Semarang (ANTARA) - "Selamat pagi," sapa para pelajar sekolah di Soe dengan ramah, saat mereka berpapasan dengan orang lain.
Di Kota Sae, kerap ditemui para pelajar dengan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur mereka akibat stunting.
Kota Soe, seperti halnya daerah-daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Nusa Tenggara Timur lainnya memiliki prevalensi stunting yang tinggi.
Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur.
Data SSGI 2021 juga mencatat NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori merah atau prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.
Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat.
Kemudian Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara yang seluruhnya memiliki prevalensi di atas 46 persen
Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen di antaranya, Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur, dan Negekeo mendekati status merah.
Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau atau berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.
Prevalensi stunting 48,3 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan jika dinarasikan bermakna ada 48 balita stunting di antara 100 balita yang ada di Timor Tengah Selatan.
Secara nasional, Kabupaten Timor Tengah Selatan menduduki nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota dan di 12 provinsi prioritas.
Standar badan kesehatan dunia atau WHO hanya mentoleransi angka prevalensi stunting di kisaran 20 persen yang artinya prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan melebihi dua kali standar dari WHO.
Kolaborasi
Berada di kondisi tersebut, Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa berjuang sendiri, butuh kolaborasi dan konvergensi semua pemangku kepentingan termasuk pelibatan semua komponen masyarakat.
Menurut data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan di 2020 terdapat 37.320 jiwa penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 jiwa penduduk.
Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga dan hal ini menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat.
"Rencana kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Soe Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan pada Kamis, 24 Maret 2022 menunjukkan kepedulian dan komitmen dari Presiden dan pemerintah pusat akan pengentasan persoalan stunting," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Bagi Presiden Jokowi, tegas Hasto, NTT selalu ada di hati dan BKKBN memastikan amanah dari Presiden untuk akselarasi penurunan stunting tetap dalam jalur yang tepat.
Menurut Hasto Wardoyo yang juga Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional, khusus untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan diharapkan prevalensi kasus stunting 48,3 persen saat ini dapat menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022.
Target besar selanjutnya, angka stunting di Sae bisa melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023, sehingga di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen.
Rencananya, Presiden Joko Widodo akan meninjau secara langsung program-program yang dihelat BKKBN dalam percepatan penurunan stunting di Timor Tengah Selatan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengukur tinggi badan anak di Kota Soe. ANTARA/HO-BKKBN
Di antaranya pemeriksaan kesehatan calon pengantin untuk deteksi dini potensi stunting; pemeriksaan ibu hamil; penimbangan dan pengukuran tinggi balita; kunjungan ke rumah warga, proses pembangunan program bedah rumah serta peresmian rumah pompa air.
Masalah pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinir BKKBN.
Hasto mengatakan kisah kerja kolaboratif dan kepedulian bersama dari semua kalangan di Timor Tengah Selatan dalam percepatan penurunan stunting di Kota Soe, suatu saat akan menjadi cerita yang akan diingat generasi mendatang.
"Ceritanya tentang perjuangan untuk mewujudkan generasi emas," tutup Hasto.
Di Kota Sae, kerap ditemui para pelajar dengan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur mereka akibat stunting.
Kota Soe, seperti halnya daerah-daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Nusa Tenggara Timur lainnya memiliki prevalensi stunting yang tinggi.
Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur.
Data SSGI 2021 juga mencatat NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori merah atau prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.
Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat.
Kemudian Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara yang seluruhnya memiliki prevalensi di atas 46 persen
Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen di antaranya, Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur, dan Negekeo mendekati status merah.
Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau atau berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.
Prevalensi stunting 48,3 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan jika dinarasikan bermakna ada 48 balita stunting di antara 100 balita yang ada di Timor Tengah Selatan.
Secara nasional, Kabupaten Timor Tengah Selatan menduduki nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota dan di 12 provinsi prioritas.
Standar badan kesehatan dunia atau WHO hanya mentoleransi angka prevalensi stunting di kisaran 20 persen yang artinya prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan melebihi dua kali standar dari WHO.
Kolaborasi
Berada di kondisi tersebut, Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa berjuang sendiri, butuh kolaborasi dan konvergensi semua pemangku kepentingan termasuk pelibatan semua komponen masyarakat.
Menurut data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan di 2020 terdapat 37.320 jiwa penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 jiwa penduduk.
Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga dan hal ini menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat.
"Rencana kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Soe Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan pada Kamis, 24 Maret 2022 menunjukkan kepedulian dan komitmen dari Presiden dan pemerintah pusat akan pengentasan persoalan stunting," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Bagi Presiden Jokowi, tegas Hasto, NTT selalu ada di hati dan BKKBN memastikan amanah dari Presiden untuk akselarasi penurunan stunting tetap dalam jalur yang tepat.
Menurut Hasto Wardoyo yang juga Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional, khusus untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan diharapkan prevalensi kasus stunting 48,3 persen saat ini dapat menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022.
Target besar selanjutnya, angka stunting di Sae bisa melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023, sehingga di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen.
Rencananya, Presiden Joko Widodo akan meninjau secara langsung program-program yang dihelat BKKBN dalam percepatan penurunan stunting di Timor Tengah Selatan.
Di antaranya pemeriksaan kesehatan calon pengantin untuk deteksi dini potensi stunting; pemeriksaan ibu hamil; penimbangan dan pengukuran tinggi balita; kunjungan ke rumah warga, proses pembangunan program bedah rumah serta peresmian rumah pompa air.
Masalah pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinir BKKBN.
Hasto mengatakan kisah kerja kolaboratif dan kepedulian bersama dari semua kalangan di Timor Tengah Selatan dalam percepatan penurunan stunting di Kota Soe, suatu saat akan menjadi cerita yang akan diingat generasi mendatang.
"Ceritanya tentang perjuangan untuk mewujudkan generasi emas," tutup Hasto.