Semarang (ANTARA) - Rangkaian bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air seharusnya menjadi pertanda agar pemerintah segera menata ulang wilayah permukiman dan sarat kegiatan publik dengan menghindari wilayah rawan bencana.
"Kita harus sadar bahwa kita hidup di negeri yang rawan dengan bencana alam, menata ulang wilayah hunian di setiap daerah rawan bencana merupakan langkah yang harus segera dilakukan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Senin (18/1).
Menurut Lestari, sejumlah bencana seperti tanah longsor, banjir, gempa Bumi, dan meletusnya gunung berapi yang menimbulkan banyak korban jiwa dan infrastruktur yang terjadi saat ini adalah sinyal kuat bagi para pemangku kepentingan untuk segera memetakan wilayah-wilayah rawan bencana di Tanah Air.
Hasil dari langkah pemetaan tersebut, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, harus segera diikuti dengan upaya menata ulang wilayah hunian dan pusat kegiatan masyarakat agar menjauh dari wilayah rawan bencana alam.
Selain itu, tambahnya, pemerintah daerah juga harus tegas melarang pemukiman, tempat usaha wisata atau perhotelan di zona merah bencana alam.
Sejumlah upaya tersebut, jelas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan bagian dari langkah yang harus diambil agar kita dapat menjalani kehidupan sehari-hari bersahabat dengan alam.
Bersahabat dengan alam, jelasnya, tidak bermaksud menyerah pada bencana tetapi tanggap terhadap bencana agar tetap survive dan menghindari jatuhnya korban jiwa saat bencana terjadi.
Faktanya, jelas Rerie, berdasarkan penelitian geologi Indonesia memiliki 500 gunung berapi, 127 di antaranya masih aktif. Selain itu, potensi bencana gempa bumi juga tinggi karena Indonesia memiliki 295 patahan yang sebagian besar ada di Indonesia bagian tengah dan timur.
Tak hanya itu, jelasnya, Indonesia juga dihimpit tiga pertemuan lempeng (subduksi). Belum lagi, potensi kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan di banyak daerah.
Di sisi lain, tegas Rerie, masyarakat juga wajib mengikuti anjuran pemerintah, terutama dalam relokasi pemukiman, guna menghindari jatuhnya korban setiap bencana datang.
Kesediaan masyarakat untuk direlokasi huniannya dari wilayah rawan bencana, menurut Rerie, merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam mengupayakan pembangunan daerah lebih baik di masa datang.
Sedangkan untuk upaya jangka pendek, Rerie berharap, kolaborasi semua lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk membantu korban bencana alam.
Karena masyarakat korban bencana alam, menurut Rerie, saat ini menanggung beban berlipat ganda di tengah bencana nonalam pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negeri.
Yang harus diperhatikan segera, tegas Rerie, adalah tempat-tempat pengungsian dan penampungan sementara harus diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi klaster baru penularan virus korona.
Demikian pula, tambahnya, bantuan logistik yang harus segera bisa dimanfaatkan oleh para korban bencana tersebut.
Selain itu, pencegahan penularan penyakit lain seperti diare, juga harus menjadi perhatian serius karena bencana terjadi di musim hujan.
"Kelompok rentan, yakni anak-anak dan manula perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus," ujarnya.***
"Kita harus sadar bahwa kita hidup di negeri yang rawan dengan bencana alam, menata ulang wilayah hunian di setiap daerah rawan bencana merupakan langkah yang harus segera dilakukan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Senin (18/1).
Menurut Lestari, sejumlah bencana seperti tanah longsor, banjir, gempa Bumi, dan meletusnya gunung berapi yang menimbulkan banyak korban jiwa dan infrastruktur yang terjadi saat ini adalah sinyal kuat bagi para pemangku kepentingan untuk segera memetakan wilayah-wilayah rawan bencana di Tanah Air.
Hasil dari langkah pemetaan tersebut, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, harus segera diikuti dengan upaya menata ulang wilayah hunian dan pusat kegiatan masyarakat agar menjauh dari wilayah rawan bencana alam.
Selain itu, tambahnya, pemerintah daerah juga harus tegas melarang pemukiman, tempat usaha wisata atau perhotelan di zona merah bencana alam.
Sejumlah upaya tersebut, jelas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan bagian dari langkah yang harus diambil agar kita dapat menjalani kehidupan sehari-hari bersahabat dengan alam.
Bersahabat dengan alam, jelasnya, tidak bermaksud menyerah pada bencana tetapi tanggap terhadap bencana agar tetap survive dan menghindari jatuhnya korban jiwa saat bencana terjadi.
Faktanya, jelas Rerie, berdasarkan penelitian geologi Indonesia memiliki 500 gunung berapi, 127 di antaranya masih aktif. Selain itu, potensi bencana gempa bumi juga tinggi karena Indonesia memiliki 295 patahan yang sebagian besar ada di Indonesia bagian tengah dan timur.
Tak hanya itu, jelasnya, Indonesia juga dihimpit tiga pertemuan lempeng (subduksi). Belum lagi, potensi kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan di banyak daerah.
Di sisi lain, tegas Rerie, masyarakat juga wajib mengikuti anjuran pemerintah, terutama dalam relokasi pemukiman, guna menghindari jatuhnya korban setiap bencana datang.
Kesediaan masyarakat untuk direlokasi huniannya dari wilayah rawan bencana, menurut Rerie, merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam mengupayakan pembangunan daerah lebih baik di masa datang.
Sedangkan untuk upaya jangka pendek, Rerie berharap, kolaborasi semua lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk membantu korban bencana alam.
Karena masyarakat korban bencana alam, menurut Rerie, saat ini menanggung beban berlipat ganda di tengah bencana nonalam pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negeri.
Yang harus diperhatikan segera, tegas Rerie, adalah tempat-tempat pengungsian dan penampungan sementara harus diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi klaster baru penularan virus korona.
Demikian pula, tambahnya, bantuan logistik yang harus segera bisa dimanfaatkan oleh para korban bencana tersebut.
Selain itu, pencegahan penularan penyakit lain seperti diare, juga harus menjadi perhatian serius karena bencana terjadi di musim hujan.
"Kelompok rentan, yakni anak-anak dan manula perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus," ujarnya.***