Semarang (ANTARA) - Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Doktor Pratama Persadha mengingatkan netizen berpikir dahulu sebelum memainkan jari untuk menulis pesan di dunia maya dengan tetap menjaga kesopanan.
"Pasalnya, hasil riset Microsoft menyebutkan tingkat kesopanan netizen Indonesia terendah di Asia Tenggara," kata Pratama Persadha melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Kamis, dalam rangka Hari Media Sosial yang diperingati setiap 10 Juni sejak 2015.
Berdasarkan riset Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara, atau lebih baik daripada warganet Meksiko.
Netizen Indonesia dianggap tidak sopan di dunia maya, menurut Pratama, karena tidak ada edukasi sejak dini dari negara. Pada kurikulum pendidikan, misalnya, tidak ada yang mengajarkan bagaimana berinternet yang sehat, aman, dan produktif.
"Yang ada adalah norma budaya dan agama, tentunya tidak cukup. Apalagi, para orang tua, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama ini 'kan bukan native digital, mereka tidak mengenal lebih dalam dunia digital," katanya.
Ia mengutarakan bahwa negara tidak bisa sendiri, masyarakat, kampus, dan pegiat siber harus berperan serta mengedukasi anak bangsa ini di berbagai lapisan.
"Ini penting karena pendekatan peningkatan berinternet yang positif dan sehat harus berjalan top down maupun bottom up," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Apalagi, kata Pratama, saat ini pengguna internet kian melesat, sebanyak 202 juta atau sekitar 73 persen dari total jiwa penduduk Indonesia.
Begitu juga dengan pemakai media sosial di Indonesia, berdasarkan data dari We Are Social pada bulan Januari 2021 mencapai 170 juta orang.
Ia menyebutkan pemakaian paling banyak saat ini adalah YouTube dengan jumlah 93 persen dari total pengguna media sosial.
Pasalnya, kata dia, karena saat membeli ponsel android, sudah otomatis terinstal YouTube. Urutan berikutnya, Instagram 86 persen dan Facebook 85 persen.
Ada pula aplikasi perpesanan yang paling banyak digunakan, yaitu WhatsApp yang masih merajai sebanyak 87 persen, disusul Facebook Messenger dan Line.
PR Pemerintah
Pekerjaan rumah (PR) untuk pemerintah, lanjut Pratama, harus membuat media sosial lokal sehingga negara tidak tergantung dan tidak mudah ditekan oleh medsos asing.
"Pemerintah mesti menyiapkan sumber daya untuk mewujudkannya. Hal ini penting dalam jangka panjang untuk kepentingan nasional," kata Pratama yang juga dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Menurut dia, seharusnya pemerintah bisa membuat regulasi agar negara segera membangun media sosial nasional, buatan dalam negeri yang khusus untuk masyarakat Indonesia. Hal ini agar memudahkan pengawasan sekaligus menjadi aplikasi substitusi bagi media sosial populer.
"Tanpa memiliki aplikasi medsos substitusi, sulit kiranya bagi negara untuk menarik pajak yang pantas bagi Facebook, Google, dan media sosial lainnya," kata pakar keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini.
Kasus Google dan Facebook, misalnya, harus dikenai pajak yang tinggi oleh Pemerintah karena kedua medsos ini sudah banyak menarik uang dari masyarakat Indonesia untuk keperluan beriklan di platform tersebut.
Pratama lantas menyarankan pemerintah berpihak juga pada pengembangan produk teknologi lokal, seperti janji Presiden RI Joko Widodo, dengan membangun 1.000 startup baru, termasuk salah satunya membuat startup pada platform medsos dan aplikasi perpesanan.
Dengan demikian, kata Pratama, pemerintah gampang menarik pajak dan menegakkan hukum ketika platform asing melanggar hukum di Indonesia.
"Pasalnya, hasil riset Microsoft menyebutkan tingkat kesopanan netizen Indonesia terendah di Asia Tenggara," kata Pratama Persadha melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Kamis, dalam rangka Hari Media Sosial yang diperingati setiap 10 Juni sejak 2015.
Berdasarkan riset Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara, atau lebih baik daripada warganet Meksiko.
Netizen Indonesia dianggap tidak sopan di dunia maya, menurut Pratama, karena tidak ada edukasi sejak dini dari negara. Pada kurikulum pendidikan, misalnya, tidak ada yang mengajarkan bagaimana berinternet yang sehat, aman, dan produktif.
"Yang ada adalah norma budaya dan agama, tentunya tidak cukup. Apalagi, para orang tua, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama ini 'kan bukan native digital, mereka tidak mengenal lebih dalam dunia digital," katanya.
Ia mengutarakan bahwa negara tidak bisa sendiri, masyarakat, kampus, dan pegiat siber harus berperan serta mengedukasi anak bangsa ini di berbagai lapisan.
"Ini penting karena pendekatan peningkatan berinternet yang positif dan sehat harus berjalan top down maupun bottom up," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Apalagi, kata Pratama, saat ini pengguna internet kian melesat, sebanyak 202 juta atau sekitar 73 persen dari total jiwa penduduk Indonesia.
Begitu juga dengan pemakai media sosial di Indonesia, berdasarkan data dari We Are Social pada bulan Januari 2021 mencapai 170 juta orang.
Ia menyebutkan pemakaian paling banyak saat ini adalah YouTube dengan jumlah 93 persen dari total pengguna media sosial.
Pasalnya, kata dia, karena saat membeli ponsel android, sudah otomatis terinstal YouTube. Urutan berikutnya, Instagram 86 persen dan Facebook 85 persen.
Ada pula aplikasi perpesanan yang paling banyak digunakan, yaitu WhatsApp yang masih merajai sebanyak 87 persen, disusul Facebook Messenger dan Line.
PR Pemerintah
Pekerjaan rumah (PR) untuk pemerintah, lanjut Pratama, harus membuat media sosial lokal sehingga negara tidak tergantung dan tidak mudah ditekan oleh medsos asing.
"Pemerintah mesti menyiapkan sumber daya untuk mewujudkannya. Hal ini penting dalam jangka panjang untuk kepentingan nasional," kata Pratama yang juga dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Menurut dia, seharusnya pemerintah bisa membuat regulasi agar negara segera membangun media sosial nasional, buatan dalam negeri yang khusus untuk masyarakat Indonesia. Hal ini agar memudahkan pengawasan sekaligus menjadi aplikasi substitusi bagi media sosial populer.
"Tanpa memiliki aplikasi medsos substitusi, sulit kiranya bagi negara untuk menarik pajak yang pantas bagi Facebook, Google, dan media sosial lainnya," kata pakar keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini.
Kasus Google dan Facebook, misalnya, harus dikenai pajak yang tinggi oleh Pemerintah karena kedua medsos ini sudah banyak menarik uang dari masyarakat Indonesia untuk keperluan beriklan di platform tersebut.
Pratama lantas menyarankan pemerintah berpihak juga pada pengembangan produk teknologi lokal, seperti janji Presiden RI Joko Widodo, dengan membangun 1.000 startup baru, termasuk salah satunya membuat startup pada platform medsos dan aplikasi perpesanan.
Dengan demikian, kata Pratama, pemerintah gampang menarik pajak dan menegakkan hukum ketika platform asing melanggar hukum di Indonesia.