Purwokerto (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penguatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (AMPU-PB) menyayangkan penghentian sementara pembahasan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (RUU PB) oleh DPR RI.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, Koordinator AMPU-PB Catur Sudiro mengatakan bahwa pihaknya sangat menyayangkan harapan besar dari seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan tata kelola penanggulangan bencana harus berhenti karena egosektoral antara eksekutif dan legislatif pada pembahasan RUU PB.
"Meskipun di sela pembahasan RUU tersebut, kami meyakini pemerintah tidak tinggal diam melakukan berbagai upaya penanggulangan bencana, melakukan tindakan penanganan darurat, dan memulihkan kehidupan warga pascabencana," katanya.
Baca juga: Dikunjungi Dubes Jepang, Ganjar ingin kerja sama penanggulangan bencana
Ia mengatakan selama lebih dari satu dekade pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sistem penanggulangan bencana Indonesia berkembang pesat, mapan dan melembaga, serta diakui sebagai sistem yang progresif.
Menurut dia, masyarakat sipil mencatat bahwa pengelolaan risiko masih merupakan narasi formal yang belum menjadi gaya hidup serta kerancuan kelembagaan dan hubungan pusat/daerah yang harus diperbaiki.
Selain itu, kata dia, perlu adanya penguatan kelembagaan, tanggap darurat yang perlu lebih trengginas, keterlibatan masyarakat yang lebih inklusif dan bermakna, serta perlunya pengakuan eksplisit tentang peran organisasi kemasyarakatan dalam penanggulangan bencana.
"Kita sebagai bangsa mengetahui persis bahwa kejadian bencana yang beruntun di sepanjang 2021 dan awal 2022 begitu sangat memprihatinkan dan membutuhkan pengelolaan risiko bencana yang utuh dan paripurna demi melindungi seluruh warga negara dari risiko bencana," katanya.
Catur menyebutkan sepanjang 2021 telah terjadi terjadi 5.402 kejadian bencana, dan 99,5 persen dari kejadian sepanjang tahun 2021 merupakan bencana hidrometeorologi.
Sejalan dengan amanat Presiden pada saat Rakornas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kata dia, Presiden Joko Widodo menekankan penanggulangan bencana yang berorientasi pencegahan, infrastruktur yang tangguh, pembangunan yang berorientasi tangguh bencana, dan edukasi bencana yang berkelanjutan.
"AMPU-PB memandang pengelolaan risiko bencana yang utuh dan dilaksanakan secara disiplin dan konsisten oleh lintas sektor inilah yang dapat mewujudkan Indonesia yang tangguh bencana pada 2044," katanya.
Belajar pada pelaksanaan penanggulangan bencana, tinjauan terhadap pembahasan RUU PB, serta perkembangan diskursus dunia tentang penanggulangan bencana maka AMPU-PB menuntut janji DPR RI dan Pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan RUU PB serta mengusulkan adanya paradigma pengelolaan risiko bencana yang matang dan mutakhir.
Selain itu, kata dia, AMPU-PB juga mengusulkan adanya badan koordinasi dan pelaksana yang mumpuni dalam hal penanggulangan bencana serta pendanaan yang kuat dan akuntabel.
"Paradigma mutakhir manajemen bencana adalah pengurangan risiko, baik risiko pada kematian dan korban jiwa, risiko materi dan finansial, serta risiko kerusakan fisik dan infrastruktur," katanya.
Menurut dia, risiko dapat dikurangi melalui penguatan kapasitas dan pengurangan kerentanan masyarakat dengan menerapkan tata kelola risiko bencana, yaitu mencegah timbulnya risiko bencana, mengurangi risiko yang ada, mengelola dan merespons risiko yang tersisa serta berpotensi menjadi bahaya dan bencana, termasuk risiko pembangunan.
Ia mengatakan bahwa pola kerja harus menghapus model kerja terpotong-potong seperti yang saat ini terjadi, tidak lagi saling menunggu kejadian bencana semisal bidang rehabilitasi dan rekonstruksi bekerja setelah kejadian bencana.
Dalam sejumlah pemberitaan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syaszily mengatakan bahwa pembahasan RUU PB dihentikan sementara karena DPR RI dan pemerintah tidak kunjung sepakat terkait dengan kelembagaan BNPB dan BPBD.
Dikatakan pula bahwa BNPB dan BPBD sudah seharusnya diperkuat untuk hadapi segala permasalahan kebencanaan yang ada di Indonesia karena berada di kawasan potensi rawan bencana alam.
"Salah satunya agar BNPB memiliki fungsi komando, koordinasi, dan pelaksana yang kuat dalam penanganan bencana," katanya di Jakarta, Jumat (18/2).
Baca juga: Bupati Banyumas cek kesiapsiagaan hadapi bencana alam semasa pandemi
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, Koordinator AMPU-PB Catur Sudiro mengatakan bahwa pihaknya sangat menyayangkan harapan besar dari seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan tata kelola penanggulangan bencana harus berhenti karena egosektoral antara eksekutif dan legislatif pada pembahasan RUU PB.
"Meskipun di sela pembahasan RUU tersebut, kami meyakini pemerintah tidak tinggal diam melakukan berbagai upaya penanggulangan bencana, melakukan tindakan penanganan darurat, dan memulihkan kehidupan warga pascabencana," katanya.
Baca juga: Dikunjungi Dubes Jepang, Ganjar ingin kerja sama penanggulangan bencana
Ia mengatakan selama lebih dari satu dekade pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sistem penanggulangan bencana Indonesia berkembang pesat, mapan dan melembaga, serta diakui sebagai sistem yang progresif.
Menurut dia, masyarakat sipil mencatat bahwa pengelolaan risiko masih merupakan narasi formal yang belum menjadi gaya hidup serta kerancuan kelembagaan dan hubungan pusat/daerah yang harus diperbaiki.
Selain itu, kata dia, perlu adanya penguatan kelembagaan, tanggap darurat yang perlu lebih trengginas, keterlibatan masyarakat yang lebih inklusif dan bermakna, serta perlunya pengakuan eksplisit tentang peran organisasi kemasyarakatan dalam penanggulangan bencana.
"Kita sebagai bangsa mengetahui persis bahwa kejadian bencana yang beruntun di sepanjang 2021 dan awal 2022 begitu sangat memprihatinkan dan membutuhkan pengelolaan risiko bencana yang utuh dan paripurna demi melindungi seluruh warga negara dari risiko bencana," katanya.
Catur menyebutkan sepanjang 2021 telah terjadi terjadi 5.402 kejadian bencana, dan 99,5 persen dari kejadian sepanjang tahun 2021 merupakan bencana hidrometeorologi.
Sejalan dengan amanat Presiden pada saat Rakornas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kata dia, Presiden Joko Widodo menekankan penanggulangan bencana yang berorientasi pencegahan, infrastruktur yang tangguh, pembangunan yang berorientasi tangguh bencana, dan edukasi bencana yang berkelanjutan.
"AMPU-PB memandang pengelolaan risiko bencana yang utuh dan dilaksanakan secara disiplin dan konsisten oleh lintas sektor inilah yang dapat mewujudkan Indonesia yang tangguh bencana pada 2044," katanya.
Belajar pada pelaksanaan penanggulangan bencana, tinjauan terhadap pembahasan RUU PB, serta perkembangan diskursus dunia tentang penanggulangan bencana maka AMPU-PB menuntut janji DPR RI dan Pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan RUU PB serta mengusulkan adanya paradigma pengelolaan risiko bencana yang matang dan mutakhir.
Selain itu, kata dia, AMPU-PB juga mengusulkan adanya badan koordinasi dan pelaksana yang mumpuni dalam hal penanggulangan bencana serta pendanaan yang kuat dan akuntabel.
"Paradigma mutakhir manajemen bencana adalah pengurangan risiko, baik risiko pada kematian dan korban jiwa, risiko materi dan finansial, serta risiko kerusakan fisik dan infrastruktur," katanya.
Menurut dia, risiko dapat dikurangi melalui penguatan kapasitas dan pengurangan kerentanan masyarakat dengan menerapkan tata kelola risiko bencana, yaitu mencegah timbulnya risiko bencana, mengurangi risiko yang ada, mengelola dan merespons risiko yang tersisa serta berpotensi menjadi bahaya dan bencana, termasuk risiko pembangunan.
Ia mengatakan bahwa pola kerja harus menghapus model kerja terpotong-potong seperti yang saat ini terjadi, tidak lagi saling menunggu kejadian bencana semisal bidang rehabilitasi dan rekonstruksi bekerja setelah kejadian bencana.
Dalam sejumlah pemberitaan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syaszily mengatakan bahwa pembahasan RUU PB dihentikan sementara karena DPR RI dan pemerintah tidak kunjung sepakat terkait dengan kelembagaan BNPB dan BPBD.
Dikatakan pula bahwa BNPB dan BPBD sudah seharusnya diperkuat untuk hadapi segala permasalahan kebencanaan yang ada di Indonesia karena berada di kawasan potensi rawan bencana alam.
"Salah satunya agar BNPB memiliki fungsi komando, koordinasi, dan pelaksana yang kuat dalam penanganan bencana," katanya di Jakarta, Jumat (18/2).
Baca juga: Bupati Banyumas cek kesiapsiagaan hadapi bencana alam semasa pandemi