Semarang (ANTARA) - Informasi yang berubah-ubah terkait satu kebijakan menghasilkan kebingungan dalam pelaksanaan pencegahan penyebaran COVID-19 menjelang Idul Fitri 1442 Hijriah sehingga pola komunikasi harus segera diperbaiki untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan tersebut.
"Pada pelaksanaan kebijakan larangan mudik, para pemangku kepentingan harus segera memperbaiki pola komunikasi agar tidak membingungkan pelaksana di lapangan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Senin (10/5).
Pada saat menerapkan kebijakan larangan mudik, pemerintah pusat sebelumnya memperbolehkan pergerakan orang di wilayah Jabodetabek, namun di hari berikutnya Satgas COVID-19 menyatakan bahwa larangan mudik juga berlaku bagi warga di wilayah aglomerasi atau pemusatan kawasan tertentu seperti Jabodetabek.
Menurut Lestari, penyampaian informasi yang berubah-ubah dalam rentang waktu yang singkat dan berkaitan dengan pengaturan orang banyak, cenderung menciptakan kebingungan di masyarakat.
Lebih parah lagi, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, informasi yang disampaikan berubah-ubah tersebut berpotensi diabaikan oleh masyarakat.
Bukan hanya masyarakat, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, para pelaksana kebijakan tersebut di lapangan juga ikut kebingungan menyikapi informasi yang berubah-ubah.
Akibatnya, ujar Rerie, para pemangku kepentingan di daerah merespon kebijakan pemerintah pusat itu dengan beragam pula, sesuai dengan kemampuan setiap daerah.
Padahal, tegasnya, salah satu tahapan penting dalam pengendalian penyebaran COVID-19 adalah pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan.
Dengan informasi kebijakan yang berubah-ubah, tambah Rerie, pelaksanaan pencegahan penyebaran COVID-19 di lapangan pun tidak maksimal.
Rerie berharap, para pemangku kepentingan mengkaji kebijakan yang akan diterapkan secara mendalam, sebelum diumumkan kepada publik.
Komunikasi kebijakan tersebut, jelasnya, mesti tegas, jelas dan terarah sehingga implementasi kebijakan berjalan maksimal.
Selain itu, ujar Rerie, komunikasi publik juga seharusnya dua arah, sehingga kebijakan bisa dipahami, ditaati publik dan bersifat mengikat.
Informasi kebijakan yang berubah-ubah, ujarnya, menimbulkan kesan tidak ada perencanaan yang matang dalam melahirkan kebijakan pengendalian COVID-19 di Tanah Air.
Padahal, jelas Rerie, potensi pergerakan orang di masa jelang dan pasca-Lebaran tahun ini diperkirakan masih cukup tinggi.
Hasil survei Kementerian Perhubungan, tambahnya, menunjukkan bahwa 18 juta orang atau sekitar 7 persen dari masyarakat akan tetap mudik meski ada kebijakan larangan mudik Lebaran 2021 atau Idul Fitri 1442 H.***
"Pada pelaksanaan kebijakan larangan mudik, para pemangku kepentingan harus segera memperbaiki pola komunikasi agar tidak membingungkan pelaksana di lapangan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Senin (10/5).
Pada saat menerapkan kebijakan larangan mudik, pemerintah pusat sebelumnya memperbolehkan pergerakan orang di wilayah Jabodetabek, namun di hari berikutnya Satgas COVID-19 menyatakan bahwa larangan mudik juga berlaku bagi warga di wilayah aglomerasi atau pemusatan kawasan tertentu seperti Jabodetabek.
Menurut Lestari, penyampaian informasi yang berubah-ubah dalam rentang waktu yang singkat dan berkaitan dengan pengaturan orang banyak, cenderung menciptakan kebingungan di masyarakat.
Lebih parah lagi, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, informasi yang disampaikan berubah-ubah tersebut berpotensi diabaikan oleh masyarakat.
Bukan hanya masyarakat, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, para pelaksana kebijakan tersebut di lapangan juga ikut kebingungan menyikapi informasi yang berubah-ubah.
Akibatnya, ujar Rerie, para pemangku kepentingan di daerah merespon kebijakan pemerintah pusat itu dengan beragam pula, sesuai dengan kemampuan setiap daerah.
Padahal, tegasnya, salah satu tahapan penting dalam pengendalian penyebaran COVID-19 adalah pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan.
Dengan informasi kebijakan yang berubah-ubah, tambah Rerie, pelaksanaan pencegahan penyebaran COVID-19 di lapangan pun tidak maksimal.
Rerie berharap, para pemangku kepentingan mengkaji kebijakan yang akan diterapkan secara mendalam, sebelum diumumkan kepada publik.
Komunikasi kebijakan tersebut, jelasnya, mesti tegas, jelas dan terarah sehingga implementasi kebijakan berjalan maksimal.
Selain itu, ujar Rerie, komunikasi publik juga seharusnya dua arah, sehingga kebijakan bisa dipahami, ditaati publik dan bersifat mengikat.
Informasi kebijakan yang berubah-ubah, ujarnya, menimbulkan kesan tidak ada perencanaan yang matang dalam melahirkan kebijakan pengendalian COVID-19 di Tanah Air.
Padahal, jelas Rerie, potensi pergerakan orang di masa jelang dan pasca-Lebaran tahun ini diperkirakan masih cukup tinggi.
Hasil survei Kementerian Perhubungan, tambahnya, menunjukkan bahwa 18 juta orang atau sekitar 7 persen dari masyarakat akan tetap mudik meski ada kebijakan larangan mudik Lebaran 2021 atau Idul Fitri 1442 H.***