Magelang (ANTARA) - Apa yang anda ingat ketika mendengar kata "Magelang"? Borobudur, Merapi Merbabu, Sumbing, Andong, Menoreh, Tidar, Alun-Alun Magelang, kota getuk, kota militer merupakan sejumlah tengara "Magelang".

Buat yang belum tahu, di Magelang ada dua pemerintahan, yaitu Kota Magelang yang saat ini dipimpin Wali Kota Muchammad Nur Aziz dan Kabupaten Magelang dipimpin Bupati Zaenal Arifin. 

Candi Borobudur, Gunung Merapi, Merbabu, Pegunungan Menoreh, dan Gunung Sumbing berada di wilayah administrasi Kabupaten Magelang, sedangkan Gunung Tidar, Alun-Alun Magelang terletak di Kota Magelang. Akademi Militer terletak di kawasan perbatasan, sebagian kompleks masuk wilayah kota dan sebagian kabupaten. 

Singkong sebagai bahan baku utama camilan --getuk-- berasal dari kabupaten, sedangkan merek produk getuk yang populer, sebut saja Getuk Gondok, Getuk Trio, Getuk Eco, Getuk Marem. Produsennya berada di kota. 

Setiap tanggal 11 April, Kota Magelang merayakan hari jadi. Berdasar buku arsip "Dokumen Hari Jadi Magelang", koleksi Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Magelang, penentuan hari jadi merujuk penanggalan prasasti Mantyasih. Prasasti itu menyebut angka Tahun 829 Saka, Bulan Caitra, Tanggal 11 Paro Gelap, Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis, Hari Sanais Scara. Dengan kata lain, bila dikonversi dengan penanggalan Masehi, merupakan Hari Sabtu Legi, Tanggal 11 April Tahun 907 Masehi. 

Prasasti Mantyasih menyebutkan Desa Mantyasih yang sekarang ini dipercaya menjadi Kampung Meteseh, di sebelah utara gedung kompleks eks-Keresidenan Kedu di Kota Magelang. Prasasti Mantyasih juga menyebut kata "Glam" dan "Galang". Arsip penulusuran hari jadi Magelang, memuat kata "Desa Glam" berubah menjadi Kampung Magelang sekarang ini yang terletak di sebelah utara Kampung Meteseh, sedangkan kata "Desa Galang" menjadi Kampung Gelangan di sisi timur Magelang. 

Penelusuran hari jadi Magelang dilakukan oleh tim yang dipimpin Martinus Maria Sukarto Karto Atmodjo, kemudian ditetapkan melalui Keputusan Wali Kota Madya Kepala Daerah Tingkat II Magelang Nomor 135/21/02 Tahun 1988, yang selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Magelang Nomor 6 Tahun 1989. 

Sukarto Karto Atmodjo, epigraf kelahiran Srandakan, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta pada Tahun 1928 adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada pada Tahun 1962 yang pernah juga belajar di Rijksuniversiteit Leiden, Belanda. Pada Tahun 1973 pernah mengenyam pendidikan epigrafi di SOAS (School of Oeiental dan African Studies) University of London di bawah asuhan Prof. Dr. J.G. de Casparis, filolog terkenal berkewarganegaraan Belanda. 

Menurut Condro Bawono, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang periode 2010 2014, ada peristiwa hitungan yang kelebihan satu, dimulai pada Tanggal 6 April 1989. 

"Hitungan yang kelebihan satu ini berlanjut sampai sekarang di Tahun 2022 ini yang dipublikasikan oleh Humas Kota Magelang sebagai peringatan hari jadi ke-1116. Entah akan sampai kapan. Angka perhitungan hari jadi yang pas sesuai dengan arsip hari jadi pernah digunakan pada Tanggal 6 Maret 1989, namun secara legal-formal menjadi tidak berlaku karena angka itu ditulis sebelum ada Perda No. 6 Tahun 1989." ujar Condro yang juga budayawan setempat sering dipanggil Mbilung Sarawita ini.

Di luar perhitungan melalui prasasti Mantyasih ada juga Prasasti Canggal yang juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya. Tulisan di prasasti itu dalam bentuk candra sengkala berangka Tahun 654 Saka atau Tahun 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Canggal disebut-sebut sebagai prasasti tertua yang pernah ditemukan terkait dengan Kerajaan Medang di masa pemerintahan Wangsa Sanjaya. 

Ada juga Prasasti Poh yang bertanggal 11 Juli 905 Masehi. Prasasti ini menyebut tentang Desa Wadung Poh, yang kemudian dipercaya menjadi kata "Dungpoh", kampung di Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang. 

Perhitungan penanggalan hari jadi Kota Magelang melalui prasasti-prasasti tersebut dalam arsip "Dokumen Hari Jadi Magelang" dianggap sebagai perhitungan yang mempunyai nilai-nilai nasionalisme, indonesiasentris, bukannya neerlandosentris, paling tua, berciri khas, dan juga dianggap mampu membangkitkan rasa bangga. 

Di samping perhitungan melalui prasasti, ada juga perhitungan berdasarkan arsip pemerintahan Hindia Belanda. Magelang antara 1810-1816 dipilih sebagai semacam ibu kota kabupaten dengan diangkat Raden Tumenggung Danuningrat sebagai bupati pertama. 

Masa ini merupakan masa peralihan antara pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Kerajaan Inggris, yang kemudian kembali menjadi wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Nomor 24 bertanggal 14 Maret 1817 menetapkan Keresidenan Kedu yang kemudian disusul dengan  penetapan Magelang sebagai ibu kota keresidenannya. 
  Sejumlah pengendara melewati jalan di depan Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang. ANTARA/Hari Atmoko

Perhitungan penting lainnya terkait dengan kata "kota" untuk Kota Praja atau Kota Madya Magelang adalah pada 1 April 1906 tentang penetapan Magelang menjadi "gemeente" di bawah pimpinan "burgemeenter". "Gemeente" istilah dalam bahasa Belanda dan nama pembagian administratif. Kata "gemeente" istilah ilmu tata negara. Dalam bahasa Indonesia kata ini kurang lebih bisa diterjemahkan sebagai kota praja atau kota madya. 

Pascakemerdekaan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Kota Magelang berstatus sebagai ibu kota Kabupaten Magelang. Sangat jelas bahwa Kota Magelang adalah ibu kota Kabupaten Magelang. Kemudian disusul dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950, Kota Magelang berdiri sendiri sebagai daerah yang diberi hak untuk mengatur rumah tangga sendiri. 

Maka muncullah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1982 yang isinya tentang pemindahan ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang dari wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Magelang ke Kecamatan Mungkid di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang. 

Peresmian Kota Mungkid sebagai ibu kota Kabupaten Magelang dilakukan pada Tanggal 22 Maret 1984 oleh M. Ismail, Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Dengan Tanggal 22 Maret tersebutlah hari jadi Kota Mungkid diperingati hingga saat ini. 

Bila kita menelisik lebih lanjut, dengan mencermati lini masa yang terjadi terkait dengan sejarah berdiri Magelang, ada wasiat yang dikemukakan Sukarto Karto Atmodjo dalam akhir makalahnya di arsip "Riwayat Singkat Hari Jadi Kota Magelang".

"Harus diakui bahwa mencari hari jadi suatu daerah sangat sukar. Demikian pula hari jadi mutlak benar memang sulit. Ini disebabkan karena belum semua data kuno diketemukan. Dengan demikian apa yang akan saya kemukakan di sini hanya merupakan usul sementara. Artinya apabila di kemudian hari diketemukan data yang lebih autentik, maka ketentuan (keputusan) tersebut harus diubah. Soalnya sejarah harus mencari kebenaran dan bukannya pemalsuan," katanya. 

Dalam makalahnya berjudul "Sekitar Hari Jadi Magelang" juga mencantumkan ungkapan kuno yang sangat indah. Ungkapan yang bisa menjadi pegangan kita dalam menghadapi polemik seputar hari jadi. 

Ungkapan itu, "Bhatara haricandanatisaya tisnira luwehi tajening wulan, satisnira kimalihan kalewihan tekapi wacana sang mahardhika. Ikang dahana bahni tikena mapanas luwehi sira tejaning rawi, panasrira kinalihan kalewihan tekapi wacananing duratmaka". 

Artinya kurang lebih "Batara Haricandana sangat dingin melebihi dinginnya Bulan, bagaimanapun juga dinginnya masih dilampaui dua kali dinginnya ucapan orang bijaksana. Api itu sangat panas melebihi panasnya sinar Matahari, tetapi panasnya dilampaui dua kali panasnya ucapan orang yang buruk perilakunya". 

Selamat merayakan hari jadi Kota Magelang. Apapun yang kita pilih tentang hari jadi Magelang tentu harapannya bisa menciptakan Magelang, menjadi tempat kita bernaung dalam persaudaraan keluarga bahagia, karena Magelang rumah bersama kita tercinta.


*) Muhammad Nafi, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang (2021-2024)

 

Pewarta : Muhammad Nafi *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024