti di Jawa Tengah dari 6.746 narapidana menerima remisi, 78 orang di antaranya merupakan terpidana kasus korupsi.
Bahkan di Jawa Barat, dari 15.475 narapidana yang mendapatkan remisi, sebanyak 271 orang di antaranya merupakan terpidana kasus korupsi.