Purwokerto (ANTARA) - Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Kuat Puji Prayitno mengapresiasi gebrakan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus kelangkaan minyak goreng yang berimbas pada kenaikan harga komoditas itu.
"Saya sangat mengapresiasi Kejaksaan Agung yang telah mengusut kasus pemberian izin ekspor minyak goreng pada tahun 2021—2022 yang saat ini telah dinaikkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan," kata Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengatakan bahwa kelangkaan minyak goreng di dalam negeri berawal dari kenaikan harga komoditas itu di dunia yang sebelumnya 1.100 dolar Amerika Serikat per kilogram menjadi 1.400 dolar AS/kg.
Momentum tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah eksportir dengan meminta izin ekspor kepada Kementerian Perdagangan agar bisa menjual minyak goreng ke luar negeri demi mendapatkan keuntungan besar meskipun telah ada regulasi bahwa ekspor komoditas tersebut dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
"Karena ada izin ekspor minyak goreng yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan ketika kebutuhan dalam negeri masih kurang, diduga ada perbuatan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang," kata Wakil Rektor Unsoed Bidang Kemahasiswaan dan Alumni itu.
Lebih lanjut, Kuat mengatakan bahwa tersangka dalam kasus tersebut bisa berasal dari Kementerian Perdagangan sebagai pihak yang mengeluarkan izin ekspor minyak goreng dan bisa juga dari pihak eksportir yang menerima izin ekspor.
Dalam hal ini, kata dia, diduga ada gratifikasi kepada pihak Kementerian Perdagangan sehingga izin ekspor minyak goreng dapat keluar saat kebutuhan dalam negeri masih kurang.
Menurut dia, kasus tersebut telah merugikan perekonomian negara karena mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.
"Bahkan, ada warga yang meninggal dunia setelah berdesak-desakan saat antre untuk membeli minyak goreng. Oleh karena itu, saya kira langkah yang diambil Kejaksaan Agung sangat bagus untuk memberi terapi dan pembelajaran bagi Kementerian Perdagangan tentang tata kelola ekspor," kata Kuat.
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menaikkan status penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng pada tahun 2021—2022 ke tahap penyidikan.
Peningkatan status ini berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidik Jampidsus Nomor: Prin-17/F.2/Fd/04/2022 Tanggal 4 April 2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana menyebutkan dari hasil penyelidikan, jaksa penyidik menemukan perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut.
"Dikeluarkannya persetujuan ekspor (PE) kepada eksportir yang sebenarnya ditolak izinnya karena tidak penuhi syarat DMO-DPO," kata Ketut.
Dua eksportir tersebut, yakni PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI) dan PT Karya Indah Alam Sejahtera(IS). Keduanya tetap mendapatkan persetujuan ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.
Menurut Ketut, kesalahan yang dilakukan adalah tidak memedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga harga penjualan di dalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya di atas Rp10.300,00.
"Disinyalir ada gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan PE," kata Ketut.
Ketut mengatakan bahwa penerbitan persetujuan ekspor tersebut bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari sampai dengan 20 Maret 2022 yang mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.
"Saya sangat mengapresiasi Kejaksaan Agung yang telah mengusut kasus pemberian izin ekspor minyak goreng pada tahun 2021—2022 yang saat ini telah dinaikkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan," kata Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengatakan bahwa kelangkaan minyak goreng di dalam negeri berawal dari kenaikan harga komoditas itu di dunia yang sebelumnya 1.100 dolar Amerika Serikat per kilogram menjadi 1.400 dolar AS/kg.
Momentum tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah eksportir dengan meminta izin ekspor kepada Kementerian Perdagangan agar bisa menjual minyak goreng ke luar negeri demi mendapatkan keuntungan besar meskipun telah ada regulasi bahwa ekspor komoditas tersebut dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
"Karena ada izin ekspor minyak goreng yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan ketika kebutuhan dalam negeri masih kurang, diduga ada perbuatan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang," kata Wakil Rektor Unsoed Bidang Kemahasiswaan dan Alumni itu.
Lebih lanjut, Kuat mengatakan bahwa tersangka dalam kasus tersebut bisa berasal dari Kementerian Perdagangan sebagai pihak yang mengeluarkan izin ekspor minyak goreng dan bisa juga dari pihak eksportir yang menerima izin ekspor.
Dalam hal ini, kata dia, diduga ada gratifikasi kepada pihak Kementerian Perdagangan sehingga izin ekspor minyak goreng dapat keluar saat kebutuhan dalam negeri masih kurang.
Menurut dia, kasus tersebut telah merugikan perekonomian negara karena mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.
"Bahkan, ada warga yang meninggal dunia setelah berdesak-desakan saat antre untuk membeli minyak goreng. Oleh karena itu, saya kira langkah yang diambil Kejaksaan Agung sangat bagus untuk memberi terapi dan pembelajaran bagi Kementerian Perdagangan tentang tata kelola ekspor," kata Kuat.
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menaikkan status penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng pada tahun 2021—2022 ke tahap penyidikan.
Peningkatan status ini berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidik Jampidsus Nomor: Prin-17/F.2/Fd/04/2022 Tanggal 4 April 2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana menyebutkan dari hasil penyelidikan, jaksa penyidik menemukan perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut.
"Dikeluarkannya persetujuan ekspor (PE) kepada eksportir yang sebenarnya ditolak izinnya karena tidak penuhi syarat DMO-DPO," kata Ketut.
Dua eksportir tersebut, yakni PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI) dan PT Karya Indah Alam Sejahtera(IS). Keduanya tetap mendapatkan persetujuan ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.
Menurut Ketut, kesalahan yang dilakukan adalah tidak memedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga harga penjualan di dalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya di atas Rp10.300,00.
"Disinyalir ada gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan PE," kata Ketut.
Ketut mengatakan bahwa penerbitan persetujuan ekspor tersebut bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari sampai dengan 20 Maret 2022 yang mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.