Semarang (ANTARA) - Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Profesor Faisal Santiago menyatakan terlalu banyak aturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak efektif dalam penggunaan dan penerapannya.
"Sebenarnya yang penting adalah hasil akhirnya bagaimana tindak pidana korupsi menurun dan tidak ada lagi di Indonesia," kata Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu.
Guru Besar Hukum Unbor ini mengemukakan hal itu terkait dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Di dalam RUU KUHP Pasal 603 menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI (Rp2 miliar).
Disebutkan pula dalam Pasal 604 bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.
"Kalau di KUHP sudah diatur dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga mengaturnya, menjadi tidak efektif dalam penggunaan dan penerapannya," tutur Prof. Faisal Santiago.
Ia lantas menyebutkan sejumlah aturan mengenai korupsi, antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sebelumnya, pada tahun yang sama, terdapat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Sebenarnya yang penting adalah hasil akhirnya bagaimana tindak pidana korupsi menurun dan tidak ada lagi di Indonesia," kata Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu.
Guru Besar Hukum Unbor ini mengemukakan hal itu terkait dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Di dalam RUU KUHP Pasal 603 menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI (Rp2 miliar).
Disebutkan pula dalam Pasal 604 bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.
"Kalau di KUHP sudah diatur dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga mengaturnya, menjadi tidak efektif dalam penggunaan dan penerapannya," tutur Prof. Faisal Santiago.
Ia lantas menyebutkan sejumlah aturan mengenai korupsi, antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sebelumnya, pada tahun yang sama, terdapat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.