Jakarta (ANTARA) - Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach mengatakan tidak boleh ada satu pun atlet yang melakukan "demonstrasi politik" atau mengungkapkan pandangan pribadi mereka di podium saat menerima medali Olimpiade Tokyo.
IOC bulan ini melonggarkan Aturan 50, yang sebelumnya melarang atlet melakukan protes dalam bentuk apapun, dengan mengizinkan mereka untuk melakukan gerakan di lapangan, asalkan tidak mengganggu dan menghormati sesama kompetitor.
Namun, ancaman sanksi tetap ada jika sampai terjadi aksi unjuk rasa di podium selama berlangsungnya Olimpiade, yang akan digelar pada 23 Juli-8 Agustus.
"Podium dan upacara penerimaan medali tidak dibuat ... untuk demonstrasi politik atau lainnya," kata Bach dikutip dari Reuters, Jumat.
"Podium dan upacara tersebut dibuat untuk menghormati para atlet dan pemenang medali atas prestasi olahraga, bukan (pandangan) pribadi mereka.
"Misinya adalah menyatukan seluruh dunia di satu tempat dan bersaing secara damai satu sama lain. Ini tidak akan pernah terjadi jika Olimpiade terpecah belah," tambahnya.
Baca juga: IOC larang atlet lakukan aksi protes saat Olimpiade Tokyo berlangsung
Baca juga: Atlet aktivis bersiap jajal aturan anti-protes dalam Olimpiade
Sementara protes atlet saat Olimpiade jarang terjadi, pada Olimpiade Meksiko 1968, sprinter kulit hitam asal AS Tommie Smith dan John Carlos diusir setelah mereka menundukkan kepala dan mengangkat tinju bersarung tangan hitam di podium untuk memprotes ketidaksetaraan rasial.
Pada Olimpiade Rio 2016, pelari maraton Ethiopia Feyisa Lilesa mengangkat tangannya dan menyilangkan pergelangan tangannya saat melintasi garis finis untuk menunjukkan dukungannya terhadap protes suku Oromo atas rencana pemerintah merelokasi lahan pertanian.
Pelatih sepak bola putri Inggris Hege Riise, Kamis (15/7) kemarin, mengatakan para pemainnya akan berlutut sebelum pertandingan di Olimpiade Tokyo untuk meningkatkan kesadaran tentang rasisme dan segala bentuk diskriminasi.
Gerakan berlutut merupakan bentuk protes yang pertama kali dilakukan oleh mantan quarterback liga American Football (NFL) Colin Kaepernick, dan kemudian diikuti oleh gerakan masal Black Lives Matter.
Baca juga: India protes aturan Olimpiade Tokyo "tidak adil"
Baca juga: Amerika tidak hukum atlet karena aksi protes rasial di Olimpiade
Baca juga: FIFPro bersumpah bela atlet yang protes politik pada Olimpiade
IOC bulan ini melonggarkan Aturan 50, yang sebelumnya melarang atlet melakukan protes dalam bentuk apapun, dengan mengizinkan mereka untuk melakukan gerakan di lapangan, asalkan tidak mengganggu dan menghormati sesama kompetitor.
Namun, ancaman sanksi tetap ada jika sampai terjadi aksi unjuk rasa di podium selama berlangsungnya Olimpiade, yang akan digelar pada 23 Juli-8 Agustus.
"Podium dan upacara penerimaan medali tidak dibuat ... untuk demonstrasi politik atau lainnya," kata Bach dikutip dari Reuters, Jumat.
"Podium dan upacara tersebut dibuat untuk menghormati para atlet dan pemenang medali atas prestasi olahraga, bukan (pandangan) pribadi mereka.
"Misinya adalah menyatukan seluruh dunia di satu tempat dan bersaing secara damai satu sama lain. Ini tidak akan pernah terjadi jika Olimpiade terpecah belah," tambahnya.
Baca juga: IOC larang atlet lakukan aksi protes saat Olimpiade Tokyo berlangsung
Baca juga: Atlet aktivis bersiap jajal aturan anti-protes dalam Olimpiade
Sementara protes atlet saat Olimpiade jarang terjadi, pada Olimpiade Meksiko 1968, sprinter kulit hitam asal AS Tommie Smith dan John Carlos diusir setelah mereka menundukkan kepala dan mengangkat tinju bersarung tangan hitam di podium untuk memprotes ketidaksetaraan rasial.
Pada Olimpiade Rio 2016, pelari maraton Ethiopia Feyisa Lilesa mengangkat tangannya dan menyilangkan pergelangan tangannya saat melintasi garis finis untuk menunjukkan dukungannya terhadap protes suku Oromo atas rencana pemerintah merelokasi lahan pertanian.
Pelatih sepak bola putri Inggris Hege Riise, Kamis (15/7) kemarin, mengatakan para pemainnya akan berlutut sebelum pertandingan di Olimpiade Tokyo untuk meningkatkan kesadaran tentang rasisme dan segala bentuk diskriminasi.
Gerakan berlutut merupakan bentuk protes yang pertama kali dilakukan oleh mantan quarterback liga American Football (NFL) Colin Kaepernick, dan kemudian diikuti oleh gerakan masal Black Lives Matter.
Baca juga: India protes aturan Olimpiade Tokyo "tidak adil"
Baca juga: Amerika tidak hukum atlet karena aksi protes rasial di Olimpiade
Baca juga: FIFPro bersumpah bela atlet yang protes politik pada Olimpiade