Semarang (ANTARA) -
Pengurus organisasi pengusaha perusahaan pelayaran angkutan niaga atau Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Bidang Penumpang dan Roro Rakhmatika Ardianto menyebut kondisi pentarifan untuk angkutan laut penumpang ekonomi yang selama ini diterapkan oleh PT Pelni saat ini sangat tertinggal dibandingkan dengan tarif transportasi lainnya.

"Tarif yang berlaku sesuai dengan PM 109 Tahun 2017 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Laut Dalam Negeri Kelas Ekonomi yaitu sekitar Rp575/mil tertinggal dibandingkan dengan tarif angkutan penyeberangan yang mencapai rata-rata Rp875/mil, sedangkan untuk tarif angkutan penyeberanganpun selama ini juga tergolong rendah dan perhitungannya di bawah perhitungan HPP yang telah dihitung oleh pemerintah," katanya.

PT Pelni sebagai BUMN yang mengoperasikan mayoritas angkutan laut penumpang dalam negeri mendapatkan kompensasi subsidi PSO yang sangat besar, meskipun tarif yang berlaku untuk penumpang sangat kecil.

"Tetapi tidak demikian dengan kapal penumpang swasta yang harus berinvestasi kapal sendiri dan pengoperasiannya tidak mendapatkan subsidi PSO dari pemerintah sehingga kondisinya lebih sulit lagi untuk menutup biaya operasionalnya," ujarnya.

Padahal, lanjut dia, tidak mungkin menaikkan tarif melebihi tarif yang diterapkan oleh PT Pelni karena karakter konsumen angkutan laut adalah masyarakat kelas bawah yang sangat sensitif terhadap harga sehingga ketika ada selisih sedikit, maka akan berpindah.

Menurut dia, fungsi angkutan laut tidak hanya sebagai sarana transportasi, tapi juga sebagai infrastruktur jembatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membiayainya.

Oleh karena itu, pihaknya sebagai pengusaha angkutan laut penumpang juga meminta subsidi atau insentif sebagai kompensasi atas investasi yang tidak dikeluarkan oleh pemerintah dengan adanya infrastruktur yang telah disediakan oleh swasta.

"Dengan adanya tarif yang rendah tadi kami juga tetap masih bisa hidup beroperasi melayani masyarakat," katanya.

Insentif tersebut antara lain, keringanan pembebanan pajak, penghapusan biaya PNBP seperti yang dilakukan untuk moda udara, subsidi yang lebih besar terhadap harga BBM daripada subsidi terhadap harga BBM dari sarana transportasi yang tidak merangkap sebagai infrastruktur seperti transportasi publik darat.

Kemudian, subsidi biaya alat keselamatan yang dibiayai oleh pemerintah karena sebenarnya fungsi keselamatan menjadi tanggung jawab pemerintah, serta yang juga sangat penting adalah peran pemerintah dalam merawat kondisi alur pelayaran yang saat ini banyak mengalami pendangkalan.

"Dengan adanya alur yang dangkal, maka ukuran kapal yang bisa masuk pelabuhan adalah yang berukuran kecil dan cenderung tidak efisien, serta hal ini juga membahayakan keselamatan pelayaran," ujarnya.

Dengan adanya insentif yang diberikan tersebut, paling tidak dapat meringankan beban biaya operasional perusahaan angkutan laut swasta yang tidak mendapatkan PSO dari pemerintah sehingga tercipta iklim usaha yang tidak diskriminatif.

"Apalagi Presiden Joko Widodo mulai awal pemerintahan sudahbmengeluarkan jargon maritim tetapi kenapa untuk moda lain, seperti angkutan udara lebih diperhatikan daripada angkutan laut? Padahal angkutan laut mengangkut muatan yang jauh lebih besar, yang tentu harusnya diberikan perhatian berupa insentif yang lebih besar," katanya.

Dirinya mengungkapkan di negara lain, sektor maritim mendapatkan insentif yang lebih daripada moda transportasi lainnya seperti halnya di Malaysia, China, Vietnam, walaupun bukan negara maritim.

"Indonesia adalah negara maritim seharusnya juga mendapatkan perhatian yang lebih besar," ujarnya.

Pewarta : Wisnu A.N
Editor : Wisnu Adhi Nugroho
Copyright © ANTARA 2024