Semarang (ANTARA) - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyebut bakal terjadi irisan tahapan pemilu anggota legislatif, pemilu presiden, dan kepala daerah bila pemungutan suara pileg dan pilpres pada bulan April 2024.
"Meski pemungutan suara pilkada pada bulan November 2024 tidak berbarengan dengan pemungutan suara pemilu anggota legislatif (pileg) dan pilpres," kata Titi Anggraini dalam percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Selasa.
Ia mengemukakan bahwa pada saat pungut hitung dan rekap suara pileg/pipres (April—Mei 2024) beririsan waktu dengan pembentukan panitia pemungutan suara (PPS) pilkada, pemutakhiran data pemilih, penyerahan dukungan, dan penelitian administrasi pencalonan perseorangan.
Baca juga: Perlu menakar kemampuan KPPS dalam pemilu borongan
Menurut Titi yang juga Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, beban berat tidak hanya bagi penyelenggara, tetapi juga pada peserta (partai politik dan perseorangan) dan pemilih.
Di sisi lain, kata Titi, desain penjadwalan pilkada dan pemilu tidak sejalan dengan desain kelembagaan penyelenggara pemilu. Masalahnya, pelaksanaan pilkada dan pemilu pada tahun yang sama hanya ada satu kali aktivitas aktif kepemiluan.
Namun, kelembagaan penyelenggara pemilu permanen sampai kabupaten/kota selama 5 tahun. Padahal, penyelenggara pemilu ini ada untuk menyelenggarakan pemilu.
"Kalau tidak ada aktivitas yang relevan dan signifikan, apakah masih diperlukan sifat lembaga yang peramanen? Hal ini justru membebani keuangan negara dan tidak sejalan dengan asas pemilu efektif dan efisien," kata Titi.
Pada Pemilu 2019, misalnya, terdapat lima kotak, yakni presiden/wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Rerata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), kata Titi, sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari-H pemilihan, serta adanya kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan berkontribusi pada kelelahan petugas yang berakibat kematian.
Ia menyebutkan hasil analisis Fisipol UGM pada bulan Juni 2019 terkait dengan median beban kerja petugas pemilu berkisar antara 20 jam dan 22 jam pada hari-H pelaksanaan pemilu.
Berikutnya, 7,5—11 jam untuk mempersiapkan tempat pemungutan suara (TPS), dan 8—48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.
Akibat dominasi pilpres, lanjut Titi, membuat pemilu anggota legislatif tidak mendapatkan perhatian yang sepadan dari pemilih, khususnya pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan DPRD.
"Isu lokal tenggelam oleh isu nasional dalam penjangkauan pemilih dan diskursus kepemiluan," kata Titi.
Selain itu, meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD karena pemilih yang kebingungan akibat kompleksitas pemilihan yang berjalan.
Hal lain, sosialisasi dan pendidikan kepemiluan tidak optimal karena isu yang terlalu banyak dan berkelindan satu sama lain. Pemilih pun kebingungan akhirnya perhatian terfokus pada pilpres.
Ia menilai pada Pemilu 2019 terjadi penurunan kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu.
Di samping itu, logistik pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi.
"Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya jumlah kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara, dan lain-lain," kata Titi.
Baca juga: Zuhro: Pemilu dan pilkada tak seharusnya disatukan
Baca juga: Akademikus nilai revisi UU Pemilu tidak mendesak dilakukan
"Meski pemungutan suara pilkada pada bulan November 2024 tidak berbarengan dengan pemungutan suara pemilu anggota legislatif (pileg) dan pilpres," kata Titi Anggraini dalam percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Selasa.
Ia mengemukakan bahwa pada saat pungut hitung dan rekap suara pileg/pipres (April—Mei 2024) beririsan waktu dengan pembentukan panitia pemungutan suara (PPS) pilkada, pemutakhiran data pemilih, penyerahan dukungan, dan penelitian administrasi pencalonan perseorangan.
Baca juga: Perlu menakar kemampuan KPPS dalam pemilu borongan
Menurut Titi yang juga Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, beban berat tidak hanya bagi penyelenggara, tetapi juga pada peserta (partai politik dan perseorangan) dan pemilih.
Di sisi lain, kata Titi, desain penjadwalan pilkada dan pemilu tidak sejalan dengan desain kelembagaan penyelenggara pemilu. Masalahnya, pelaksanaan pilkada dan pemilu pada tahun yang sama hanya ada satu kali aktivitas aktif kepemiluan.
Namun, kelembagaan penyelenggara pemilu permanen sampai kabupaten/kota selama 5 tahun. Padahal, penyelenggara pemilu ini ada untuk menyelenggarakan pemilu.
"Kalau tidak ada aktivitas yang relevan dan signifikan, apakah masih diperlukan sifat lembaga yang peramanen? Hal ini justru membebani keuangan negara dan tidak sejalan dengan asas pemilu efektif dan efisien," kata Titi.
Pada Pemilu 2019, misalnya, terdapat lima kotak, yakni presiden/wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Rerata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), kata Titi, sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari-H pemilihan, serta adanya kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan berkontribusi pada kelelahan petugas yang berakibat kematian.
Ia menyebutkan hasil analisis Fisipol UGM pada bulan Juni 2019 terkait dengan median beban kerja petugas pemilu berkisar antara 20 jam dan 22 jam pada hari-H pelaksanaan pemilu.
Berikutnya, 7,5—11 jam untuk mempersiapkan tempat pemungutan suara (TPS), dan 8—48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.
Akibat dominasi pilpres, lanjut Titi, membuat pemilu anggota legislatif tidak mendapatkan perhatian yang sepadan dari pemilih, khususnya pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan DPRD.
"Isu lokal tenggelam oleh isu nasional dalam penjangkauan pemilih dan diskursus kepemiluan," kata Titi.
Selain itu, meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD karena pemilih yang kebingungan akibat kompleksitas pemilihan yang berjalan.
Hal lain, sosialisasi dan pendidikan kepemiluan tidak optimal karena isu yang terlalu banyak dan berkelindan satu sama lain. Pemilih pun kebingungan akhirnya perhatian terfokus pada pilpres.
Ia menilai pada Pemilu 2019 terjadi penurunan kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu.
Di samping itu, logistik pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi.
"Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya jumlah kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara, dan lain-lain," kata Titi.
Baca juga: Zuhro: Pemilu dan pilkada tak seharusnya disatukan
Baca juga: Akademikus nilai revisi UU Pemilu tidak mendesak dilakukan