Semarang (ANTARA) - Pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi prioritas utama karena menjadi  investasi penting sumber daya manusia guna tercapainya pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian, fase anak usia dini (0-5 tahun) merupakan masa emas (golden age)  mengingat pada masa inilah pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat.

UNESCO pada 2015 juga menegaskan pentingnya PAUD, antara lain sebagai fondasi pendidikan, investasi bagi keluarga dan pemerintah, serta menghentikan lingkaran kemiskinan. Karena, semua akar dari permasalahan sosial, seperti pengangguran, kesehatan, kemiskinan, dan keterbelakangan hanya bisa diatasi bila pendidikan sebuah bangsa mampu mencetak SDM unggul, yang dihasilkan dari pendidikan bermutu.

Namun, sejak pandemi COVID-19 melanda dunia termasuk Indonesia sejak awal 2020, dunia menjadi berubah di semua lini, termasuk di bidang pendidikan. Pun, dalam penyelenggaraan PAUD. PAUD tiba-tiba menghadapi segudang tantangan, baik oleh pemerintah, pengajar, peserta didik, hingga orang tua. Akan tetapi, program pembelajaran harus tetap berjalan dengan hasil optimal dengan model yang berbeda.

Seperti halnya dengan pendidikan di SD, SMP, SLTA, hingga perguruan tinggi, kegiatan belajar-mengajar tidak boleh berhenti, agar anak-anak bangsa ini tidak kehilangan jam belajar. 

Dalam situasi pandemi, model pembelajaran daring (online) akhirnya menjadi pilihan demi meredam risiko penularan virus corona. Persoalannya, pada tingkatan usia dini, tentu tidak mudah menyelenggarakan pendidikan daring. Tidak semua peserta didik siap. Karena pada usia sedini itu, banyak ahli menyarankan balita tidak dibiasakan menggunakan HP, tablet, atau komputer. Belum lagi persoalan orang tua, terutama ibu-ibu, yang tiba-tiba harus mendampingi anak balita mereka mengikuti pembelajaran daring.

Oleh karena itu, setelah menjalani pembelajaran daring selama masa pandemi, pengajar PAUD Generasi Penuai di Citra Raya Tangerang, Srimulyani (41), menyatakan pembelajaran daring PAUD di masa pandemi tidak efektif. Dibutuhkan banyak strategi baru, belajar hal baru, dan tantangan yang lebih sulit agar penyelenggaraan PAUD bisa berhasil. Akan tetapi, perubahan mendadak model pembelajaran tersebut menyisakan persoalan pelik.

"Tentu ini tidak efektif, kalau offline, kita handle langsung, kita didik karakternya. Setiap anak punya pendekatan dan strategi yang berbeda-beda. Bahkan, saya bisa tahu anak ini berbohong atau tidak karena mereka punya pola tertentu saat diamati secara langsung,” ujar Srimulyani ketika ditemui pada Februari 2022.

Pengajar tak kasat mata

Demi tercapai efektivitas pembelajaran, orang tua memiliki peran penting dalam mendidik anaknya. Orang tua merupakan asisten pengajar tak kasat mata.

Akan tetapi, kenyataannya banyak orang tua yang melempar tanggung jawab bahkan terlalu ikut campur dalam proses pembelajaran. Hal ini sebenarnya sudah menjadi kebiasaan bahkan sebelum dan semasa pandemi. Bedanya, sebelum pandemi, masih bisa terkontrol dan terminimalisasi oleh pengajar, sedangkan jika belajar dari rumah, pasti luput dari pengawasan.

“Ada hal yang juga cukup miris pada saat saya mengisi rapor. Saya sendiri pun bingung harus menulis perkembangan apa pada anak didik. Padahal itu rapor untuk semester genap,” ucap Srimulyani.

Celah teknologi juga kerap terjadi pada masa pembelajaran daring. Tidak hanya murid yang perlu belajar, pengajar pun perlu belajar ekstra untuk menguasai teknologi informasi. Kurangnya minat anak muda dalam mendalami studi ilmu PAUD membuat pengajar kurang optimal dalam proses regenerasinya. Mayoritas pengajar PAUD merupakan orang yang sudah berkeluarga.

Tantangan kali pertama pada masa pandemi adalah penggunaan teknologi yang cukup membingungkan bagi beberapa pengajar. Bagi beberapa instansi yang sudah terbiasa dengan sistem digital, itu tidak terlalu menjadi persoalan. Akan tetapi berbeda dengan instansi yang sejak awal pengajarannya menerapkan sistem manual dan sederhana. Tentu hal ini menghambat proses belajar.

“Sebagian siswa memang ada yang tanpa perlu diajari, mereka sudah lihai dengan metode coba-coba, tapi untuk generasi saya kita butuh kursus dari pengajar yang paling muda,” katanya seraya tersenyum.

Dilansir dari Tanoto Foundation pada pelaksanaan webinar “Proses Belajar-Mengajar PAUD dengan Keterbatasan Teknologi Informasi”, Dr. Muhammad Hasbi, Direktur PAUD, menyatakan bahwa Kemendikbud telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi sistem pembelajaran daring bagi mereka yang masih bisa menjangkau akses internet, yaitu menggunakan aplikasi belajar seperti Anggun PAUD, Sahabat Keluarga, dan aplikasi lainnya.

Cara lain dalam strategi proses belajar mengajar bisa ditempuh, misalnya, dengan mengurangi jumlah murid per kelas. Bila normalnya sekitar 15 anak dikurangi menjadi 10 peserta didik. Tujuannya agar pengajar lebih dapat mengawasi setiap anak didik, mengingat pembelajarannya hanya melalui layar laptop. "Tentu sulit jika dalam jumlah banyak," katanya.

Selain itu, para pengajar juga bisa menggunakan fitur dari berbagai media meeting online, seperti pemisahan ruang kelas sehingga lebih efektif.

Mengingat pendidikan usia dini sangat fundamental, para pemangku kepentingan tidak boleh menutup mata terhadap realitas pendidikan yang kini tengah menghadapi krisis. 

Jika fondasi pendidikan sebuah bangsa mulai keropos namun tetap dipaksakan berjalan tanpa ada perbaikan, suatu hari fondasi tersebut akan runtuh. ***


*Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga, pernah mengajar di PAUD
 

Pewarta : Sandra Junita*
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024