Semarang (ANTARA) - Betapa melelahkan jika Pemilu Presiden/Wakil Presiden, pemilihan kepala daerah, serta pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten disatukan. Apalagi, peserta pemilihan kepala daerah lebih dari dua pasangan calon (paslon).

Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah, 27 Juni 2018, misalnya, yang diikuti dua paslon: Ganjar Pranowo-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziyah, penghitungan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 07, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Semarang, sampai pukul 19.00 WIB.

Tujuh anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), menurut Hadiyanto, S.H. yang pernah sebagai ketua KPPS di TPS 07 pada Pilgub Jawa Tengah 2018, tidaklah cukup untuk menghitung suara hasil pilpres, pilkada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilu anggota legislatif, mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat.

Baca juga: Zuhro: Pemilu dan pilkada tak seharusnya disatukan

Ditambah lagi, jika pemilu anggota legislatif diikuti banyak partai politik. Dengan jumlah anggota KPPS sebanyak itu, tidak cukup sehari untuk menghitung hasil pemilu nasional dan lokal.

Hadiyanto lantas menyarankan agar pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR) untuk memisahkan antara pilpres dan pemilu anggota legislatif, atau tidak pada hari yang sama, seperti Pemilu 2019.

Alumnus Fakultas Universitas Diponegoro ini mengemukakan hal itu karena yang bersangkutan pernah sebagai ketua KPPS di TPS 12 pada Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota DPR, Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah, dan Pemilu DPRD Semarang 2019.

Pada Pemilu 2019 yang diikuti 14 parpol dan dua peserta pilpres, KPPS menghitung hasil pemilu itu hingga tengah malam. Hal ini tentunya cukup menguras energi dan pikiran bagi Hadiyanto dan anggota KPPS di TPS 12, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Semarang kala itu.

Bahkan, pada pemilu serentak itu, sebagaimana data KPU, tercatat 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dan 5.175 petugas jatuh sakit. Pesta demokrasi yang memakan korban jiwa ini jangan sampai terulang kembali pada pemilu-pemilu berikutnya.

Apalagi, asumsi-asumsi positif dalam Pemilu Serentak 2019 dan alasan efisiensi, menurut Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R. Siti Zuhro, tidak terbukti.

Oleh karena itu, Prof. Siti Zuhro berpendapat bahwa pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tidak seharusnya disatukan menjadi pemilu borongan pada tahun 2024.

Tidak Realistis
Mengapa? Selain hal itu tidak realistis, juga terkesan trial and error yang tak mempertimbangkan dampak-dampak negatif Pemilu Serentak 2019 dan pilkada serentak yang digelar sejak 2015.

Dalam diskusi secara virtual bertajuk Pemilu dan Pilkada 2024: Reaslistiskah?, Minggu (7/2), dia mengutarakan bahwa "pemilu borongan" ini juga bertentangan dengan pola pikir dan cultural set new normal yang mensyaratkan desain pemilu/pilkada yang rasional, berkualitas, dan berdampak positif terhadap pemerintahan sehingga tidak menimbulkan tata kelola yang buruk (bad governance) atau pemerintahan yang terbelah (divided government).

Merancang pemilu dan pilkada perlu pula mempertimbangkan filosofi, teks, dan konteks Indonesia. Jadi, pemilu/pilkada tidak boleh sekadar mengedepankan keserentakannya saja, tetapi juga kualitasnya.

Pada sisi lain, uji coba desain pemilu/pilkada tak hanya tidak menguntungkan, tetapi membuat Indonesia merugi karena peta jalan yang terbangun acak dan tidak terukur.

Selain itu, dilihat dari beberapa aspek lainnya, tampaknya tak juga menjanjikan, seperti tata kelola, partisipasi masyarakat (kualitas pemilih dalam memilih), kompetisi dan kontestasi (adil, setara), profesionalitas/kapasitas penyelenggara dalam menyelenggarakan pemilu/pilkada, dan kualitas pemilu/pilkada.

Di tengah pro dan kontra RUU Pemilu, muncul pula wacana mendahulukan pemilu presiden dengan parliamentary threshold pilpres nol persen. Kalaupun diterapkan, menurut Zuhro, persentase kecil saja. Soal paslon, tetap diajukan parpol yang ada di DPR.

Diskursus yang mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah adalah pelaksanaan sesuai dengan jadwal, yaitu pada 2022 sebanyak 101 daerah.

Begitu pula, dengan rencana Pilkada 2023 sebanyak 170 daerah, sebaiknya disatukan pada Pilkada Serentak 2022. Dengan demikian, totalnya menjadi 271 daerah.

Hal yang patut mendapat perhatian semua pemangku kepentingan dalam pesta demokrasi ini adalah ada jeda menjelang pemilu anggota legislatif dan Pilpres 2024 agar semua proses tahapan lebih rapi disiapkan sampai terjadinya pencoblosan dan pengumuman hasilnya.

Degradasi Mental
Apa yang bakal terjadi jika pemilu bersamaan dengan Pilkada 2024? Pertanyaan ini lantas dijawab oleh peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramitha.

Peneliti JPPR ini khawatir aparat penyelenggara berpotensi mengalami degradasi mental dan kegagalan kinerja akibat mekanisme kerja borongan yang rumit dan rentan kecurangan, bahkan berisiko pada kematian dan ancaman pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Selain itu, pemilih berpotensi tidak cermat dalam melakukan pemetaan calon yang akan dipilih karena dilakukan dalam satu waktu. Pemilih pemula dan pemilih perempuan, menurut Nurlia, cenderung mengalami kesulitan dalam menentukan kualifikasi calon.

Hal lain yang yang menjadi perhatiannya adalah pada 2022 dan 2023 bakal ada 101 daerah dan 170 daerah yang tidak mempunyai kepala daerah atau plt. penjabat.

Ia juga menyoroti soal keadilan pemilih pada 2024. Untuk mewujudkannya, antara lain menciptakan peraturan yang mempermudah pemilih dalam menunaikan hak pilihnya secara efektif, efisien, dan nirkonflik.

Perlu desain khusus sistem pelaksanaan elektoral pada masa pandemi Covid-19 guna mengurangi potensi penyelenggara dan pemilih yang tertular. Misalnya, TPS dianggarkan lebih banyak dengan metode jaga jarak, uji usap antigen, dan peralatan alat pelindung diri.

Jika Pemilu 2024 tetap dilakukan, harus ada skema pembedaan antara pemilu nasional dan lokal tidak dalam satu tahun pelaksanaan. Dengan demikian, pemilih mampu menentukan aspirasi kedaerahan dengan lebih rasional dan kritis.

Selain masukan dari Nurlia, Hadiyanto, dan Prof. Zuhro, hal yang patut mendapat perhatian pembuat undang-undang adalah penambahan jumlah anggota KPPS jika pemilu nasinal dan lokal serentak pada 2024, terutama pada saat penghitungan hasil pemilihan.

KPPS ini dibagi dalam empat kelompok, yakni pertama yang menangani penghitungan hasil pilpres; kedua, pemilu anggota legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota); ketiga, pilkada tingkat provinsi; keempat, pilkada tingkat kota/kabupaten.

Konsekuensi dari penambahan personel ini bakal ada tambah kotak suara di TPS, yakni untuk pilpres, pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur/wakil gubernur, dan pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten/kota.

Hal sekecil apa pun perlu diantisipasi agar pesta demokrasi sukses sesuai dengan ekspektasi, yakni pemilu yang tetap berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Misalnya, estimasi waktu yang digunakan pemilih di TPS dengan surat suara sebanyak itu, kemudian perkiraan waktu penghitungan suara masing-masing pemilu.

Oleh sebab itu, janganlah grusah-grusuh dalam pembahasan RUU Pemilu yang akan menyatukan UU Pilkada (UU Nomor 10/2016) dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, pemerintah dan DPR.

Jadi, tidak sekadar kedua undang-undang itu disatukan, disederhanakan, dan disesuaikan dengan perkembangan demokrasi dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih ditekankan pada kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau individu.

Baca juga: Akademikus nilai revisi UU Pemilu tidak mendesak dilakukan
Baca juga: Tepati janji perkuat legitimasi politik kepala daerah

Pewarta : D Dj Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024