Purwokerto (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ahmad Sabiq menilai durasi masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 selama 75 hari tidak menjadi masalah.
"Inti kampanye sebetulnya bukan masalah durasinya panjang atau pendek. Namun, apakah tujuan dari kampanye itu bisa efektif serta dari sisi sumber daya bisa efisien, baik waktu, biaya, tenaga, dan lain-lain," kata Sabiq di Purwokerto, Jawa Tengah, Selasa.
Menurut dia, efektivitas kampanye itu dilihat dari apakah calon pemilih mendapatkan informasi mengenai peserta Pemilu dengan baik. Sehingga, lanjutnya, keefektifan kampanye pemilu terkait pada konten, media, dan cara penyampaian.
Dosen pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu mengatakan efektivitas kampanye dilihat melalui penyampaian secara kreatif, cerdas, dan beradab, bukan secara provokatif dan memecah belah bangsa.
Dengan demikian, tambahnya, para pemilih bisa mendapat informasi yang mencukupi tentang rekam jejak kandidat beserta ide-ide yang disampaikan, sehingga hal itu dapat menjadi pertimbangan calon pemilih dalam menentukan pilihan.
Selain itu, apabila partai-partai melakukan perekrutan dengan mempertimbangkan sisi kualitas, seperti memilih calon-calon legislator yang mengakar, bereputasi, dan berprestasi di masyarakat, maka para peserta pemilu seharusnya tidak memerlukan durasi kampanye berkepanjangan.
"Kalau kelamaan malah tidak efisien dan publik bisa menjadi bosan," tambahnya.
Sebelumnya, Partai Buruh melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terkait persoalan kampanye 75 hari seperti diatur di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
"Masa kampanye 75 hari ya tidak adil; kalau partai parlemen yang sudah ada sih dia sudah dikenal, nonparlemen sebagian sudah dikenal, tapi partai baru kan belum," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Senin (13/6).
Menurut Said, seluruh partai politik, baik partai baru, partai nonparlemen, maupun partai parlemen, harus diperlakukan sama. Menurut dia, masa kampanye yang pendek akan mengakibatkan keterbatasan waktu bagi partai baru untuk mengenalkan diri kepada masyarakat sebagai calon pemilih.
"Inti kampanye sebetulnya bukan masalah durasinya panjang atau pendek. Namun, apakah tujuan dari kampanye itu bisa efektif serta dari sisi sumber daya bisa efisien, baik waktu, biaya, tenaga, dan lain-lain," kata Sabiq di Purwokerto, Jawa Tengah, Selasa.
Menurut dia, efektivitas kampanye itu dilihat dari apakah calon pemilih mendapatkan informasi mengenai peserta Pemilu dengan baik. Sehingga, lanjutnya, keefektifan kampanye pemilu terkait pada konten, media, dan cara penyampaian.
Dosen pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu mengatakan efektivitas kampanye dilihat melalui penyampaian secara kreatif, cerdas, dan beradab, bukan secara provokatif dan memecah belah bangsa.
Dengan demikian, tambahnya, para pemilih bisa mendapat informasi yang mencukupi tentang rekam jejak kandidat beserta ide-ide yang disampaikan, sehingga hal itu dapat menjadi pertimbangan calon pemilih dalam menentukan pilihan.
Selain itu, apabila partai-partai melakukan perekrutan dengan mempertimbangkan sisi kualitas, seperti memilih calon-calon legislator yang mengakar, bereputasi, dan berprestasi di masyarakat, maka para peserta pemilu seharusnya tidak memerlukan durasi kampanye berkepanjangan.
"Kalau kelamaan malah tidak efisien dan publik bisa menjadi bosan," tambahnya.
Sebelumnya, Partai Buruh melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terkait persoalan kampanye 75 hari seperti diatur di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
"Masa kampanye 75 hari ya tidak adil; kalau partai parlemen yang sudah ada sih dia sudah dikenal, nonparlemen sebagian sudah dikenal, tapi partai baru kan belum," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Senin (13/6).
Menurut Said, seluruh partai politik, baik partai baru, partai nonparlemen, maupun partai parlemen, harus diperlakukan sama. Menurut dia, masa kampanye yang pendek akan mengakibatkan keterbatasan waktu bagi partai baru untuk mengenalkan diri kepada masyarakat sebagai calon pemilih.